SEJARAH ISLAM
DI INDONESIA
`Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah
Judul: Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini
di Indonesia, Penulis: Dr Alwi Shihab, Penerbit: Mizan, April 2001,
Tebal: (xxviii + 320) halaman.
Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih
kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang
tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras,
bahasa, dan letak geografis. (hlm 13)
Itulah sebabnya misionarisasi yang dilakukan kaum sufi berkembang
tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan
kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang
melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan
pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan
dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap
penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami
spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan
budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat
istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan
dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka
berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Misalnya, mengalihkan kebiasaan "begadang" penduduk yang
diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah
zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan
yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari
orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah
pembauran yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling
spektakuler di kawasan Asia Tenggara. (hlm 40)
***
***
Selasa, 27 Desember 2011
SEJARAH ISLAM DI INDONESIA
Pada tahun 30 Hijri atau 651
Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah
Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam
yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini,
para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa
tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk
Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus
berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau
ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi
mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling
barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama
Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni
Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai
tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu
pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar
mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di
Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang
salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman
Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli,
melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14
M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru
pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para
pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara
besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah
memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah
campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh
surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara
seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of
Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti
halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan
damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk
pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai
daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam
menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang
sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan
pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang
penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa
Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah
terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan
bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga
semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan
suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan
kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk
memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada
tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk
membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal
total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa
bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang
bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu
Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah.
Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon
dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan
Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di
satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di
sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan
pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas
pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi
percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan
Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini
setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama
Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak
diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan
tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya
setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah
telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran
melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17
seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang
Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan
Perang Aceh (Teuku Umar).
Indonesia merupakan negara Muslim
terbesar di seluruh dunia. Meskipun 88% penduduknya beragama Islam, Indonesia
bukanlah negara Islam. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang
moderat dan toleran. Situs ini berisi sejumlah informasi dasar mengenai Islam
di Indonesia.
Indonesia is
home to the largest Muslim communities in the world. Although 88% of its
population are Muslims, Indonesia is not an Islamic state. Indonesian Muslims
are well-known for their moderation and being tolerant. This site provides some
basic information about Islam in Indonesia.
The
Coming of Islam
[...] The Indian Ocean continued to serve
as both a commercial and a cultural link between Indonesia and the countries to
the west. Thus Islam, which was established on the Arabian Peninsula by the
Prophet Muhammad in the seventh century A.D., followed the Hindu and Buddhist
religions into the archipelago. By the late twentieth century, approximately 85
percent of Indonesia's inhabitants considered themselves to be Muslim. continued
Sejarah awal penyebaran Islam di sejumlah
daerah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia sangatlah beragam. Penyebaran
Islam di tanah Jawa sebagian besar dilakukan oleh walisongo (sembilan wali).
Berikut ini adalah informasi singkat mengenai walisongo.
WALISONGO (Sembilan
Wali)
"Walisongo" berarti sembilan
orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada
saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat,
bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid...continued
Organisasi-Organisasi Islam di
Indonesia
Di Indonesia ada banyak sekali organisasi
sosial dan keagamaan Islam. Dari sekian banyak organisasi tersebut, Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah organisasi-organisasi yang paling besar.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi
Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 35 juta. NU seringkali
dikategorikan sebagai Islam traditionalis, salah satunya karena sistem
pendidikan pesantrennya. Pesantren adalah sekolah agama Islam yang dikelola
oleh para kiai NU, dan biasanya menyediakan penginapan bagi murid-muridnya.
Pesantren pada umumnya mengajarkan cara membaca dan menulis Al-Quran dalam
bahasa Arab, menghapal ayat-ayat suci Al-Quran, pelajaran agama Islam lainnya,
dan juga ilmu dan pengetahuan umum.
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam
terbesar kedua di Indonesia, dengan keanggotaannya sekitar 30 juta. Seringkali
dikategorikan sebagai Islam modernis, Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah,
universitas, dan lembaga pendidikan tinggi serta ratusan rumah sakit di seluruh
Indonesia.
Islam Liberal di Indonesia
Islam liberal merupakan gerakan keagamaan
yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran, inklusif, dan
kontekstual. Di Indonesia, penyebaran Islam liberal telah berlangsung sejak
awal tahun 1970-an, dengan tokohnya Nurcholish Madjid (Cak Nur). Meskipun belum
dikenal sebagai Islam liberal, pemikiran-pemikiran Cak Nur yang sering disebut
sebagai pemikiran neomodernisme Islam, menjadi dasar dari pengembangan Islam
liberal dewasa ini. Sejak tahun 2001, sejumlah aktivis dan intelektual muda
Islam memulai penyebaran gagasan Islam liberal secara lebih terorganisir.
Mereka ini kemudian mendirikan Jaringan Islam Liberal.
Indonesia
dan Perang Melawan Terorisme
Indonesia merupakan salah satu target
serangan teroris akhir-akhir ini. Aksi-aksi pemboman pada malam Natal tahun
2000 disejumlah gereja dibeberapa kota di Indonesia, pemboman di Kuta, Bali
pada bulan Oktober 2002, dan peledakan Hotel J. W. Marriott di Jakarta pada
bulan Agustus 2003 telah menewaskan ratusan orang yang tidak bersalah dan
melukai ratusan lainnya. Berkat usaha keras aparat keamanan dengan dukungan
dari rakyat Indonesia serta kerjasama yang baik dengan negara-negara lain,
sejumlah kelompok teroris, terutama yang bargabung dalam kelompok yang dikenal
sebagai Jemaah Islamiyah (JI)
berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai kelompok teroris yang beroperasi di Indonesia ini, silakan melihat
arsip-arsip International Crisis Group.
FAHAMAN YANG MENYEBABKAN SESAT
(Bilangan 106 Bahagian Pertama)
Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu
Islam
adalah satu-satunya agama yang lengkap lagi komprehensif (syumul) kerana
ia diasaskan atas tiga komponen utama iaitu akidah, syariat dan akhlak.
Ketiga-tiga komponen ini menjadi tonggak utama kepada kekuatan, kesempurnaan
dan keindahan Islam.
Rahsia
kejituan Islam adalah berdasarkan kepada dua sumber utama iaitu Al-Qur‘an dan
As-Sunnah. Maka keselamatan umat Islam di dunia dan di akhirat adalah
ditentukan kepada ukuran sejauh mana seseorang itu berpegang teguh kepada
kandungan Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Malik Radiallahu ‘anhu yang bermaksud :
“Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan untuk kamu
dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih
berpegang kepada keduanya iaitu Kitab Allah (Al-Qur‘an) dan sunnah RasulNya”.
(Hadis riwayat Malik)
Sejak
kebelakangan ini masyarakat Islam telah dilanda oleh pelbagai kecelaruan dalam
memahami tentang akidah Islam yang sebenar. Kita merasa amat dukacita dalam
suasana keghairahan umat Islam hendak mendekati dan menghayati ajaran Islam
ini, ada di kalangan umat Islam yang masih teraba-raba mencari kebenaran
tersebut. Natijahnya menyebabkan sebahagian umat Islam terjebak ke dalam
fahaman dan ajaran sesat yang ditaja oleh golongan-golongan tertentu yang
mempunyai kepentingan hawa nafsu dan kebendaan.
Di
negara kita, berdasarkan kajian dan penyelidikan serta penyiasatan pihak-pihak
berkenaan terdapat beberapa kumpulan ajaran sesat yang pernah aktif dan
mengancam akidah umat Islam, kebanyakan dari mereka terlibat dengan
amalan-amalan yang meragukan dan bertentangan dengan akidah Islam yang sebenar.
Walau bagaimanapun dengan usaha pemantauan yang gigih dari pihak berwajib,
kumpulan-kumpulan tersebut telah dapat ditumpaskan dari terus berkembang.
Umat
Islam sekarang terdedah dengan berbagai ancaman daripada anasir-anasir yang
memesongkan akidah umat Islam kepada perkara-perkara mungkar. Mereka
memperdayakan umat Islam dengan ajaran-ajaran yang jauh menyimpang dari ajaran
Islam. Mereka bertopengkan Islam tetapi hakikatnya mereka jauh tersasar dan
menyeleweng dari landasan dan akidah Islam.
Penyelewengan
tersebut kebiasaannya bermula dalam bentuk yang halus dan teliti supaya tidak
mudah dikesan. Kemudian ia mula meningkat dan membesar dengan keahlian yang
ramai sehingga ahli-ahli berkenaan tidak merasakan ajaran tersebut menyimpang
dan tersasar daripada akidah Islam yang sebenarnya.
CIRI-CIRI
AJARAN SESAT
Sebilangan
umat Islam begitu mudah terpengaruh dengan fahaman yang berselindung di sebalik
label Islam yang mereka amalkan, golongan yang terperangkap dengan
ajaran-ajaran sesat akan tertarik dengan ajaran yang dibawa itu bersandarkan dakwaan-dakwaan
kononnya para pengikut akan memperolehi keistemewaan, keajaiban, kekuatan luar
biasa, kebahagiaan sejati, mengetahui persoalan-persoalan ghaib dan sebagainya
sama ada melalui perbomohan atau lainnya.
Masyarakat
Islam perlu mengetahui dan memahami keriteria-keriteria ajaran sesat itu supaya
terhindar dari penyelewengan dan sentiasa berada di atas jalan yang betul tanpa
sebarang keraguan.
Ajaran
sesat merupakan sebarang ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam
atau bukan Islam yang mendakwa bahawa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran
Islam atau bersandarkan kepada ajaran Islam, sedangkan pada hakikatnya ajaran
dan amalan yang dibawa itu bertentangan dengan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam serta bertentangan dengan ajaran, fahaman, keyakinan dan
amalan Ahli Sunnah Wal Jemaah. (Aneka, Pelita Brunei: Bilangan 14, 5 April 2000
m/s: 3)
Selain
itu ciri-ciri lain ajaran sesat ialah amalan-amalan kebatinan yang menjurus
kepada matlamat untuk mendapatkan kelebihan-kelebihan diri yang luar biasa yang
menjadi kemegahan seperti kebal, ghaib dan sebagainya. Sedangkan sejarah telah
membuktikan bahawa tidak terdapat sebarang dalil Al-Qur‘an dan As-Sunnah yang
menunjukkan bahawa amalan-amalan ini wujud dan dipraktikkan oleh para sahabat
dan salaf salih. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri yang merupakan manusia utusan Allah yang teragong pernah tercedera
dalam peperangan Uhud manakala ramai sahabat yang terkorban sebagai syahid.
Begitu
juga dengan perkara-perkara yang berhubung kait dengan kuasa-kuasa ghaib
seperti mendakwa mengetahui waktu-waktu pintu langit dibuka. Menurut al-Qur‘an
perkara ghaib seumpama ini, menurut ajaran Islam yang sebenar hanya Allah Subhanahu
wa Ta‘ala sahaja yang mengetahuinya dan Allah tidak mendedahkannya kepada
sesiapa kecuali Allah menghendaki untuk disampaikan perkara ghaib itu kepada
hamba pilihanNya iaitu nabi-nabi dan rasul-rasul. Hal ini telah ditegaskan oleh
Allah melalui firmanNya yang tafsirnya :
“Tuhanlah
sahaja yang mengetahui segala yang ghaib, maka Dia tidak memberitahu perkara
ghaib yang diketahuiNya itu kepada sesiapapun. Kecuali kepada mana-mana Rasul
yang diredhaiNya (untuk mengetahui sebahagian daripada perkara ghaib yang
berkaitan dengan tugasnya; apabila Tuhan hendak melakukan yang demikian) maka
Dia mengadakan di hadapan dan di belakang Rasul itu malaikat-malaikat yang
menjaga dan mengawasnya (sehingga perkara ghaib itu selamat sampai kepada yang
berkenaan)”.
(Surah Al-Jin: 26-27)
Berdasarkan
ayat di atas, Allah hanya akan memberitahu perkara-perkara ghaib itu kepada
rasul-rasul yang mereka itu adalah orang-orang menjadi pilihanNya. Orang biasa
tidak berhak untuk mempertikaikannya. Namun sebagai umat Islam, kita adalah
dituntut supaya sentiasa beramal dan berdoa. Hal sedemikian sama seperti
mencari malam lailatul qadar atau saat doa dikabulkan pada setiap hari Jumat
yang tidak diketahui bila ianya terjadi. Perkara ini sengaja dirahsiakan oleh
Allah Subhanahu wa Ta‘ala agar umat Islam bersungguh-sungguh dengan
sedaya upaya mencarinya dan meningkatkan amal kebajikan.
"Meluruskan" Sejarah Masuknya
Islam di Nusantara
SEMULA buku ini merupakan
disertasi doktoral Alwi Shihab di Universitas 'Air Syams, dengan judul: Al-Tashawwuf
Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al'Mu' ashir. Dengan
menggunakan pendekatan analisis historis komparatif, buku ini hendak merevisi
berbagai penelitian orientalis yang selama ini sudah kadung dianggap
"primbon tanpa lubang cela", seperti tulisan Marcopollo, AH Jhons,
Winsendt, dan Snouck Hur-gronje.
Misalnya saja pertanyaan
tentang kapan persisnya Islam pertama kali masuk ke Indonesia? Sebagian besar
orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 H dan 13
H.
Pendapat itu didasarkan
pada dua asumsi: pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di
tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke
Kepulauan Nusantara, kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-7 H.
Menurut Alwi Shihab,
asumsi itu tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke
Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim
Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.
Kesimpulan itu didasarkan
Alwi pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu
mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan
oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Cina yang dimaksudkan
da-lam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan
pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia. (hlm 6)
Dari laporan jurnalistik
Cina itu pula kita mendapati informasi baru bahwa ternyata jalur penyebaran
Islam mula-mula di Indonesia bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan
Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan dari
Arab langsung.
Itu seperti dinyatakan
kedua orientalis terkemuka, GH Niemn dan PJ Velt bahwa orang-orang Arab-lah
pelopor pertama memperkenalkan Islam di Kepulauan Nusantara. Yakni dari
keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir Alawi. (hlm 24)
Tasawuf
sunni versus tasawuf falsafi
Namun dalam sejarah,
seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik,
khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad
ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan
pandangannya pada fiqih dan syari'at.
Tasawuf sunni dengan tokoh
pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya
Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas
ajaran Fansuri.
Menurut Ar-Raniri, tasawuf
falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang
berbaju Islam.
Dalam babakan sejarah
peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu
dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya
bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati
oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam
murni.
Benarkah tasawuf falsafi
telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi
Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi
kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri.
Menurut Alwi, Ar-Raniri
menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif"
melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf
falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan
jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.
Adalah benar, kata Alwi,
Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik
itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang
menyeramkan. (hlm 264)
Kesalahan fatal penganut
tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan
diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang
disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat
Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati,
yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan
beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.
Bahkan, Alwi menemukan
bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa
Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula
Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya
Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi.
Boleh dibilang
Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf.
(hlm 266)
Maka bagi Alwi adalah aneh
bila tasawuf falsafi dipresepsi sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan
Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Justru, seperti pengantar
yang ditulis KH Abdurrahman Wahid untuk buku ini, reaksi atas perkembangan
tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan,
doktrin-doktrin yang sinkretik, yang justru bisa diatasi ketika ajaran
"panteisme" Al-Hallaj masuk lewat perantaraan Sitti Jenar. (hlm xxvi)
Belum lagi doktrin-doktrin
wahdah al wujud Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi,
yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan
sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.
Oleh karena itu, sungguh
tak arif rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni
merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di
Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang
merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Al-'Arabi dan Al-Hallaj
dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.
KARYA Alwi Shihab ini
boleh dibilang sebagai karya paling brilyan dan tajam untuk merevisi berbagai
penyimpangan manuskrip sejarah tentang masuknya Islam pertama di Nusantara.
Selain itu sungguh buku ini merupakan rekaman sejarah "obyektif" yang
belum ada duanya tentang perseteruan tasawuf berorientasi fiqih (tasawuf sunni)
dengan tasawuf rasional (falsafi) yang selama ini masih kabur.
Oleh karena itu, buku ini
penting untuk dibaca oleh siapa saja, terutama para sejarawan (Islam),
peneliti, terlebih lagi para pendidik (sejarah) di sekolah Islam maupun umum,
agar sejarah yang diajarkan adalah yang benar, "bersih", dan
mencerahkan. Sebab, hanya dari sejarah yang tertutur secara benar pulalah yang
nantinya bisa menjadi obor risalah bagi keberlanjutan peradaban manusia.
* Muhidin
M Dahlan, mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar