OLEH :
AHMAD MUHDAR
NIM : 41102154
JURUSAN : PERBANKAN SYARIAH
A. Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon
pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan
keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak
seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang
pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan
dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh I, kami telah menyelesaikan makalah yang
berjudul Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan ilmu Ushul Fiqh. Makalah
ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan
isi makalah antara lain :
A : Pendahuluan
B : Sejarah
Singkat Timbulnya Ushul Fiqh
C :
Aliran-Aliran Ushul Fiqh
D : Kitab-Kitab
Ushul Fiqh
E : Obyek
Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
F : Materi
Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
J : Ilmu
Penunjang Ilmu Ushul Fiqh
L : Daftar
Pustaka
B. Sejarah Singkat Timbulnya Ushul
Fiqh
Ushul Fiqh
sebagai suatu cabang ilmu tersendiri sebagaimana kita kenal sekarang ini, pada
masa Rasulullah saw belum dikenal. Hal ini disebabkan pada masa Rasulullah saw,
dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara langsung mengambil
dari nas al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum
dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga.
Di samping itu
beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi
ijtihadnya itu dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul
dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistinbatkan hukum.
Pada masa Rasulullah saw, Ushul Fiqh seperti yang kita
kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab rasulullah saw dan para sahabat,
ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh
al-Qur’an.
Pada masa sahabat, Ilmu Ushul Fiqh belum juga dikenal.
Para sahabat Nabi saw memberikan fatwa-fatwa dan menetapkan hukum dengan
berdasarkan pada dalil-dalil nas yang dapat mereka pahami berdasarkan pada
kemampuan mereka dalam memahami bahasa arab, tanpa memerlukan kaidah bahas yang
dijadikan pedoman dalam memahami nas. Mereka juga menetapkan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai nasnya secara langsung dengan
berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami perkembangan pembinaan Hukum
Islam, lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah saw.
Disamping itu,
mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan wurudnya hadis-hadis Nabi
saw. Mereka memahami tujuan dan dasar-dasar pembentukan hukum. Tegasnya, para
sahabat mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang al-Qur’an, as-Sunnah,
bahasa arab dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, rahasia-rahasia dan
tujuannya.
Pengetahuan ini
disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi saw, disamping kecerdasan yang
mereka miliki sendiri. Karena itu, mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan
dalam mengistinbatkan hukum, seperti halnya pula mereka tidak membutuhkan
kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri.
Sesudah Islam
meluas dan bangsa arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, maka
dibuatlah peraturan bahasa arab. Selain untuk menjaga bahasa arab sendiri (yang
juga dijadikan sebagai bahasa al-Qur’an) dari pengaruh-pengaruh bahasa lain,
juga agar bahasa itu mudah dipelajari oleh bangsa lain. Disamping itu, banyak
peristiwa-peristiwa baru yang timbul dalam segala lapangan kehidupan. Keadaan
ini menyebabkan para ulama dan pendukung syari’at islam berusaha untuk mencari
dan menentukan hukum bagi peristiwa-peristiwa tersebut.
Lebih jauh dari
itu, para ulama tersebut telah tersebar di negeri-negeri yang baru dan telah
terpengaruh pula oleh lingkungan dan cara berfikir negeri-negeri tiu yang
berbeda satu dengan lainnya. Keadaan itu, sangat berpengaruh terhadap pola
penetapan hukum. Karena itulah, maka masing-masing ulama dalam melakukan
ijtihad dan menetapkan hukum menempuh metode-metode sendiri yang dipandangnya
benar atau yang sesuai dengan jalan pikiran mereka masing-masing. Keadaan ini
sudah tentu menimbulkan perbedaan pendapat, baik menyangkut keputusan hakim
maupun menyangkut fatwa, bukan saja antara satu negeri dengan negeri lainnya,
bahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam satu negeri.
Perbedaan cara
dan metode dalam menetapkan hukum tersebut, akhirnya menimbulkan aliran-aliran
tertentu, yang dikenal dengan aliran Ahl
al-Hadist dan aliran Ahl
ar-Ra’y. Kedua aliran ini mempunyai cara dan corak masing-masing dalam
menetapkan hukum. Para pengikut aliran-aliran ini, sekalipun berani
mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan pendapat alirannya. Mereka menjadikan
sesuatu sebagai hujjah, padahal sebenarnya tidaklah patut dijadikan hujjah,
demikian pula sebaliknya.
Semua kenyataan
di atas, menjadi suatu dorongan dan motivasi disusunnya batas-batas dan
bahasan-bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan syarat-syarat ataupun cara dan
metode dalam menggunakan dalil-dalil tersebut. Timbulllah pikiran untuk
membikin peraturan-peraturan dalam melakukan ijtihad dan penetapan hukum.
Peraturan-peraturan itu dimaksudkan agar dapatb diperoleh pendapat yang benar
dan agar dapat dipersempit jarak perbedaan pendapat tersebut. Keseluruhan
peraturan itu berupa kaidah-kaidah yang harus dipegangi oleh para mujtahid
dalam mengistinbatkan hukum. Kaidah-kaidah itulah, yang kemudian disebut dengan
istilah ”Uŝul al-Fiqh” dan
merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Hanya saja pada
awal pertumbuhannya ini Ushul Fiqh baru merupakan ilmu yang masih sangat
sederhana sekali. Ushul Fiqh dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri
sendiri pada abad kedua Hijriyah.
Ibn an-Nadîm dalam kitab ”al-Fihrasat”
yang ditulis sekitar tahun 377 H, menjelaskan bahwa yang mula-mula menyusun
kaidah-kaidah seperti di atas itu adalah Abu Yusuf (wafat tahun 182 H)
dan Muhammad Ibn al-Hasan (wafat tahun 189 H), keduanya murid Abu
Hanifah[1]. Akan tetapi susunan kedua ulama ini
tidak sampai kepada kita sekarang ini.
Sedangkan orang
yang pertama sekali membuat kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu
ini, sehingga merupakan himpunan kaidah yang disusun secara sistematis, serta
masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan alasan yang mendalam,
adalah al-Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) dalam
kitabnya ”Ar-Risalah”
Dalam kitab itu
dibicarakan tentang al-Qur’an dan kehujjahannya, al-Hadis dan macam-macamnya,
al-Ijma’, al-Qiyas dan dasar-dasar mengistinbatkan hukum. Kitab itulah sebagai
kodifikasi yang pertama sekali dalam Ilmu Ushul Fiqh yang paling dulu disusun
yang sampai kepada kita sekarang ini. Oleh sebab itulah, para ulama sepakat
bahwa peletak batu pertama Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam as-Syafi’i.
Setelah muncul
kita ar-Risalah itu, ulama-ulama yang lainpun berlomba-lomba menyusun ilmu ini,
sehingga Ilmu Ushul Fiqh menjadi lengkap seperti sekarang ini.
Perlu diketahui
pula bahwa tiap-tiap mujtahid mempunyai kaidah-kaidah istinbat hukum
tersendiri. Kaidah-kaidah itu ditulis dan dibukukan biasanya oleh
murid-muridnya. Sebelum dibukukan sering kali didiskusikan lebih dahulu. Karena
itulah, maka dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh juga timbul aliran-aliran[2].
C. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Para ulama ahli
ushul dalam membahas persoalan ushul fiqh tidak selalu sama. Meskipun mereka
sepakat tentang mecam-macam pembahasan, akan tetapi dalam pemakaian istilah dan
metode tidak semuanya sama. Metode yang ditempuh oleh ulama ushul pada garis
besarnya ada 2 (dua) macam dan masing-masing merupakan bentuk dan corak yang
menimbulkan aliran-aliran, yaitu :
1. Metode Ulama Kalam
Dinamakan
”Metode Ulama Kalam”, sebab dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang
biasa ditempuh oleh Ulama Ahli Kalam dalam membahas Ilmu Kalam sehingga dinamai
Aliran Ulama Kalam. Para Ulama Ahli Ushul Fiqh yang termasuk dalam aliran ini
memakai akal pikiran yang rasional dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan
kaidah-kaidah, tanpa menghiraukan apakah kaidahnya itu sesuai dengan pendapat para
imam mahzabnya atau tidak peduli apakah kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan
furu’ (hukum yang sudah berkembang di masyarakat) yang telah berjalan dan
berkembang dalam mahzab dan masyarakat. Yang termasuk aliran ini, ialah
kebanyakan para Ahli ushul Fiqh dari ulama Syafi’iyah dan Malikiyah[3].
2. Metode Ulama Hanafiyah
Disebut dengan
”Metode Ulama Hanafiyah”, karena banyak digunakan oleh ulama Hanafiyah dan oleh
sebab itu dikenal pula dengan Aliran hanafiyah. Dalam membahas soal-soal yang
berkaitan dengan Ushul Fiqh, mereka selalu memperhatikan dan menyesuaikan
dengan soal-soal furu’, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mereka sebenarnya menetapkan
kaidah-kaidah berdasarkan pada soal-soal furu’ yang telah diterima dan
disepakati oleh imam-imam mereka, tanpa memandang alasan-alasan dan jalan
pikiran yang rasional. Ushul dari Aliran Hanafiyah ini banyak berisi hukum
furu’, karena itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan kaidah-kaidah yang
ditetapkan[4]
D. Kitab-Kitab
Ushul Fiqh
Kitab Ushul
Fiqh ”Ar-Risâlah” yang disusun oleh Imam asy-Syafi’i merupakan kitab yang
muncul pertama kali, setelah itu para ulama berbagai aliran mulai banyak
menyusun kaidah-kaidah dan menyusunnya dalam sebuah kitab. Beberapa kitab ushul
fiqh yang penting :
1. Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun
dengan metode Ulama Kalam :
a. Al-Mu’tamad : karangan Abu al-Husain Muhammad ibn aly
al-Basri (Aliran Mu’tazilah, wafat tahun 413 H).
b. Al-Burhân : karangan Abu al-Ma’aliy Abdul Malik ibn
Abdillah al-Juwaini an-Naisaburi, terkenal dengan Imam al-Haramain (ulama Syafi’iyah, wafat tahun
487).
c. Al-Mustasfây : karangan Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad al-Ghazali (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 505 H).
Diantara ketiga
kitab diatas, yang sampai kepada kita sekarang adalah ”Al-Mustasfây” yang lain
merupakan nukilan-nukilan saja. Sesudah kitab-kitab tersebut, ada 2 (dua) kitab
yang merupakan ikhtisar dari ketiga kitab tersebut, yaitu :
a. Al-Mahsûl : disusun oleh Fahruddin Muhammad ibn Umar
ar-Razi (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 606 H).
b. Al-Ihkām fī Usûl al-Ahkām : disusun Abu
al-Husain Aly, yang terkenal dengan Saifuddin al-Amidi (ulama Syafi’iyah, wafat
tahun 631 H)[5].
2. Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan metode
Ulama Hanafiyah :
a. Usûl Fiqh : disusun oleh Abu al-Hasan al-Karakhi
(wafat tahun 340 H).
b. Usûl Fiqh : disusun oleh Abi Bakar ar-Razi (wafat
tahun 370 H).
c. Ta’sīs an-Nazar : oleh Abu Zaid Ubaidillah ibn Umar
al-qadi ad-Dabusiy (wafat tahun
430 H).
d. Usûl al-Bazdawiy : oleh Fakhrul Islam Aly ibn Muhammad
al-Bazdawi (wafat 482 H).
e. Tamhīd al-Fusûl fi al-Usûl : oleh Syamsul Aimmah
Muhammad ibn Ahmad as-Sarkhasi (wafat 483 H)
f. Al-Manār : oleh Abdullah ibn Ahmad, terkenal julukan
Hafiduddin an-Nasafi (wafat 790 H).
E. Obyek
Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Ushul fiqh
membicarakan dan menyelidiki tentang keadaan-keadaan dalildalil syar’i serta
menyelidiki pula bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum
yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan
dalam Ushul Fiqh ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukkannya kepada hukum
bagi perbuatan para mukallaf.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa seluruh perbuatan para mukallaf itu mesti ada atau dapat
ditetapkan hukumnya, untuk itu diperlukan adanya dalil yang menjadi dasar
menetapkan hukum itu. Ada cara atau metode yang digunakan untuk mengeluarkan
hukum dari dalil-dalilnya dan selanjutnya harus ada pula ahli yang memenuhi
persyaratan untuk melakukannya. Kesemuanya itu menjadi obyek pembahasan Ilmu
Ushul Fiqh.
Imam al-Ghazali
mengemukakan bahwa untuk mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya
dipergunakan adanya beberapa faktor, yaitu :
1. Pengetahuan tentang hukum (Samārah).
2. Pengetahuan tentang dalil-dalil syara’ dan
pembagiannya.
3. Pengetahuan tentang metode pengambilan hukum dari
dalil.
4. Pengetahuan tentang sifat-sifat dan syarat-syarat yang
harus dimiliki seseorang yang melakukannya.[6]
F. Materi Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
Meskipun para
Ahli Ushul Fiqh berlainan dalam menyusun materi pembahasannya, akan tetapi
mereka mempunyai kesamaan pendapat dalam menitikberatkan pembahasan tiu. Pada
dasarnya materi pembahasan Ilmu Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian :
1. Hukum
2.
Dalil-dalil Syara’ atau Sumber-Sumber Hukum
3. Istinbat Hukum atau Metode Mengeluarkan Hukum dari
Dalil
4. Ijtihad
Disamping itu,
sebagian ahli ushul fiqh memasukkan materi-materi lain kedalam ilmu ushul fiqh,
sesuai pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi.
G. Ilmu Penunjang Ilmu Ushul Fiqh
Seperti halnya
juga ilmu-ilmu lainnya, Ilmu Ushul Fiqh-pun selalu berhubungan dengan ilmu-ilmu
lain yang menjadi penunjangnya. Di antara ilmu-ilmu yang menunjang Ilmu Ushul
Fiqh adalah :
1. Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid
mengajar tentang Tuhan yang menurunkan syari’at, Nabi-nabi yang membawa syari’at
itu serta kehujjahan syari’at tersebut.
2. Ilmu Bahasa Arab
Al-Qur’an dan
al-Hadist keduanya berbahasa arab, oleh karena itu orang yang akan mendapat
kesulitan dalam mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan al-Hadist apabila tidak
mengetahui bahasa arab.
3. Ilmu Asrâr at-Tasyři’ (ilmu yang membahasa
rahasia-rahasia tasyri’)
Ilmu ini
menerangkan maksud-maksud syara’ dalam memberikan taklif (bebanan hukum) kepada
mukallaf, jaminan kemaslahatan manusia dalam aturan-aturan syara’ serta
menjelaskan tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan aturan-aturannya.
4. Ilmu Qawā’id al-Fiqhiyyah
Ilmu yang
menerangkan kaidah-kaidah hukum yang yang kulli yang diambil dari dalil-dalil
kulli dan maksud-maksud syara’ guna memberi taklif kepada mukallaf[7]
H. Daftar
Pustaka
1. Abdul Salam, Drs. Zarkasji, Pengantar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh I (Lembaga Studi Filsafat
Islam, Yogyakarta. 1994).
2.
Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pengantar
Hukum.
[1] Ibn
an-Nadim, al-Fihrasat, (Beirut; Dar al-Ma’arifah, 1978), hlm. 286 dan 288
[2] Ibid.,
hlm. 16-17. Aly Hasaballah, Usul at-Tasyri’ al Islamiy (Mesir : Dar al-Ma’rif,
1964) hlm. 4-5.
[3] Ibid.,
hlm. 18
[4] Ibid.
[5] Al-Imam
Muhammad Abu Zahrah, Usûl, hlm. 20
[6] Al-Imam
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyafa, hlm. 14
[7] Prof.
Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqiy, Pengantar Hukum, I : hlm. 131-132.
0 komentar:
Posting Komentar