Dari Mingana Hingga Luxenberg
Pendahuluan
Kajian
tentang Timur (orient) termasuk tentang ilam yang dilakukan oleh Barat sudah
dimulai sejak beberapa abad lalu. Namun, gerakan yang memang benar-benar fokus
mengkaji masalah ini yang kemudian
diberi nama Oreintalisme baru dimuai
pada abad ke-18.
Dalam
pengertian umum, Orientalisme adalah suatu ilmu kajian wilayah yang
komprehensif, dengan relatif meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan
masyarakat yang ditelitinya, yakni masyarakat Timur. Sementara, yang disebut
Timur atau the Orient meliputi suatu kawasan yang sangat luas, termasuk Timur
Jauh (negara-negara Asia terjauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur
Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan
Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti
negara-negara Arab). Akan tetapi, bagi Said, Orientalisme lebih dari sekadar
kajian wilayah semacam itu. Orientalisme juga merupakan "sebuah gaya berpikir berdasarkan
pemilahan epistemologis dan ontologis antara Timur (the Orient) dan (hampir
selalu) Barat (the Occident) (Budiarto
Danujaya, Obituari Edward W.Said).
Perjalanan
oreintalisme telah sedemikian panjang dan dari berbagai studi mereka (Barat)
telah berhasil membuat sebuah pemikiran, propaganda, dan sebagainya terhadap
Islam yang bertujuan memberikan pencerminan dunia terhadap Barat dengan
menggunakan metode pengkajian mereka yang jelas-jelas subjektif.
Ahli-ahli
orientalisme di Barat sangat banyak jumlahnya, mereka mencoba membuat kritik
terhadap Isla dengan berbagai metode yang dapat mereka gunakan dan ada beberapa
yang diberi label pemikiran ilmiah. Orientalis yang akan kita kaji pemikirannya
disini hanay kita batasi pada dua orang oreinalis yang mencoba mengkritik
Al-Qur’an dari sudut pandang bahasa yaitu Mingana dan Luxenberg.
Pengertian
Orientalisme
Orientalisme
adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme
Edward W. Said menyatakan bahwa orientalisme adalah salah satu cara untuk
memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia
Barat Eropa.
Secara bahasa orientalis
berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme
bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang
bersifat timur yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia
ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti
dikutip Amin Rais1, orientalis adalah sarjana yang menguasai
masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya.
Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip
tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orienstalis.
Kata isme
menunjukkan suatu paham jadi orientalisme bermakna suatu paham atau aliran yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkiatan dengan bangsa-bangsa di timur
beserta lingkungannya.
Latar
Belakang Munculnya Orientalisme
Munculnya orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya
pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina.
Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat
Islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi.
Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Kristen maka semangat
membalas dendam tetap membara selama berabad-abad.
Faktor lainnya adalah bahwa orientalisme muncul untuk
kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur,
Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat
istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan dan
dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan.
Tujuan
Orientalisme
Merupakan
suatu kenyataan bahwa para orientalis senantiasa menyajikan karya-karyanya
didasarkan pada tujuan tertentu. Secara garis besar tujuan orientalisme antara
lain :
a. Untuk
kepentingan penjajahan
Untuk
kepentingan ini jelas tergambar dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan.
Dalam kasus Indonesia
kita mengenal Snouck Hurgronje yang memperkenalkan politik belah bambu (devide
et impera) untuk melemahkan perlawanan umat Islam terhadap Belanda pada masa
penjajahan Belanda.
b. Untuk
kepentingan agama mereka
Untuk
kepentingan agama mereka juga jelas karena semua penjajah yang menguasai
negara-negara Islam berlatar belakang agama Kristen jadikeinginana untuk
menyebarkan agamanya juga ada.
c. Untuk
kepentingan ilmu pengetahuan
Untuk
kepentingan ini memang sifatnya ilmiah ketika mereka melakukan kajian tentang
Islam, diberbagai universitas di Barat banyak sekali program studi tentang
Timur dan Islam.
Tujuan
yang ketiga mungkin dapat memberikan gambaran secara objektif tentang Islam.
Namun, untuk tujuan pertama dan kedua sangat mungkin apa yang dikaji oleh
mereka menghasilkan sesuatu kesimpulan atau cara yang sangat tidak fair danm
sangat subjektif dalam memandang Islam demi tercapainya keinginan mereka.
Garis Besar Pemikiran
Mingana
Pada tahun
1927, alphone mingana, pendeta
Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan
bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap
al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time
has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that
to which we the Hebrew and Aramaic of
the Jewish Bible, and the greek of the Christian scriptures).
Seruan semacam
ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab
suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan
kitab suci al-Qur’an. Kenyataannya mayoritas cendikiawan Kristen sudah lama meragukan
otentisitas Bibel. Mereka terpaksa harus menerima bahwa Bibel yang ada di
tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias aspal, sehingga sulit
untuk membedakan mana yang wahyu dan yang bukan. Sebagimana yang ditegaskan
oleh Kurt Aland dan Barbara Aland: “Until the beginning of
the fourth century, the text of the New Testament developed freely. Even for
later scribes, for example, the parralell passages of the Gospels were so
familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They
also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by
their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or
more substantively.
Mingana bukan
yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu dan ia juga tidak sendirian.
Tepat pada tahun 1834 di Leipzig, seorang orientalis jerman bernama Gustav Flugel menerbitkan mushaf hasil
kajian filologinya bernama Corrany Textus
Arabicus yang naskahnya itu sempat dipakai tadarrus oleh sejumlah anggota
JIL. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery (orientalis asal Australia)
yang ingin mendekonstruksikan Mushaf Uthmani dan membuat mushaf baru, konon ia
ingin merekonstruksikan teks al-Quran berdasarkan kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawud as-Sajistani yang
dianggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan.
Bagi para
orientalis ini, isnad tidak penting dan karena itu, riwayat yang syadd bisa
saja dianggap sohih, yang ahad dan ghoib bisa saja menjadi mutawatir dan
masyhur, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Itu merupakan tehnik
mereka yang utama untuk menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan
yang fundamental, dan menonjolkan yang trivial. Yang mereka gembar-gemborkan
adalah isu nasikh-mansukh, soal adanya surat
tambahan versi kaum syi’ah, dan lain sebagainya.
Selain itu,
ada isu klasik yang selalu diangkat yaitu soal pengaruh Yahudi, Kristen,
Zoroaster, dsb terhadap islam dan isi kandungan al-Qur’an, baik yang
mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi
teori pinjaman dan pengaruh tersebut, seperti dari literature dan tradisi
Yahudi-Kristen, maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah,
Romawi, dan lain sebagainya. Mereka juga mengatakan bahwa cerita-cerita dalam
al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka
anggap lebih akurat.
Teory evolusi
juga berlaku untuk hadits, mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai
hadist muncul beberapa ratus tahun sesudah nabi Muhammad SAW wafat, bahwa nabi
mengalami beberapa tahp evolusi.. mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak
hadist hanya sedikit saja yang otentik, sementara sisanya kebanyakan palsu.
Garis Besar Pemikiran
Luxenberg
Misionaris-orientalis
ibarat zombie patah tumbuh hilang berganti menyerang islam. Baru-baru ini
muncul lagi seorang dengan nama samaran “Christoper
Luxenberg.” Ia mengklaim bahwa al-Qur,an hanya bisa dimengerti kalau dibaca
sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa arami dalam dialek
Suryani). Dalam bukunya yang berjudul “Cara
membaca al-Qur’an dengan bahasa Syro Aramaic: Sebuah sumbangsih upaya
pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur,an” (Die syro-aramaische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschuesselung
der Koransprache) itu, Luxenberg
dengan nekat mengklaim:
¨
Bahwa bahasa al-Qur’an sebenarnya
bukan bahasa arab,karena menurutnya banyak kata-kata dan ungkapan yang sering
dibaca keliru atau sulit difahami (in
einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada
bahasa syro Aramaic yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.
¨
Bahwa bukan hanya kosa-katanya
berasal dari syro Aramaic, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab
suci Yahudi dan Kristen-Syiria (Peshitta)
¨
Bahwa al-Qur,an yang ada tidak
otentik perlu ditinjau kembali dan diedit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes
ist eine kritisvhe Edition … sicherlich wuenschenwert).
Untuk
meyakinkan pembaca bukunya Luxenberg menyebut sejumlah contoh dintaranya,
kata-kata qaswaratin dalam (QS 74:51)
mestinya dibaca qasuratin, lalu kata sayyi’at (QS 4:18) mestinya dibaca saniyyat, dari bahasa Syriac
sanyata. Yang lebih parah lagi ia mengutak–atik surat
al-Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya seperti surat al-Fatihah diklaim diambil dari liturgy
Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir yesus. Tidak sulit untuk
membantah dan menolak Luxenberg sebab
sekuruh uraiannya dibangun atas dasar asumsi-asumsi yang keliru diantaranya
yaitu:
¨
Ia mengira bahwa al-Qur’an dibaca
berdasarkan tulisannya sehingga boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu
bacaan.
¨
Ia menganggap tulisan adalah
segalanya dan manuskrip sebagai patokan sehingga suatu bacaan harus disesuaikan
dan mengacu pada teks.
¨
Ia menyamakan al-Qur’an dengan Bibel
dimana pembaca telah mengubahnya dan mengutak-atik teks yang dibacanya jika
dirasa tidak masuk akal atau sulit difahami.
Ketiga asumsi
ini dijadikan titik tolak dan pondasi argument-argumennya tanpa terlebih dahulu
dibuktikan kebenarannya.Menurut seorang pakar Semistik yang menjadi direktur
Orientalisches Seminar di Universitas Frunkfurt, Prof.Hans Daiber dari sudut metodologi karya Luxenberg cukup
bermasalah dank arena irtu tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dalam review-nya
atas buku Luxenberg, Daiber
mengemukakan beberapa point:
1
Semua ahli filologi yang mengkaji
manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu kata yang ditulis gundul (tanpa
baris/harakat) dapat dibaca macam-macam sehingga tulisan yang sama bisa dibaca.
2
Luxenberg bisa jadi keliru dalam
berasumsi dan mengajukan pertanyaannya.
3
Jika memang sejumlah kosa-kata
tersebut berasal dari bahasa syriac bukan tidak mungkin kata-kata itu telah
diislamkan atau ditukar dengan makna baru (Zusatliche Bedeutungen) yang lebih
luas dari makna asalnya.
4
Untuk mendukung analisis dan
argument-argumennya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa sryiac atau Aramaic yang
ditulis pada abad ke-7 atau 8 M dan bukan menggunakan kamus bahasa chaldean abad ke-20
5
Bisa saja kosa-kata al-Qur’an memang
bahasa arab asli tidak seperti yang dituduhkan Luxenbrg.
Apapun
metodenya kajian Luxenberg sebenarnya tidak terlalu beda dengan para orientalis
dan misionaris Kristen. Intinya mereka menggugat al-qur,an sebagai wahyu yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Menurutnya Al-Qur’an yang ada
saat ini (Mushaf Utsmani) adalah
salah salin (mistranscribed) dan
berbeda dengan teks aslinya melainkan akal-akalan Utsman Bin Affan karena naskah
asli sudah dimusnahkan. Pada akhirnya Luxenberg menyimpulkan transmisi teks
al-Qur’an dari Nabi Muhammad saw bukan secara oral sebagaimana keyakinan kaum
muslim. Al-Qur’an tak lebih dari turunan Bible (perjanjian lama dan baru) dan
liturgy Kristen Syria.
Hal-hal
seperti ini bisa disimak pada buku karya Samuel
M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di timur tengah yang berjudul “Islam:
A Challenge to Faith” (terbit pertama thn 1907) didalamnya Ia
memberikan resep untuk “menaklukan” dunia Islam. Zwmmer menyatakan tentang
al-qur’an ini:
·
Penuh dengan kesalahan sejarah
·
Banyak mengandung cerita fiktif yang
tidak normal
·
Mengajarkan hal yang salah tentang
kosmogini
·
Mengabadikan perbudakan, poligami,
perceraian, intoleransi keberagamaan, pengasingan dan degradasi wanita.
Disini sangat
nampak bagaimana Orientalis-Misionaris sok tahu tentangal-qur’an dan ngotot
meskipun sudah jelas dan keliru. Mereka juga membentuk suatu jaringan untuk
salingmenyokongdan mendukungsatu sama lain dalam Islam. Setelah melakukan
investigasi dan memperoleh data bahwa nama sebenarnya “Christoper Luxenberg”
adalah Ephraem Malki asal Lebanon
warga negara Jerman penganut fanatik Kristen (Syriac Orthodox), memperoleh M.A dan Dr.Phil dalam bidang
Arabistik, dengan alamat terakhir: August-Klein-Strasse 11, 66123 Saarbrucken,
telp. 390-58-28.
Kritik Atas Pemikiran
Mingana Dan Luxenberg
Pada prinsipnya al-Qur,an bukanlah tulisan
(rasm atau writing) tetapi merupakan bacaan (qira’ah atau recitation) dalam
arti ucapan dan sebutan.
Allah SWT berfirman,
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) di Qur’an karena hendak
cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”(Qs. Al Qiyaamah
(75):16-19)
Penjelasan dari ayat ini adalah, “Wahai Muhammad, utusan Allah yang mulia,
janganlah kamu tergesa-gesa untuk membaca al-Qur’an ini ketika kamu
mendengarkannya langsung dari Jibril. Akan tetapi, hendaklah kamu menunggu dan
mengikutinya secara perlahan-lahan, hingga ia(Jibril) selesai membacanya
kepadamu. Setelah itu bacalah olehmu (dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya
Kamilah yang bertanggung jawab untuk mengumpulkannya di dadamu dan
membacakannya kepadamu dengan perantaraan wahyu dari kami. Oleh karena itu,
selama malaikat Jibril membacakan al-Qur’an kepadamu, maka ikutilah bacannya
dan janganlah kamu sampai tertinggal untuk mengikutinya. Kemudian setelah iyu,
Kamilah yang akan menjelaskan segala arti dan keterangannya kepadamu.
Proses transmisi dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi
terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana
diwahyukan oleh malaikat jibril as kepada Nabi saw dan diteruskan kepada para
sahabat hingga hari ini. Hal ini berbeda dengan Bible dimana tulisan (manuscript evidence) memegang
peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias
Gospel (ajaran). Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin misalnya
memiliki asumsi keliru, menganggap al-Qur’an sebagai dokumen tertulis atau teks
bukan sebagai hafalan yang dibaca alias recitatio. Dengan asumsi seperti ini
mereka menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian
Bibel seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan
textual criticism.
Akibatnya mereka menganggap al-Qur’ansebagai produk sejarah hasil
interaksi orang arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka
bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya, karena
itu lantas mereka mau membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang
ada.
Meskipun pada prinsipnya diterima dan
diajarkan melalui hafalan dan juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium
tulisan.
Rasulullah telah mengangkat para
penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah,
‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka
menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga
penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu,
sebagian sahabatpun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri,
tanpa diperintah oleh Nabi: mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan
batu, daun lontar, kulit, atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang
binatang. Zaid bin Sabit berkata: “Kami menyusun Qur’an di hadapan rasulullah
pada kulit binatang,:”
Pada masa kekholifaan Abu baker, ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa
besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia menyiapkan
pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu.
Peperangan Yamamah yang melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an.
Dalam peperangan ini, 70 qori dari para
sahabat gugur. Melihat kenyataan ini Umar bin Khottob khawatir Qur’an akan
musnah, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan
Qur’an hingga al-Qur’an terkumpul dalam satu mushf, berdasarkan periwayatan
langrung dan mutawatir dari Nabi.
Setelah wafatnya Abu baker ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh
Khalifah ‘Umar ra sampai ia wafat (23H/644H), lalu disimpan oleh Hafsah,
sebelum kemudian diserahkan kepada Kholifah ‘Utsman ra. Ketika terjadi perang Armenia dan
Azarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang menyerbu kedua tempat
itu, ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara
membaca al-Qur’an. Sebagian bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing
pempertahankan dan berpegang teguh pada bacaannya, serta menentang setiap orang
yang menyalahi bacaanya bahkan saling mengkafirkan. Meliahat kenyataan ini,
Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan apa yang dilihat. Para sahabat
amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu kan menimbulkan
penyimpanagn dan perubahan. Mereka bersepakat
untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan
umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf
dan bahas yang digunakan adalah bahasa Quraisy, Karen Qur’an turun dalam logat
suku Quraisy.
Tidak tahu (jahil) atau tidak mau
tahu dan mereka salah faham tentang rasm dan qira’at.
Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan
sepanjang sejarah. Pada kurun awal islam, al-Qur’an ditulis gundul, tanpa tand
baca sedikitpun. System vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Mekipun
demikian, rasm Usmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum
muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara
menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau
tulisan. Orientalis semacam Jeffery dan Puin salah-faham dan keliru, lalu
menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant
readings-sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel, serta keliru menyamakan qira’at
dengan reading, padahal qira’at adalah recitation from memory bukan reading the
text. Mereka tidak tahu bahwa hal ini kaedahnya adalah: tulisan hjarus mengacu
pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi SAW (…………………………..) dan bukan
sebaliknya.
Penutup
Ulasan
ringkas ini setidaknya mampu memberikan gambaran kepada kita, betapa Barat
sangat kukuh dalam melakukan kajian untuk menyerang Islam dan barangkali ini
tidak akan pernah berakhir. Ini adalah tantangan yang besar bagi umat Islam,
mereka mengkaji Islam dengan berbagai pendekatan bahkan mereka mempelajari ilmu
Kalam dalam mengkaji Islam.
Apa yang mereka lakukan
mestinya menjadi spirit bagi kita para generasi Islam bahwa kita pun sanggup
menghasilkan karya ilmiah yang dapat dijadikan counter atas pemikiran yang mereka ajukan tentang Islam.
0 komentar:
Posting Komentar