Selasa, 27 Desember 2011

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA


Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).


Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Meskipun 88% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Situs ini berisi sejumlah informasi dasar mengenai Islam di Indonesia.
Indonesia is home to the largest Muslim communities in the world. Although 88% of its population are Muslims, Indonesia is not an Islamic state. Indonesian Muslims are well-known for their moderation and being tolerant. This site provides some basic information about Islam in Indonesia.
WB01432_.gif (3228 bytes)
The Coming of Islam
[...] The Indian Ocean continued to serve as both a commercial and a cultural link between Indonesia and the countries to the west. Thus Islam, which was established on the Arabian Peninsula by the Prophet Muhammad in the seventh century A.D., followed the Hindu and Buddhist religions into the archipelago. By the late twentieth century, approximately 85 percent of Indonesia's inhabitants considered themselves to be Muslim. continued

WB01432_.gif (3228 bytes)
Sejarah awal penyebaran Islam di sejumlah daerah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia sangatlah beragam. Penyebaran Islam di tanah Jawa sebagian besar dilakukan oleh walisongo (sembilan wali). Berikut ini adalah informasi singkat mengenai walisongo.
WALISONGO (Sembilan Wali)
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid...continued
WB01432_.gif (3228 bytes)
Organisasi-Organisasi Islam di Indonesia
Di Indonesia ada banyak sekali organisasi sosial dan keagamaan Islam. Dari sekian banyak organisasi tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah organisasi-organisasi yang paling besar.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 35 juta. NU seringkali dikategorikan sebagai Islam traditionalis, salah satunya karena sistem pendidikan pesantrennya. Pesantren adalah sekolah agama Islam yang dikelola oleh para kiai NU, dan biasanya menyediakan penginapan bagi murid-muridnya. Pesantren pada umumnya mengajarkan cara membaca dan menulis Al-Quran dalam bahasa Arab, menghapal ayat-ayat suci Al-Quran, pelajaran agama Islam lainnya, dan juga ilmu dan pengetahuan umum.
 
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, dengan keanggotaannya sekitar 30 juta. Seringkali dikategorikan sebagai Islam modernis, Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan tinggi serta ratusan rumah sakit di seluruh Indonesia.
WB01432_.gif (3228 bytes)
Islam Liberal di Indonesia
Islam liberal merupakan gerakan keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran, inklusif, dan kontekstual. Di Indonesia, penyebaran Islam liberal telah berlangsung sejak awal tahun 1970-an, dengan tokohnya Nurcholish Madjid (Cak Nur). Meskipun belum dikenal sebagai Islam liberal, pemikiran-pemikiran Cak Nur yang sering disebut sebagai pemikiran neomodernisme Islam, menjadi dasar dari pengembangan Islam liberal dewasa ini. Sejak tahun 2001, sejumlah aktivis dan intelektual muda Islam memulai penyebaran gagasan Islam liberal secara lebih terorganisir. Mereka ini kemudian mendirikan Jaringan Islam Liberal.
Jaringan Islam Liberal: Background & Activities
WB01432_.gif (3228 bytes)
Indonesia dan Perang Melawan Terorisme
Indonesia merupakan salah satu target serangan teroris akhir-akhir ini. Aksi-aksi pemboman pada malam Natal tahun 2000 disejumlah gereja dibeberapa kota di Indonesia, pemboman di Kuta, Bali pada bulan Oktober 2002, dan peledakan Hotel J. W. Marriott di Jakarta pada bulan Agustus 2003 telah menewaskan ratusan orang yang tidak bersalah dan melukai ratusan lainnya. Berkat usaha keras aparat keamanan dengan dukungan dari rakyat Indonesia serta kerjasama yang baik dengan negara-negara lain, sejumlah kelompok teroris, terutama yang bargabung dalam kelompok yang dikenal sebagai Jemaah Islamiyah (JI) berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kelompok teroris yang beroperasi di Indonesia ini, silakan melihat arsip-arsip International Crisis Group.
WB01432_.gif (3228 bytes)






FAHAMAN YANG MENYEBABKAN SESAT
(Bilangan 106 Bahagian Pertama) 
Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu
`Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah
Islam adalah satu-satunya agama yang lengkap lagi komprehensif (syumul) kerana ia diasaskan atas tiga komponen utama iaitu akidah, syariat dan akhlak. Ketiga-tiga komponen ini menjadi tonggak utama kepada kekuatan, kesempurnaan dan keindahan Islam.
Rahsia kejituan Islam adalah berdasarkan kepada dua sumber utama iaitu Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Maka keselamatan umat Islam di dunia dan di akhirat adalah ditentukan kepada ukuran sejauh mana seseorang itu berpegang teguh kepada kandungan Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Malik Radiallahu ‘anhu yang bermaksud :
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan untuk kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya iaitu Kitab Allah (Al-Qur‘an) dan sunnah RasulNya”.
(Hadis riwayat Malik)
Sejak kebelakangan ini masyarakat Islam telah dilanda oleh pelbagai kecelaruan dalam memahami tentang akidah Islam yang sebenar. Kita merasa amat dukacita dalam suasana keghairahan umat Islam hendak mendekati dan menghayati ajaran Islam ini, ada di kalangan umat Islam yang masih teraba-raba mencari kebenaran tersebut. Natijahnya menyebabkan sebahagian umat Islam terjebak ke dalam fahaman dan ajaran sesat yang ditaja oleh golongan-golongan tertentu yang mempunyai kepentingan hawa nafsu dan kebendaan.
Di negara kita, berdasarkan kajian dan penyelidikan serta penyiasatan pihak-pihak berkenaan terdapat beberapa kumpulan ajaran sesat yang pernah aktif dan mengancam akidah umat Islam, kebanyakan dari mereka terlibat dengan amalan-amalan yang meragukan dan bertentangan dengan akidah Islam yang sebenar. Walau bagaimanapun dengan usaha pemantauan yang gigih dari pihak berwajib, kumpulan-kumpulan tersebut telah dapat ditumpaskan dari terus berkembang.
Umat Islam sekarang terdedah dengan berbagai ancaman daripada anasir-anasir yang memesongkan akidah umat Islam kepada perkara-perkara mungkar. Mereka memperdayakan umat Islam dengan ajaran-ajaran yang jauh menyimpang dari ajaran Islam. Mereka bertopengkan Islam tetapi hakikatnya mereka jauh tersasar dan menyeleweng dari landasan dan akidah Islam.
Penyelewengan tersebut kebiasaannya bermula dalam bentuk yang halus dan teliti supaya tidak mudah dikesan. Kemudian ia mula meningkat dan membesar dengan keahlian yang ramai sehingga ahli-ahli berkenaan tidak merasakan ajaran tersebut menyimpang dan tersasar daripada akidah Islam yang sebenarnya.
CIRI-CIRI AJARAN SESAT
Sebilangan umat Islam begitu mudah terpengaruh dengan fahaman yang berselindung di sebalik label Islam yang mereka amalkan, golongan yang terperangkap dengan ajaran-ajaran sesat akan tertarik dengan ajaran yang dibawa itu bersandarkan dakwaan-dakwaan kononnya para pengikut akan memperolehi keistemewaan, keajaiban, kekuatan luar biasa, kebahagiaan sejati, mengetahui persoalan-persoalan ghaib dan sebagainya sama ada melalui perbomohan atau lainnya.
Masyarakat Islam perlu mengetahui dan memahami keriteria-keriteria ajaran sesat itu supaya terhindar dari penyelewengan dan sentiasa berada di atas jalan yang betul tanpa sebarang keraguan.
Ajaran sesat merupakan sebarang ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam atau bukan Islam yang mendakwa bahawa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam atau bersandarkan kepada ajaran Islam, sedangkan pada hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa itu bertentangan dengan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bertentangan dengan ajaran, fahaman, keyakinan dan amalan Ahli Sunnah Wal Jemaah. (Aneka, Pelita Brunei: Bilangan 14, 5 April 2000 m/s: 3)
Selain itu ciri-ciri lain ajaran sesat ialah amalan-amalan kebatinan yang menjurus kepada matlamat untuk mendapatkan kelebihan-kelebihan diri yang luar biasa yang menjadi kemegahan seperti kebal, ghaib dan sebagainya. Sedangkan sejarah telah membuktikan bahawa tidak terdapat sebarang dalil Al-Qur‘an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahawa amalan-amalan ini wujud dan dipraktikkan oleh para sahabat dan salaf salih. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang merupakan manusia utusan Allah yang teragong pernah tercedera dalam peperangan Uhud manakala ramai sahabat yang terkorban sebagai syahid.
Begitu juga dengan perkara-perkara yang berhubung kait dengan kuasa-kuasa ghaib seperti mendakwa mengetahui waktu-waktu pintu langit dibuka. Menurut al-Qur‘an perkara ghaib seumpama ini, menurut ajaran Islam yang sebenar hanya Allah Subhanahu wa Ta‘ala sahaja yang mengetahuinya dan Allah tidak mendedahkannya kepada sesiapa kecuali Allah menghendaki untuk disampaikan perkara ghaib itu kepada hamba pilihanNya iaitu nabi-nabi dan rasul-rasul. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah melalui firmanNya yang tafsirnya :
“Tuhanlah sahaja yang mengetahui segala yang ghaib, maka Dia tidak memberitahu perkara ghaib yang diketahuiNya itu kepada sesiapapun. Kecuali kepada mana-mana Rasul yang diredhaiNya (untuk mengetahui sebahagian daripada perkara ghaib yang berkaitan dengan tugasnya; apabila Tuhan hendak melakukan yang demikian) maka Dia mengadakan di hadapan dan di belakang Rasul itu malaikat-malaikat yang menjaga dan mengawasnya (sehingga perkara ghaib itu selamat sampai kepada yang berkenaan)”.
(Surah Al-Jin: 26-27)
Berdasarkan ayat di atas, Allah hanya akan memberitahu perkara-perkara ghaib itu kepada rasul-rasul yang mereka itu adalah orang-orang menjadi pilihanNya. Orang biasa tidak berhak untuk mempertikaikannya. Namun sebagai umat Islam, kita adalah dituntut supaya sentiasa beramal dan berdoa. Hal sedemikian sama seperti mencari malam lailatul qadar atau saat doa dikabulkan pada setiap hari Jumat yang tidak diketahui bila ianya terjadi. Perkara ini sengaja dirahsiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala agar umat Islam bersungguh-sungguh dengan sedaya upaya mencarinya dan meningkatkan amal kebajikan.




"Meluruskan" Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Judul: Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Penulis: Dr Alwi Shihab, Penerbit: Mizan, April 2001, Tebal: (xxviii + 320) halaman.

SESUNGGUHNYA "Islam nontoleran" atau "Islam berwajah sangar" tidak memiliki akar sejarah yang kukuh di Indonesia. Justru sebaliknya, Islam sufistik atau Islam tasawuf yang lembut, yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal.Tesis itulah yang ingin dielaborasi oleh Dr Alwi Shihab lewat buku ini. Menurut Shihab, hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf.
Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis. (hlm 13)
Itulah sebabnya misionarisasi yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Misalnya, mengalihkan kebiasaan "begadang" penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan Asia Tenggara. (hlm 40)

***

SEMULA buku ini merupakan disertasi doktoral Alwi Shihab di Universitas 'Air Syams, dengan judul: Al-Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al'Mu' ashir. Dengan menggunakan pendekatan analisis historis komparatif, buku ini hendak merevisi berbagai penelitian orientalis yang selama ini sudah kadung dianggap "primbon tanpa lubang cela", seperti tulisan Marcopollo, AH Jhons, Winsendt, dan Snouck Hur-gronje.
Misalnya saja pertanyaan tentang kapan persisnya Islam pertama kali masuk ke Indonesia? Sebagian besar orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 H dan 13 H.
Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi: pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke Kepulauan Nusantara, kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-7 H.
Menurut Alwi Shihab, asumsi itu tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.
Kesimpulan itu didasarkan Alwi pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Cina yang dimaksudkan da-lam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia. (hlm 6)
Dari laporan jurnalistik Cina itu pula kita mendapati informasi baru bahwa ternyata jalur penyebaran Islam mula-mula di Indonesia bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan dari Arab langsung.
Itu seperti dinyatakan kedua orientalis terkemuka, GH Niemn dan PJ Velt bahwa orang-orang Arab-lah pelopor pertama memperkenalkan Islam di Kepulauan Nusantara. Yakni dari keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir Alawi. (hlm 24)
Tasawuf sunni versus tasawuf falsafi
Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at.
Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri.
Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam.
Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni.
Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri.
Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.
Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan. (hlm 264)
Kesalahan fatal penganut tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.
Bahkan, Alwi menemukan bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi.
Boleh dibilang Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf. (hlm 266)
Maka bagi Alwi adalah aneh bila tasawuf falsafi dipresepsi sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Justru, seperti pengantar yang ditulis KH Abdurrahman Wahid untuk buku ini, reaksi atas perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan, doktrin-doktrin yang sinkretik, yang justru bisa diatasi ketika ajaran "panteisme" Al-Hallaj masuk lewat perantaraan Sitti Jenar. (hlm xxvi)
Belum lagi doktrin-doktrin wahdah al wujud Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi, yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.
Oleh karena itu, sungguh tak arif rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Al-'Arabi dan Al-Hallaj dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.

***

KARYA Alwi Shihab ini boleh dibilang sebagai karya paling brilyan dan tajam untuk merevisi berbagai penyimpangan manuskrip sejarah tentang masuknya Islam pertama di Nusantara. Selain itu sungguh buku ini merupakan rekaman sejarah "obyektif" yang belum ada duanya tentang perseteruan tasawuf berorientasi fiqih (tasawuf sunni) dengan tasawuf rasional (falsafi) yang selama ini masih kabur.
Oleh karena itu, buku ini penting untuk dibaca oleh siapa saja, terutama para sejarawan (Islam), peneliti, terlebih lagi para pendidik (sejarah) di sekolah Islam maupun umum, agar sejarah yang diajarkan adalah yang benar, "bersih", dan mencerahkan. Sebab, hanya dari sejarah yang tertutur secara benar pulalah yang nantinya bisa menjadi obor risalah bagi keberlanjutan peradaban manusia.
* Muhidin M Dahlan, mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu