Hermeunetika dan Liberalisasi
Hermeunetika modern yang dipelopori
oleh Friedrich Schleimer, memunculkan persoalan bagi kalangan Kristen. Sebab,
hermeunetika modern menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sama, tanpa
mempedulikan apakah teks itu “Divine” (dari Tuhan) atau tidak, dan tidak lagi
mempedulikan otoritas penafsirannya. Baginya, faktor kondisi dan motif
pengarang sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks, disamping faktor
gramatikal.
The University of
Halle memainkan
peran penting dengan memunculkan teolog liberal terkemuka, Johann Solomo Semler
(1725-1791). Para teolog liberal ini memainkan
peranan penting dalam melakukan reapresiasi terhadap akal manusia dan tumbuhnya
perlawanan terhadap otoritas yang tidak masuk akal (unreasonable authority).
Semler melakukan pendekatan radikal terhadap sejarah bibel dan dogma, dengan
mengajukan program hermeunetika dari perspektif “studi kritis sejarah”.
Interpretasi bibel, kata Semler, harus dihentikan dari sekedar upaya untuk
memverifikasi dogma –dogma tertentu. Interpretasi dogmatis terhadap bibel harus
segera diakhiri dan perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut “truly
critical reading”. Hermeneutika, menurutnya, mencakup banyak hal seperti tata
bahasa, retorika, logika, sejarah teks, penerjemahan dan kritik terhadap teks.
Tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks sebagaimana dimaksudkan
oleh para penulis teks itu sendiri.
Sebenarnya, alasan mereka adalah mereka ingin
mengembalikan pengertian teks bibel kepada konteks histories dan kondisi
penulisnya, terlepas dari kungkungan tradisi gereja Ortodoks. Karena itu,
perkembangan hermeunetika dalam tradisi bibel di kalangan modern, tak dapat
dipisahkan dari sejarah trauma peradaban barat (Eropa) terhadap gereja,
ditambah lagi banyaknya problematika teks bibel itu sendiri.
Apakah Metode Semacam Ini Bisa diTerapkan untuk Al-qur’an??
Pertama, perlu dilakukan studi komparasi antara konsep teks Alqur’an dan
konsep teks bibel. Dan kedua, perlu dilakukan kajian mendalam
perbandingan anatara sejarah peradaban barat dan sejarah peradaban Islam.
Kajian kedua hal ini dengan serius akan memberikan jawaban, bahwa ada perbedaan
mendasar antara konsep teks dan dan perkembangan peradaban Islam dan Barat.
Sehingga tidak terjadi sikap latah yang mengikuti kemana saja arah angin
bertiup.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, dari ISTAC menilai,
bahwa metode tafsir Al-Quran “benar-benar tidak identik dengan hermeunetika
Yunani, juga tidak identik dengan hermeunitika Kristen dan tidak juga sama
dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.” Ilmu Tafsir
Al-Qur’an merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur ,
tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama islam. Itulah sebabnya
mengapa Al-Tabari menganggap ilmu tafsir sebagai yang terpenting disbanding
dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat
islam untuk memahami pengertian dan ajaran kitab suci Al-Qur’an, hokum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya.
Berikut kritikan Prof. Wan :
“Konsekuensi dari pendekatan
hermeunetika ke atas system epistemology Islam termasuk segi perundangannya
sangatlah besar dan saya piker agak berbahaya. Yang paling utama saya kira
ialah penolakannnya terhadap penafsiran yang final dalam suatu masalah agama
dan akhlaq, tapi juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat
menimbulkan kekacauan dan dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi,
antar agama dan kelompok manusia. Hermeunetika teks-teks agama Barat bermula
dengan masalah besar :
1. Ketidakyakinan terhadap keshahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adnya bukti materiil teks-teks paling awal.
1. Ketidakyakinan terhadap keshahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adnya bukti materiil teks-teks paling awal.
2. Tidak adanya laporan-laporan
tentang tafsiran yang boileh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir
dan ijma’.
3. Tidak adanya sekelompok manusia
yang menghapal teks-teks yang hilang itu.
Dan ketiga masalah diatas tidak
terjadi dalam Islam, khususnya dengan Al-Quran. Jika kita mengadopsi satu
kaidah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar sejarahnya, maka mita akan mengalami
kerugian besar. Sebab kita akan menionggalkan metode kita sendiri yang telah
begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah
membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan lama.”
Aplikasi Hermeunetika : Kasus Nasr Hamid Abu Zayd
Untuk memperjelas dampak hermeunetika terhadap Al-Quran, menarik
untuk mengkaji pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd, yang dikenal dengan konsep
“Al-Qur’an sebagai produk budaya”. Sebagai hermenet, ia merasa perlu melakukan
reposisi dan dekonstruksi terhadap konsep Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang
lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Namun jika dicermati, kajian beliau juga
mengadopsi dan menjiplak konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam
tradisi Kristen, khususnya tradisi kritik teks bibel.
Dalam tradisi Kristen studi ini memang telah mengakar dengan sangat
kuat. Werner George Kume, dalam bukunya The New Testament : The History of
The Investigation of its Problem, menulis
“Ia muncul dari keyakinan bahwa tulisan kuno haruslah
diinterpretasikan sesuai perspektif historisnya dan terkait dengan berbagai
kondisi dari komposisi kalimatnya serta makna dan tujuannya bagi si penulis dan
pembaca pertamanya.”
Sedangkan Reginald H. Fuller dalam bukunya A Critical
Introduction to The New Testament, menulis
“itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud
teks-teks perjanjian baru sesuai maksud para penulisnya kjetika pertama kalinya
ditulis, kiya harus terlebih dahulu memahami situasi histories pada saat ia
ditulis pertama kali.”
Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang
terjadi dalam islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarah tak pernah menggugat atau
mempersoalkan otentisitas teks Al-Qur’an. Kaum Muslim sangat yakin bahwa
Al-Quran berasal dai Allah SWT dan telah tercatat dengan baik sejak masa Nabi
Muhammad SAW, yang berbeda dengan hadits.
Karena itulah, secara prinsip teks Al-Qur’an tidak mengalami
problema sebagaimana Problema teks bibel. Norman Daniel dalam bukunya, Islam
and The West:The Making of an Image, menegaskan
“Al-Qur’an tidak ada yang
sepadan dengannya di luar Islam”
Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih
mempercayai bahwa bibel adalah kata-kata dari Tuhan.
Tampaknya, kalangan pemuka dan cendikiawan Kristen menjadi resah,
mengapa kajian kritis tentang teks bibel begitu berkembang, sementara Kitab
Suci Al-Qur’an masih tetap diyakini kaum muslim sebagai Kalam Allah yang suci.
Maka kemudian timbul dorongan kuat di kalangan orientalis-misionaris untuk
menempatkan posisi Al-Qur’an sama dengan bibel.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru
besar Universitas Birmingham di Inggris, menyatakan,
“sudah tiba saatnya untuk
melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen
yang berbahasa Yunani.”
Setelah itu, berbondong-bondonglah orientalis yang melakukan kajian
kritis terhadap teks Al-Quran, sebagaimana sudah terjadi pada bible. Toby
Lester dalam The Atlantic Monthly
Januari 1999, menyarankan perlunya ditekankan aspek kesejarahan Al-Qur’an.
Katanya
“Begitu banyak ummat islam
yang meyakini bahwa semua yang ada diantara dua sampul Al-Qur’an benar-benar
merupakan kata-kata Tuhan yang tak ada bandingannya. Mereka suka mengutip
karya-karya tekstual yang menunjukkan bahwa bible punya sejarah dan bukannya
jatuh langsung dari langit, namun sampai sekarang Al-Qur’an belum tersentuh
diskusi ini. Satu-satunya cara untuk mendobrak tembok ini adalah dengan
membuktikan bahwa Al-Qur’an juga punya sejarah.”
Michael Cook, dalam bukunya, The
Koran : A Very Short Introduction, mengutip pendapat Nashr Hamid tentang
Al-Qur’an sebagai produk budaya
“Jika teks (Al-Qur’an)
merupakan pesan yang dikirim untuk bangsa Arab pada abad ketujuh, maka teks itu
perlu diformulasikan dengan cara yang tentu saja harus sesuai dengan
aspek-aspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu. Maka Al-Qur’an
terbentuk dengan latar belakang manusia. Jadi ia merupakan sebuah produk budaya
dan digarisbawahi oleh Mahkamah Kasasi ketika memvonisnya sebagai seorang
kafir”
Menyimak sejumlah buku Abu Zayd, dengan mudah dapat dibaca ia begitu
menaruh perhatian pada aspek “teks”. Dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur’an
Abu Zayd juga menggunakan metode Hermeunetika. Ia harus mendefinisikan apa itu
“teks”. Dengan itulah dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Untuk
bible, tidaklah masalah karena semua teks bible memang ada pengarangnya. Tapi bagaimana dengan Al-Qur’an??? Apakah
ada yang disebut sebagai ‘Pengarang Al-Qur’an’??
Disinilah kemudian Abu
Zayd tampil “cerdik” dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW -Penerima wahyu- Sebagai semacam ‘Pengarang
Al-Qur’an’. Ia menulis dalam bukunya
“bahwa Al-Qur’an
diturunkan melalui malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa
Muhammad sebagai peneria pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari
realitas masyarakat. Ia dalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan
berkembang di Makkah sebagai anak Yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad
sebagaimana anak-anak sebayanya dalam perkampungan Badui. Dengan demikian, kata
Abu Zayd, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak
membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan
seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait
dengannya. Intinya Muhammad adalah bagian dari social, budaya dan sejarah
masyarakatnya.”
“Mereka memandang
Al-Qur’an—setidaknya sampai pada tingkat perkataan—bukanlah teks yang turun
dari langit dalam bentuk kata-kata actual—sebagimana pernyataan klasik yang
masih dipegang berbagai kalangan--, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring
melalui Muhammad dan sekaligus dieksperikan dalam tapal batas intelektual dan
kemampuan linguistiknya.”
Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad SAW diposisikan
Abu Zayd sebagai semacam “Pengarang Al-Qur’an”. Yang artinya, redaksi Al-Qur’an
adalah versi Nabi Muhammad SAW. karena beliau dikatakan hanya menerima wahyu
dalam bemtuk inspirasi. Nabi Muhammad sebagai seorang ummy, dikatakan bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah
redaksi Al-Qur’an, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengaruhi
oleh budayanya.
Konsep Abu Zayd yang menyatakan bahwa teks Al-Qur’an sebagai ‘spirit
wahyu dari Tuhan’ begitu identik dengan teks bible bahwa “The Whole Bible is given by inspiration of God”. Dan pandangan ini kan
pada apa yang banyak dilakukan oleh orientalis generasi-generasi awal yang
menyebut agama Isalam sebagai “agama Muhammad” dan hukum Islam disebut sebagai
“Mohammaden Law”, ummat Islam disebut sebagai “Mohammaden”.
Pendapat Abu Zayd dan kalangan dekonstrusionis ini memang berusaha
menjebol konsep dasar tentang Al-Qur’an yang selama ini diyakini kaum muslimin,
bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah SWT. Dalam konsepsi Islam nabi hanyalah
sekedar menyampaikan dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang
diterimanya, untuk kemudian disampaikan pada ummatnya, sesuai dengan
interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, social, dan budaya
setempat dan seketika itu. Beliau tidak menambah atau mengurangi apa-apa yang
disampaikan melalui Malaikat Jibril.
“Dan dia Muhammad SAW tidak
menyampaikan sesuatu kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS.
An-Najm: 3)
Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda
dengan manusia liannya karena beliau menerima al-wahyu.
Dalam keyakinan muslim selama ini, Nabi Muhammad hanyalah sebagai
penyampai wahyu. Teks-teks Al-Qur’an memang dalam bahasa arab dan sebagian ada
yang berbicara mengenai budaya di masa itu. Tetapi Al-Qur’an tidak tunduk pada
budaya, justru Al-Qur’an merombak budaya Arab dan membangun sesuatu pola
pemikiran dan peradaban baru yang jauh lebih sesuai dengan fitrah manusia..
Banyak cerita yang menunjukkan bahwa bagaimana tokoh-tokoh Musyrikin
Arab begitu terpesona dengan keindahan gaya
bahasa Al-Qur’an yang belum pernah mereka dengar sebelumya. Karena itu kemudian
mereka menyebut Rasulullah SAW sebagai ‘penyihir’ atau ‘penyair’.
0 komentar:
Posting Komentar