Peruntukan Harta Wakaf dalam Fiqih
Islam
Pendahuluan
Islam
adalah sebuah ajaran yang bersifat komprehensif. Tidak ada satu ruangpun dalam
kehidupan yang luput dari perhatian dan ketentuan Islam. Aturan Islam akan
didapati masuk dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, dan dimensi
kehidupan lainnya. Dengan demikian, maka pantaslah jika Islam dijadikan way of
life, peta kehidupan yang akan menunjukkan jalan kepada manusia untuk meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat (Djuwaini, 2006)
Dalam
subsistem ekonomi Islam dikenal institusi wakaf sebagai sebuah lembaga yang
diinisiasi Islam untuk membantu kesejahteraan sosial. Wakaf merupakan suatu
mekanisme transfer kekayaan dari kepemilikan pribadi kepada kepemilikan
kolektif dan kepentingan bersama. Dalam arti ini, menurut Zakiyuddin (2007),
wakaf adalah kebalikan dari ihya al-mawat dan iqtha’ yang mentransfer
kepemilikan dari publik kepada kepemilikan individu.
Rasulullah
sendiri yang kali pertama memprakarsai institusi ini sesuai dengan doktrin
Al-Qur’an untuk menafkahkan dan mengabdikan sesuatu yang berharga dan dicintai
dalam rangka mencapai kebaikan dan kebahagiaan dari Allah (al-birr) :
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Ali Imran, 3: 92).
Rasulullah
telah mewakafkan beberapa kebun untuk kaum fakir miskin, para pejuang, dan
mereka yang membutuhkan . Meneladani Rasulullah, Para sahabat juga telah banyak
mewakafkan harta mereka sehingga hampir tidak terdapat sahabat kecuali ia telah
mewakafkan hartanya. Jabir Ibn Abdillah menyebutkan bahwa ia tidak mengenal
seseorang sahabat yang mampu dari golongan muhajirin dan anshar kecuali ia
telah menjadikannya sedekah jariyah (wakaf) yang tidak dapat diperjualbelikan,
tidak diwariskan, dan tidak diberikan (Al-Bank al-Islami: 1997).
Dalam
makalah tentang ashab istihqaq al-waqf ini pembahasan diarahkan pada elaborasi
secara mendalam peruntukan harta wakaf, diawali dari pembagian wakaf Khairi dan
Ahli, Mauquf ‘alaih dan syarat-syaratnya, Wakaf untuk al-Mu’ayyan, dan Wakaf
untuk Ghair al-Mu’ayyan.
Wakaf Khairi dan Wakaf Ahli
Pada
prinsipnya, tujuan wakaf adalah qurbat atau mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Aqil al-Munawar (2004: 141), tujuan wakaf (mauquf ‘alaih) haruslah
berupa objek kebajikan (wakaf khairi) yang termasuk dalam bidang qurban kepada
Allah. Wakaf khairi merupakan suatu perbuatan menahan manfaat benda untuk
kepentingan umum didasarkan pada ketaatan kepada Allah. Mendekatkan diri kepada
Allah (qurban) dengan wakaf dilakukan dengan mentasharufkannya kepada mauquf
‘alaih yang sesuai dengan ketentuan Allah. Misalnya, wakaf kepada fakir,
keluarga dekat, atau untuk kepentingan umum seperti masjid, madrasah, pengadaan
air minum, pembangunan jembatan, memperbaiki jalan, dan lain-lain.
Sayyid
Sabiq membedakan wakaf menjadi dua (2) jenis, yaitu wakaf ahli (dzurri) dan
wakaf khairi (kebajikan).
a).
Wakaf Ahli atau dzurri, lanjut Sabiq dapat diartikan sebagai wakaf yang
diberuntukkan bagi anak cucu atau kaum kerabat, atau para fakir miskin (Sabiq,
1994). Dalam wakaf ini harta diserahkan kepada perorangan. Jenis wakaf ini
memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, sehingga harta wakif
sering digunakan untuk kepentingan pribadi, dan sebaliknya tidak memperhatikan
kepentingan ummat.
b).
Wakaf Khairi, yaitu wakaf yang sejak diikrarkannya memang diperuntukkan bagi
kepentingan umum seperti wakaf tanah guna pembangunan masjid atau pendidikan.
Baik wakaf ahli maupun wakaf khairi berkembang hampir di seluruh Negara Islam,
hanya saja di beberapa negara seperti Mesir dan Suriah, praktek wakaf ahli
tidak diperbolehkan lagi.
Pada
prinsipnya, menurut Agil (2004: 142) wakaf ahli tidaklah berbeda dengan wakaf
khairi. Keduanya bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang memerlukan sebagai
realisasi perintah Allah untuk membelanjakan sebagian harta. Perbedaan antara
keduanya terletak pada pemanfaatannya. Wakaf ahli pemanfaatannya hanya terbatas
pada keluarga wakif, yakni anak-anak mereka dalam tingkat pertama dan keturunan
mereka secara turun temurun sampai anggota keluarga tersebut meninggal semuanya.
Sesudah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain seperti janda, anak-anak
yatim-piatu, atau orang-orang miskin.
Ahmad
Djunaidi (2008: 50) menyebut wakaf ahli mendatangkan dua kebaikan, kebaikan
dari amal ibadah wakafnya dan kebaikan dari silaturrahmi dengan orang yang
diberi amanat wakaf. Sedangkan keburukannya adalah lebih seringnya wakaf ini
menyulitkan ketika terjadi kepunahan mauquf alaih atau sebaliknya berkembang
demikian rupa. Kelemahan administrasi harta wakaf ahli sering kali menimbulkan
persengkataan antar keluarga dalam memperebutkannya.
Selain
wakaf ahli dan khairi, Mundzir Kahf (tt: 193) menambahkan wakaf musytarak
sebagai jenis ketiga, yang merupakan gabungan keduanya. Di dalamnya ada
sebagian yang merupakan bentuk khairi dan sebagian dzurri.
Mauquf ‘Alaihi dan Syarat-syaratnya
Dalam
hal distribusi wakaf, aturan syariah tidak begitu jelas dan tegas. Hal ini
tentu berbeda dengan zakat yang menegaskan distribusi zakat untuk ashnaf yang
jelas . Ulama Fiqh menurut Al-Mishri (2007: 148) selanjutnya sepakat bahwa dana
zakat tidak boleh disalurkan kepada orang lain sebelum kaum fakir dan miskin
dapat memenuhi segala kebutuhannya. Dalam melakukan distribusi, sebaiknya zakat
digunakan untuk memberdayakan masyarakat sekitar muzakki terlebih dahulu, dan
jangan dipindahkan ke tempat lain, kecuali jika terdapat kelebihan.
Mauquf
‘alaih dapat diartikan sebagai tujuan wakaf atau sasaran atau pihak yang
menerima wakaf. Secara umum dapat dikatakan bahwa wakaf harus dimanfaatkan
dalam batas-batas yang diperbolehkan Syariat Islam. Wakaf merupakan amal yang
mendekatkan diri manusia kepada Allah, dan karenanya para faqih sepakat bahwa
infak kepada kebajikan itulah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya
(Direktorat Pemberdayaa Wakaf, 2008: 56).
Distribusi
harta wakaf diperuntukkan bagi sasaran tertentu (ghard al-waqf) dengan
syarat-syarat diantaranya:
1.
Sasaran itu berupa salah satu bentuk kebajikan (al-birr) seperti subsidi untuk
lembaga pendidikan umum dan khusus, pendirian perpustakaan, bantuan lembaga
kajian keilmuan dan keislaman, pemeliharaan anak yatim, para janda, orang
lemah, dan lain-lain .
2.
Di dalamnya tidak terdapat maksiat yang diharamkan syariat dan hukumnya, atau
dicela oleh akhlaq yang terpuji.
3.
Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku (Kahf, tt: 192).
4.
Akivitas kebajikan dalam sasaran wakaf hendaknya bersifat kontinyu.
5.
barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif.
6.
Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf
(Al-Kabisi, 2004: 284).
Ahmad
al-Raisuni meringkas sasaran kebajikan wakaf (al-majalat al-khairiyah) dalam
tiga hal: pertama, wakaf dalam bidang agama dan peribadatan seperti pembangunan
masjid dan sarana ibadah; kedua untuk pendidikan dan pengajaran; ketiga, wakaf
untuk sosial, yang meliputi wakaf bagi kaum fakir dan orang yang butuh, wakaf
bagi keperluan umum dan sosial, wakaf untuk orang sakit dan para penderita, dan
wakaf untuk membantu lembaga pernikahan dan para pelakunya (al-Raisuni, tt:
14-21).
Dalam
UU RI No 41 Tahun 2004 Pasal 22, harta wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi :
a) sarana dan kegiatan ibadah; b) sarana dan kegiatan pendidikan serta
kesehatan; c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea
siswa; d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan atau e) kemajuan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan. (Aulia, 2008: 122)
Hanya
saja menurut Mondzer Kahf (tt.: 193), sasaran-sasaran kebajikan ini tidaklah
mungkin untuk dibatasi, dan karenanya para fuqaha mengulasnya secara detail.
Yang utama adalah hendaknya ditunjukkan dalam undang-undang sebagian
bentuk-bentuk kebajikan itu, sehingga dapat diqiyaskan kepadanya dan dijadikan
pedoman. Setiap masyarakat dan negara berhak memilih kebajikan yang lebih cocok
dan diperlukan sesuai dengan keadaan masyarakat, tingkat ekonomi, dan kontruksi
sosialnya. Dengan hal ini diharapkan dan mengundang manusia mewakafkan harta
untuk tujuan-tujuan yang paling banyak manfaatnya.
Wakaf untuk al-Mu’ayyan
Wahbah
al-Zuhaili (1996, 10: 7639) secara lebih detail membagi al-mauquf ‘alaih
(sasaran wakaf) menjadi al-mu’ayyan dan ghair al-mu’ayyan. Al-Mu’ayyan berupa
sesuatu atau seseorang tertentu, dua, atau tiga. Sedangkan ghair al-mu’ayyan
atau al-jihat (sasaran) adalah seperti kaum faqir, ulama, para penjuang,
masjid-masjid, ka’bah, (penyiapan) pasukan, sekolah-sekolah, benteng-benteng,
dan pengurusan jenazah.
Berkenaan
dengan al-mu’ayyan, syarat yang diberlakukan adalah hendaknya seseorang
tertentu tersebut memang berhak untuk memiliki (ahl li al-tamalluk). Para
Fuqaha selanjutnya berbeda pendapat tentang wakaf untuk al-ma’dum (yang belum
ada), al-majhul (yang belum dikenal), dan ‘ala nafsih (diri sendiri).
Kelompok
Hanafiyah berpendapat bahwa wakaf untuk orang yang dikenal (ma’lum), atau orang
yang belum ada (ma’dum), seorang muslim atau dzimmi, atau majusi dapat
dibenarkan karena kaum majusi termasuk ahl al-dzimmah. Sedangkan wakaf seorang
muslim atau dzimmi untuk gereja atau seorang kafir harbi tidaklah sah
disebabkan hal tersebut tidak dapat disebut sebagai qurbah. Wakaf untuk dzimmi
dikarenakan wakaf tidak merupakan qurbah bagi diri kita dan dirinya secara
bersamaan. Sedangkan wakaf bagi harbi, dikarenakan kita telah dilarang untuk
berbuat baik kepada mereka.
Kelompok
Malikiyah menyatakan bahwa wakaf kepada ahl al-tamalluk adalah sah, baik ia
sudah ada maupun ia baru akan ada seperti janin yang akan dilahirkan, baik itu
nampak sebagai qurbah seperti wakaf bagi seorang fakir maupun tidak nampak
sebagai qurbah seperti wakaf bagi orang kaya, atau jika wakaf itu berasal dari
seorang muslim untuk dzimmi meskipun ia bukan ahl kitab, dan tidah sah wakaf
untuk harbi atau untuk hewan. Berdasarkan hal ini maka menurut mereka dapat
dibenarkan praktek wakaf untuk al-maujud (yang sudah ada), al-ma’dum (yang belum
ada), al-majhul (yang belum dikenal), muslim, dzimmi, al-qarib (keluarga
terdekat), dan al-ba’id (keluarga jauh), kecuali bahwa wakaf bagi orang yang
akan dilahirkan tidak dapat dijalankan hanya berdasarkan akad wakaf, tetapi
ditangguhkan hingga keberadaannya memang nyata, maka harta wakaf tersebut akan
diberikan kepadanya (al-Zuhaili, 1996, 10: 7643).
Wakaf
untuk diri sendiri (‘ala nafsih) tidaklah sah meskipun diikuti dengan selain
ahli waris, seperti ungkapan “aku wakafkan harta ini untuk diriku dan untuk
fulan”. Dalam hal ini wakaf untuk diri sendiri menjadi batal, demikian pula
untuk orang lain yang bersamanya kecuali jika harta itu dikuasai oleh orang
tersebut. Jika seseorang mewakafkan hartanya untuk diri sendiri, kemudian untuk
anak-anaknya sesudahnya, maka harta itu menjadi wakaf setelah ia meninggal,
jika para anak menguasainya sebelum adanya mani’ (halangan). Atau dapat
(dikatakan) juga wakaf bagi diri sendiri menjadi batal, sedangkan untuk yang
lain tetap sah, baik wakaf untuk diri sendiri itu mendahului, atau terlambat,
atau bersamaan dengan wakaf untuk orang lain.
Kelompok
Syafi’iyyah mensyaratkan dalam wakaf untuk al-mu’ayyan adanya kemungkinan untuk
memilikinya ketika diwakafkan disebabkan keberadaannya. Karenanya, tidak sah
wakaf untuk ma’dum seperti janin, karena tidak sahnya pemberian kepemilikan
kepadanya waktu perwakafan, sama saja apakah hal itu disengaja atau tidak
(tabi’). Jika seseorang memiliki anak yang sedang mengandung ketika proses
wakaf, maka janin itu tidak masuk (sebagai penerima wakaf). Tidak sah wakaf
seseorang untuk anaknya padahal ia tidak memiliki anak. Tidak sah pula wakaf
bagi majhul seperti halnya wakaf untuk ghair al-mu’ayyan, atau seperti wakaf
bagi seseorang yang akan dipilih si fulan. Hal ini dikarenakan wakaf adalah
tamlik munjiz (pemberian kepemilikan yang berlaku), dan ia tidak sah jika
diperuntukkan bagi majhul seperti halnya jual beli dan hibah.
Wakaf
untuk diri sendiri, atau untuk murtad dan harbi tidaklah dapat dibenarkan,
disebabkan tidak adanya kemungkinan bagi seseorang untuk memberikan
kepemilikian apa yang sudah dimilikinya sebagaimana ungkapan tahsil al-hasil
muhal. Sedangkan untuk murtad dan harbi disebabkan mereka berdua rawan (‘urdat)
untuk dibunuh sehingga tidak ada (jaminan) kelanggengan hidup mereka, padahal
wakaf merupakan sedekah jariyah. Tidak ada wakaf bagi seseorang yang tidak
memiliki kelanggengan apalagi dengan kekufurannya. Wakaf bagi murtad dan harbi
merupakan jihat ma’siyat (al-Zuhaili, 1996, 10: 7643).
Sedangkan
wakaf dari seorang muslim atau dzimmi bagi dzimmi mu’ayyan seperti halnya
sedekah tathawwu’, ia diperbolehkan karena merupakan qurbah tetapi
dipersyaratkan didalamnya tidak adanya maksud untuk ma’siyat. Jama’ah tertentu
dari ahl al-dzimmah, seperti halnya satu orang dzimmi.
Madhab
Hanabilah secara umum memiliki pendapat seperti Syafi’iyyah. Dipersyaratkan
dalam wakaf untuk memberikan kepada seseorang yang memiliki kepemilikan menetap
(milk mustaqirr), dan bersifat ma’lum dan maujud (nyata). Maka tidak sah wakaf
untuk seorang hamba (abd’) yang tidak berhak memiliki secara mutlak, orang
mati, janin yang masih diperut, makhluk halus (malaikat, jin, dan syetan),
disebabkan mereka tidak memiliki. Seorang hamba mukatib meskipun ia dapat
memiliki tetapi kepemilikannya lemah dan tidak menetap. Janin juga tidak
dibenarkan untuk diberikan kepemilikan kecuali lewat kewarisan dan wasiat. Hanya
saja wakaf bagi janin dibenarkan karena mengikuti yang lain (taba’an lighairih)
seperti dalam ungkapan “aku wakafkan untuk anak-anakku atau anak-anak si
fulan”, sedangkan diantara mereka ada yang hamil, maka akan wakaf tersebut
mencakupnya.
Wakaf
untuk murtad dan harbi tidak sah, dikarenakan harta mereka pada asalnya adalah
mubah, boleh diambil dengan penaklukan atau paksaan. Padahal wakaf
diperkenankan untuk sesuatu yang bersifat mubah al-asl, karena ia merupakan
bentuk tahbis al-asl (penahanan harta pokok).
Tidak
sah wakaf untuk majhul seperti seseorang atau sebuah masjid atau salah satu
dari dua orang dan dua masjid. Tidak sah pula wakaf untuk ma’dum , seperti “aku
wakafkan untuk siapa saja yang akan dilahirkan dari anak-anakku, atau dari anak
si fulan”, dikarenakan merupakan bentuk tamlik al-ma’dum (pemberian kepemilikan
kepada yang belum ada). Hal ini bertentangan dengan kelompok al-Syafi’iyah.
Hukum
wakaf untuk dzimmi adalah sah, dikarenakan mereka memiliki kepemilikan yang
dihormati (milk muhtaram), sebagaimana diperbolehkan bersedekan untuk mereka
seperti halnya kaum muslimin. Dalil diperbolehkannya wakaf seorang muslim untuk
dzimmi adalah yang diriwayatkan bahwa Shafiyyah bin Huyyi istri Nabi Sallahu
‘alai wasallam mewakafkan untuk saudaranya seorang yahudi.
Wakaf
untuk diri sendiri juga batal, dikarenakan siapa yang mewakafkan sesuatu secara
sah, maka manfaat hartanya menjadi milik mauquf ‘alaih dan sebaliknya akan
hilang dari diri wakif kepemilikan terhadap harta dan manfaatnya. Tidak sah baginya
untuk mengambil manfaat dari harta itu, dikarenakan wakaf adalah pemindahan
kepemilikan baik bentuk ruqbah maupun manfaat, dan keduanya tidak sah dalam hal
ini. Padahal tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan untuk dirinya
sesuatu dari dirinya sendiri, seperti halnya menjual sesuatu untuk diri
sendiri. Hanya saja, bagi diri wakif diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari
mauquf, jika ia mewakafkan untuk orang lain seperti masjid, dalam beberapa hal:
1.
Ia mewakafkan sesuatu bagi kaum muslimin, dan ia masuk dalam golongan mereka
seperti halnya jika ia mewakafkan sebuah masjid, maka diperbolehkan baginya
untuk shalat di dalamnya, atau jika ia mewakafkan kuburan, ia diperkenankan
untuk dikubur di dalamnya.
2.
Ia mensyaratkan dalam wakaf untuk mendapatkan nafkah darinya, sebagaimana
diriwayatkan Ahmad dari Hijr al-Madr bahwa dalam sedekah Rasulullah SAW beliau
memperbolehkan keluarganya untuk makan secara ma’ruf dan tidak munkar , dan
disebabkan bahwa Umar RA ketika mewakafkan berkata “tidak mengapa bagi yang
mengurus wakaf untuk memakannya atau memberi makan teman tanpa keinginan untuk
memiliki (mutamawwil) .
3.
Wakif mensyaratkan untuk memberi makan keluarganya, maka wakaf dan syarat
tersebut dibenarkan karena Nabi SAW mensyaratkan hal itu dalam sedekahnya (
al-Zuhaili, 1996, 10: 7640).
Jika
yang bertindak sebagai wali wakaf (nadzir) adalah wakif sendiri, maka
diperbolehkan baginya untuk makan dari harta wakaf itu, memberi makan teman,
dikarenakan Umar bertindak sebagai wali sedekahnya.
Wakaf untuk Ghair al-Mu’ayyan
Berkenaan
dengan al-mauquf ‘alaih dari ghair al-mu’ayyan, maka dipersyaratkan beberapa
hal:
1.
Hendaknya ia merupakan sesuatu yang ma’lum dan merupakan sasaran kebaikan dan
kebajikan sehingga infak untuk keperluannya dapat disebut sebagi qurbah kepada
Allah SWT . Hal ini disepakati berlaku untuk kaum muslimin saja, dengan
demikian mauquf ‘alaih merupakan qurbah lidzatih dan sasaran memiliki mauquf
secara hukum.
Albirr
adalah sebutan yang meliputi (ism jami’) seluruh bentuk kebaikan. Asalnya
adalah taat kepada Allah. Menurut Wahbah al-Zuhaili (1996, 10: 7648),
pensyaratan makna qurbah dalam mengarahkan wakaf bagi al-mauquf ‘alaih
dikarenakan posisi wakaf sebagai bentuk qurbah dan sedekah, maka ia harus
berada dalam tujuan dimana wakaf diadakan seperti halnya wakaf untuk kaum
fakir, ulama, kerabat, atau untuk selain manusia seperti masjid, sekolah, rumah
sakit, tempat penampungan, haji, jihad, penulisan/ penerbitan al-Qur’an,
pengairan, pembangunan jembatan, dan perbaikan jalan . Dalam hal ini
diperlakukan sama antara orang kaya dan miskin.
Berkenaan
dengan wakaf untuk orang kaya (aghniya’), para ulama memiliki beragam pendapat.
Al-Hanafiyah menyatakan tidak sah wakaf yang menghususkan orang kaya tanpa
orang miskin karena hal itu bukanlah sebuah qurbah. Syafi’iyyah dan Malikiyah
menyatakan sahnya wakaf untuk sasaran yang tidak tampak sebagai qurbah seperti
orang kaya, dzimmi, orang fasik dengan mempertimbangkan bahwa wakaf adalah
bentuk tamlik, dan ia seluruhnya adalah qurbah. Sedekah juga diperbolehkan atas
ahl dzimmah dan orang kaya. Kelompok Hanabilah menyatakan tidak sahnya wakaf
yang diberikan untuk perkara mubah seperti mengajarkan syair, atau bahkan untuk
yang makruh seperti mengajarkan ilmu mantiq, dan juga untuk orang kaya (al-Zuhaili,
1996: 7646).
2.
Bagi Abu Hanifah dan Muhammad: hendaknya akhir waqf ahli adalah sasaran yang
langgeng dan tidak terputus. Jika akhir wakaf bukan seperti hal itu, maka
tidaklah sah bagi kedunya dikarenakan al-ta’bid (kelanggengan) adalah syarat
bagi diperbolehkannya wakaf. Penyebutan sasaran yang terputus (jihat tanqathi’)
merupakan bentuk pembatasan waktu yang menyebabkan dilarangnya wakaf, karena ia
menjelma menjadi wakaf bagi majhul yang tidak dibenarkan (al-Zuhaili, 1996:
7650).
Abu
Yusuf menyatakan bahwa hal ini bukanlah syarat (yang benar), tetapi wakaf untuk
jihat tanqathi’ tetaplah dibenarkan, dan setelahnya wakaf diperuntukkan bagi
kaum faqir meskipun mereka tidak disebut karena hal ini memang tidak terdapat
dalam riwayat dari para sahabat. Tujuan akhir wakaf biasanya adalah kaum fakir
meski tidak disebut. Penyebutan seperti ini ditetapkan secara dalalatan
(indikatif) dan dhimnan (implikatif). Sesuatu yang ditetapkan secara dalalatan
memiliki kedudukan seperti halnya sesuatu yang ditetapkan secara nassan (tekstual).
Jumhur
Ulama’ mengambil pendapat Abu Yusuf tersebut, sedangkan Malikiyah tidak
mensyaratkan ta’bid wakaf, dan menyatakan jika seseorang mewakafkan untuk
sasaran tertentu secara mu’abbad lalu ternyata terputus, maka wakaf akan
kembali untuk golongan ashabah terdekat dari keluarga wakif, tanpa dibedakan
didalamnya antara laki-laki dan perempuan.
Kelompok
Syafi’iyyah memiliki dua pendapat. Pengarang al-Muhaddab menyebutkan jika
seseorang mewakafkan secara mutlak tanpa menyebut sasarannya, maka hal itu sah
karena merupakan bentuk pengalihan kepemilikan secara qurbah seperti halnya
udhiyah (qurban). Pendapat lain yang lebih mengemuka menurut Syafi’iyyah
menyebut tidak sahnya wakaf tanpa penyebutan mashraf atau sasarannya.
Al-Hanabilah
menyatakan bahwa jika wakaf tidak diketahui berakhirnya, seperti wakaf untuk
sebuah komunitas yang mungkin saja punah, sedangkan akhir wakaf tidak
diperuntukkan bagi kaum miskin atau sasaran lain yang tidak terputus, maka
wakaf tetaplah sah dikarenakan ia merupakan bentuk wakaf yang dikenali
sasarannya (ma’lum al-mashraf) (al-Zuhaili, 1996: 7651).
Jika
diperhatikan, pendapat kelompok Syafi’iyah dan Hanabilah bertepatan dengan
pendapat Malikiyah bahwa al-mauquf (harta) ketika mauquf alaih (sasaran wakaf)
telah habis, akan dibelanjakan untuk keluarga terdekat wakif, karena tujuan
wakaf adalah memperoleh pahala secara berkelanjutan, maka akan diarahkan pada
apa yang ia persyaratkan ketika hal itu disebutkan, atau diarahkan kepada
konotasi peruntukan wakaf ketika tidak disebutkan, sehingga ia menjadi wakaf
muabbad. Jika nama-nama sasaran telah punah, wakaf diarahkan kepada keluarga
terdekat wakif karena hal itu merupakan sasaran yang paling besar pahalanya.
Kesimpulan
Dalam
uraian terdahulu dapat dipahami bahwa perdebatan ulama berkenaan al-mauquf
‘alaih memberikan penegasan bahwa upaya untuk menentukan sasaran dan peruntukan
wakaf sangat terbuka. Acuan bahwa sasaran tersebut haruslah berupa qurbah atau
merupakan bentuk al-birr (kebajikan) baik menurut ukuran syari’ah maupun wakif,
merupakan pegangan pokok yang mendasari setiap interpretasi kontemporer dalam
pemberdayaan pemanfaatan hasil wakaf.
Tentunya
mempertimbangkan aulawiyat setiap sasaran wakaf turut membantu dalam menentukan
pilihan. Al-ahamm fa al-ahamm. Prinsip ini berarti peruntukan wakaf dimulai
dari yang lebih penting, baru kemudian yang penting berikutnya, dijadikan
pijakan kedua dalam distribusi hasil wakaf.
Dengan
mencermati hal tersebut semoga tujuan utama wakaf serta kepentingan wakif dalam
mewakafkan hartanya dapat terjaga dan terealisasi selamanya atau selama waktu yang
diinginkan. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Al-Kabisi,
Muhammad Abid Abdullah. 2004. Hukm Wakaf Jakarta: Iiman.
Al-Munawar,
Said Agil. 2004. Hukum Islam & Plularitas Sosial. Jakarta: Penamadani.
Al-Raisuni,
Ahmad. Tt. Al-Fiqh al-Islami: Majalatuh wa Ab’aduh. www. gulfkids.com
Al-Zuhaili,
Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh. Beirut:Dar al-Fikr al-Mu’ashir.
Aulia,
Redaksi Tim. 2008. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan),
Bandung: Nuansa Aulia.
Baidhawy,
Zakiyuddin. 2007. Rekontruksi Keadilan: Etika Sosial-Ekonomi untuk
Kesejahteraan Universal. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Direktorat
Pemberdayan Wakaf. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia. Depag
RI.
Direktorat
Pemberdayan Wakaf. 2008. Paradigma Baru Wakaf Tunai di Indonesia. Depag RI.
Djunaidi,
Ahmad & Tabib Asyar.2008. Menuju Era Wakaf Produktif. Depok: Mumtaz
Publishing.
Djuwaini,
Dimyaudin. 2006. “Pengantar Penerjemah” dalam Abdul Sami’ al-Mishri,
Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kahf,
Mondzer. Tt. Al-Waqf al-Islmi: Tathawwuruh, idaratuh, tanmiyatuh.
Sabiq,
Sayid. 1994. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
Wajdy,
Farid & Musyid. 2007. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam Yang
Terlupakan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zahrah,
Abu. 1971. Muhadharat fi al-Waqf. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi
1997.
“Daur al-Waqf fi al-Takhfif min Musykilat al-Faqr wa Tahsin Nauiyyat
al-Mujtama’ al-Islami fi al-Qarn al-Hadi wa al-‘Isyrin”. Al-Bank al-Islamy li
al-Tanmiyah.
0 komentar:
Posting Komentar