PENDAHULUAN
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena
ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid
dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih
dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan
ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan
bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk
menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus
menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun
as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini
bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz
tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para
sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an
maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena
apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah. Berdasarkan uraian di
atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang
sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak
terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian
diharapkan tidak terjadinya kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam. Setelah melakukan penelitian kami merasa terdorong
untuk mengulangi lebih lanjut masalah sejarah itu sesuai dengan hasil dan
kemampuan.
Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh
dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul
dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari
ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa
(Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan
dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi
pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk
jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan
dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka
Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh
ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan
dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at
Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan
untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum
dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh"
(ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang
terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau
statusnya dengan mempergunakan dalil.
Yang menjadi obyek utama
dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i)
yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan
pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi
dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan
masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang
lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
|
Bentuk-bentuk dan
macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah,
makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah,
batal, azimah dan rukhshah).
|
b.
|
Masalah perbuatan seseorang yang
akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja
atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia
atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku suatu perbuatan yang akan
dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak,
apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah
atau bukan, dan sebagainya.
|
d.
|
Keadaan atau sesuatu yang
menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha
manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
|
e.
|
Masalah istinbath dan
istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan
mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan
mansukh, dan sebagainya.
|
f.
|
Masalah ra'yu, ijtihad,
ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas
penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya
taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah adillah syar'iyah,
yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan,
istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana,
bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
|
h.
|
Masa'ah rakyu dan qiyas;
meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru
wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan
selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai
bentuk dan penyelesaiannya.
|
BAB I
Mahkum Fih
A. Pengertian
Mahkum Fih
Yaitu
perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah Syari’ (Allah dan Rasulnya)
yang bersifat tuntutan mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan meninggalkan suatu
perbuatan, memilih suatu perbuatan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhshah, sah dan batal
B. Syarat-syarat Mahkum Fih
·
Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, tentang rukun, syarat
dan tata caranya
·
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yaitu Allah. Suatu perintah shalat
misalnya adalah perintah Allah Swt
·
Perbuatan mungkin dilaksanakan
C. Macam-macam mahkum Fih
Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan
syara, mahkum fih terdiri dari 4 macam :
1.
Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara
(tidak menimbulkan akibat hukum syara), seperti makan dan minum
2.
Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukum,
seperti pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qishash.
3.
Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila
memenuhi rukun dan syarat, seperti shalat dan haji.
4.
Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’,serta mengakibatkan
munculnya hukum syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan
seks, kewajiban nafkah.
BAB II
Mahkum Alaih
A. Pengertian Mahkum Alaih
Yang dibebani hukum/Subjek hukum.
·
Definisinya,”Seseorang yang perbuatannya dikenai khitab (titah) Allah
Swt”, yang disebut dengan Mukallaf.
·
Mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum.
Sedangkan dalam ushul fiqh mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (Subjek hukum)
B. Mukallaf
adalah orang yang dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
laranganNya
Dasar Taklif (Pembebanan Hukum)
Ø
Dasar pembebaban hukum bagi seorang mukallaf adalah berakal dan
pemahaman
Ø
Seseorang baru dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
Sabda Nabi
Sabda Nabi Muhammad Saw :
رفع أمتي عن الخطاء والنسيان وما
استكرهوا عليه
Artinya : Ummatku
tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam keadaan terpaksa (HR. Ibnu Majah dan
Thabrani)
Kesimpulannya : Anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur
dan orang tersalah, tidak dikenai taklif (beban hukum)
C. Syarat-Syarat Taklif
1.
Orang
tersebut telah mampu memahami khitab /titah Allah Swt yang terkandung dalam
Al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Maka, anak
kecil, orang gila,orang lupa, terpaksa, tidur, tidak dikenakan taklif
2.
Seseorang
harus cakap bertindak hukum. Dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ahliyah
(kecakapan), maka anak kecil dan orang gila dipandang belum cakap bertindak
hukum. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur
alaih), dianggap tidak cakap bertindak hukum dalam masalah harta.
BAB III
Ahliyah
A. Pengertian Ahliyah
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan
ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara.
v
Ahliyah ada’ adalah ‘sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang
telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya’,
baik yang positif maupun negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’, maka ia
berpahala dan jika ia melaksanakan larangan, maka ia berdosa
v Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi
ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialah aqil,
baligh dan cerdas
Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam
menentukan ahliyatul wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak
dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang
semenjak lahir.
Berdasarkan ahliyatul wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia
Harta seorang anak yang belum baligh tak boleh dikelola sendiri, tetapi oleh walinya
Berdasarkan ahliyatul wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia
Harta seorang anak yang belum baligh tak boleh dikelola sendiri, tetapi oleh walinya
B. Ahliyah al-Wujub al-Naqishah
Yaitu anak yang masih berada
dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki ahliyatul wujub,
tetapi belum sempurna.
Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin :
1. Hak keturunan dari
ayahnya
2. Hak warisan dari
pewarisnya yang wafat
3. Hak wasiat
4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya
C. Ahliyah al Wujub al-Kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak
bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai baligh dan beraka. Seorang
yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah
mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang
bersifat pemindahan hak milik . Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum
yang merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib memberikan ganti dari
hartanya. Pengadilan berhak memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti
rugi, tetapi ; Apabila tindakannya berkaitan dengan perusakan fisik (seperti
melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah wujub kamilah tersebut,
tidak bisa dipertangung jawabkan secara hukum syara, (misalnya ia dihukum
qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum
D. Awaridh (Halangan) Ahliyah
Awaridh Ahliyah ada 2 (dua) yaitu :
1. Awaridh Samawiyah : yaitu halangan ahliyah yang datangnya
dari Allah, bukan karena perbuatan manusia, seperti gila, dungu, lupa, dsb.
2. Awaridh al-muktasabah : yaitu halangan
ahliyah yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, mahjur ‘alaih (dibawah pengampuan)
Kedua bentuk halangan itu sangat berpengaruh terhadap
tindakan hukumya, yakni adakalanya menghilangkan ahliyah, mengurangi
atau mengubahnya.
Dalam hal ini halangan itu terdiri dari 3 bentuk :
1. Halangan yang menyebabkan hilangnya kecapakan
secara sempurna (ahliyt ada) sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan
terpaksa.
2. Halangan yang mengurangi ahliyah ada, seperti orang
dungu. Tindakannya harus dibatasi, karena ia tidak rusydi dalam mengelola
harta.
3. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum
seseorang, seperti orang yang berhutang, pailit (di bawah pegampuan). Awalnya
ia ahliyatul ada, tetapi karena pailit, maka terjadi perubahan ahliyah
pada dirinya, di mana ia tak cakap lagi mengelola harta
BAB IV
Al-ahkaam Asy-syarr’iyyah
A. Pengertian Al-ahkaam
Asy-syarr’iyyah
Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf,
dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara yang bersifat praktis. Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat
menetapkan empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai
dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada
beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan
Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma,
terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama
dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu
Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas
sebagai dalil yang disepakati.
B. Definisi Al-Qur’an
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz
qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan.
Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun
huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang
tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai
kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
C. Bentuk metode tafsir
Bentuk metode tafsir ada 3 (tiga) yaitu :
1.
Metode Tahlili : metode menafsirkan Al-Qur’an yang
berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan
menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling
tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat
demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan
susunan Al-Qur’an
2.
Metode Ijmali
: Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global,
dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas
sehingga mudah dipahami.
3. Metode Muqorin : Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran
sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara
membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari
segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
4.
Metode Maudhi (Tematik) : Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an
dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang
bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan
masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan
ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Pada masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan
Al-Qur’an itu sendiri
Bahwa dalam ayat yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada
ayat lain. Begitu juga ayat-ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat
pada tempat lain ayat yang menjadi qayyid atau mengkhusukannya.
2. Penafsiran di
kembalikan kepada Nabi
Hal ini dilakukan ketika terutama ketika para sahabat Nabi mendapatkan
kesulitan dalam memahami suatu ayat dari Al-qur’an.
3.Pemahaman dan Ijtihad
Sahabat Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam
kitabAllah dan juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi . Diantara para
sahabat Nabi yang mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah
Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar,
A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al-
Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash .
D. Definisi Al-Qur’an dan Hadits Qudsi
1. AL-QUR’AN : Seperti yang kita ketahui bahwa
Al-qur'an merupakan mu'jizat yang diturunkan oleh ALLAH kepada nabi Muhummad
SAW dengan perantara malaikat jibril secara berangsur-angsur dan membacanya
dianggap sebagai ibadah.
2. AL-HADITS : hadits qudsi adalah
perkataan-perkataan nabi dengan mengatakan "Allah
berfirman".sedangkan menurut ath-thibi, hadits qudsi marupakan titah tuhan
yang dismpaikan kepada nabi melalui mimpi'kemudian diterangkan oleh nabi dengan
bahasanya sendiri serta menyandarkannya kepada ALLAH. Oleh sebab itu hadits
qudsi disebut juga hadits illahi atau hadits robbany.
BAB V
AS - SUNNAH
A. Pengertian As-Sunnah
adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan
dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama
Islam.Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma
dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur'an.
B. Dalil-Dalil Sunnah Sebagai Hujjah
Allah Subhanaahu wa
Ta`ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisaa’: 59)
Sabda Nabi Sholallohu
`alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Rodiallohu `anhu yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari:
Dari Abu Hurairah
Rodiallohu `anhu , bawasanya Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang menolak.” Dikatakan: “Siapakah yang
menolak ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Barangsiapa taat (setia) kepadaku dia
pasti msuk surga dan barangsiapa mendurhakaiku maka berarti ia menolak.” HR.
Bukhori : 6751
C. Jenis-Jenis Sunnah
1. Qauliyah
atau Perkataan Yang dimaksud dgn perkataan Nabi Muhammad
shalallahu'alaihiwasalam. ialah perkataan yg pernah beliau ucapkan dalam
berbagai bidang syariat akidah akhlak pendidikan dan sebagainya.
2. Fi'liyah atau Perbuatan Perbuatan Nabi Muhammad SAW.merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan
yg belum jelas cara pelaksanaannya.
3.
Taqririyah Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yg telah dilakukan atau diperkatakan oleh para
sahabat di hadapan beliau.
D. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Sunnah adalah sumber syariat kedua setelah al-Qur`an. Tidak mungkin agama
Allah ini bisa sempurna kecuali dengan mengambil sunnah Nabi Sholallohu `alaihi
wa sallam dan disandingkan bersama kitab suci Allah. Oleh karena itu banyak
ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits mutawatir yang memerintahkan agar taat
kepada Rasul Allah dan berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikannya sebagai
hujjah (dalil, bukti). Dan umat Islampun telah berijma’ atas hal ini.
Dalil –dalil dari
al-Qur`an:
Firman Allah:
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(al-Nisaa’: 65)
E. Definisi Mutawatir dan Ahad
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur
yang artinya berurutan. Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak
orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari
awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi
tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya
contoh”. Misalnya hadits (yang artinya) : “Barangsiapa
yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam)
maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini
telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk
10 orang yang dijamin masuk surga.
v
Syarat-Syaratnya.
1.
Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2.
Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol / bersepakat untuk
dusta.
4.
Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka :
kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah
menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir
F.
Jenis-jenis Khobar Ahad
1. Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah
hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah
(tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.
2. Hadits ‘Aziz
Aziz artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. “Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah : Suatu hadits
yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya.
3. Hadits Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits
gharib secara istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi
secara sendiri.
G. Hadist Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti "satu". Dan khabarul-wahid
adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad
menurut istilah adalah "hadits yang belum memenuhi syarat-syarat
mutawatir".
v
Kedudukan Hadist Ahad Sebagai Hujjah
hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus
berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam.Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya
dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan,
baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus
Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang
Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
H. Definisi Hadist Sahih,Hasan dan Dha’if
v
Hadist Shahih
Secara bahasa (etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah
antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna
yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan
pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
v Hadist hasan
yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,
namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan
illat.
v Hadist daif
ialah satu hadis yang tidak memenuhi salah satu dari
syarat-syarat hadis maqbul (diterima) yaitu HADIS SAHIH DAN HADIS HASAN.
BAB VI
IJMA’ DAN QIYAS
A. Pengertian Ijma’
Menurut bahasa : Adanya
keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu (العزم والتعميم على الشيء)
Menurut Istilah Yaitu
kesepakatan seluruh mujtahid umat Islam pada masa setelah wafatnya rasulullah:
karena dalam kehidupan Rasul, dia adalah satu-satunya sumber hukum islam, maka
tidak terbayangkan perbedaan dalam hukum syari’at dan tidak ada ittifaq. Karena
itifaq tidak terwujud kecuali dari orang banyak.
B. Rukun-rukun ijma’ (أركان
الإجماع)
Ø
Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya
peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum
peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya
suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus
dilakukan oleh beberapa orang.Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh
mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh
para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian
belum dapat dikatakan suatu ijma'.
Ø
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh
setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang
hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan
sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para
mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu
keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan
pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan
bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para
mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai
hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
Ø
Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang
bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh
sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke
taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
C. Kehujjahan Ijma’(حجية الإجماع)
ü
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah
terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca wafatnya Nabi Saw
dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan
kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid
mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun
perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
ü
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum
tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib
diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak
boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad,
karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i
dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
D. Macam-macam ijma’(أنواع
الإجماع)
v
Ijma’ sharih(الإجماع الصريح),
di mana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang
disepakati tersebut. Ijma’ sharih inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha
sebagai hujjah.
v
Ijma’ sukuti(الإجماع السكوتى),
yaitu suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat
tersebut telah diketahui oleh para mujtahid yang masih hidup semasa dengan
mujtahid di atas, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
E. Pengertian Qiyas
Menurut Bahasa : Ukuran, yaitu mengenal ukuran sesuatu (هو التقدير , أي معرفة قدر الشيء)
Menurut Istilah : Menghubungkan perkara yang tidak disebutkan
hukumnya dalam nash, dengan perkara yang
disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan kesamaan illat hukum antara
keduanya. (هو إلحاق أمر غير منصوص على
حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه)
F.
Rukun-rukun Qias (أركان القياس)
v
الأصل : Sesuatu yang telah
ditetapkan hukumnya dalam nash, contohnya daging babi.
v
حكم الأصل : Hukum syar’i yang
terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Contohnya keharaman pada memakan
babi
v
الفرع : Sesuatu yang akan
ditentukan hukumnya karena tidak ada dalam nash. Contohnya
lemak babi.
v
العلة : Sifat yang didasarkan
atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya. Contohnya, daging
babi motifnya memudharatkan
E. Kehujjahan Qias
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas
merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber
hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan
nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi
dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi
hukum syar’i. Sedangkan Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama
sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat
nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat.
Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
v
Dalil-dalil yang menyatakan qias sebagai hujjah
1. “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka,
bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka
dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka
dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah
(Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
(Qs.59:2)
2. Dari ayat di
atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu
hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal
yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan
qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
3. Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,
yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas
merupakan salah satu macam ijtihad.
4. Sedangkan
dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi
Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’
menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
BAB VII
ISTIHSAN
A. Pengertian Istihsan
Secara Etimologi Istihsan berarti, “ “Menyatakan dan meyakini baik
sesuatu”.
Ulama sepakat tentang pengertian istihsan, karena
lapaz istihsan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Az-Zumar : (39) ayat 18
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ
أَحْسَنَهُ
Artinya : Orang yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya.
B. Pengertian Istihsan Menurut Imam Hanafi
Ada 2 (dua)
Ø
Al-Bazdawii (Hanafi) : Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau
pengkhususan qiyas Berdasarkan dalil yang lebih kuat”
Ø
As-Sarakhsy (Hanafi) : Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan Yang lebih kuat, karena adanya dalil yang menghendaki Serta lebih sesuai
dengan kemaslahatan ummat.
C. Pengertian Istihsan Menurut Imam yg 4
(empat)
Ø
Al-Ghazali (Syaf’iy) : Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya
Ø
Ibnu Qudamahi (Hanbali) : Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena
adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah
Ø
Asy-Syatibi (Maliki) : Istihsan ialah pengambilan suatu kemaslahatan Yang bersifat juz’iy dalam
menanggapi dalil Yang bersifat global.
Ø
Al-Karkhi (Hanafi) : Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan
BAB VIII
AL – QUR’AN
A. Pengertian Al – qur’an
Secara etimologis, Al-Quran
adalah bentuk masdar dari qa-ra-a. ((قرأ
Ada
2 pengertian Al-Quran Secara etimologi
Ø
Bacaan (قرأن)
Ø
Apa yang tertulis ((مقروء
B. Ciri-Ciri Al-Quran
1.
Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan
kpd Nabi Muhmmad
2.
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab
3.
Periwayatan Al-quran kepada beberapa generasi
secara mutawatir
4.
Dijamin kemurniannya (Al-Hijr : 9)
5.
Membacanya dinilai ibadah (berpahala)
6.
Dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan
surah An-Nas
C. Kehujjahan Al-quran
Para ulama ushul fiqh
sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam dan wajib diamalkan.
Para mujtahid tidak dibenarkan menjadikan
dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran.
Jika tidak ditemukan dalam Al-Quran barulah dibenarkan mencari dalil yang lain.
D. Hukum-Hukum yang
dikandung Al-Quran
1.
Hukum-hukum I’tiqad, yaitu hukum yang mengandung
kewajiban para mukalaf untuk mempercayai Allah, malaikat, rasul, Kitab dan Hari
Kiamat.
2.
Hukum yang berkaitan dengan akhlak.
3.
Hukum-hukum (amaliyah) praktis yang berkaitan
dengan Allah (ibadah) dan antara sesama manusia (muamalah)
BAB IX
SYAR’U MAN QABLANA
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar ‘u man qablana ialah
syari ‘at atau ajaran agama yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim,
dan lain-lain.
Pembagian
syar’u Man Qablana dan contohnya :
1.
Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (diNASAKH) Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian
yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2.
Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh :
Perintah menjalankan puasa.
3.
Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.yang
diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak
tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita
B. Dalil dalil hujjahnya :
Juhmuru al-Hanafiyah,
Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat
umat sebelum kita bila soheh maka
menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan
kitab-kitab mereka.
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari
kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak
ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka
ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi,
al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para
ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[6]
al-Nahl, ayat, 123 : Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan. dan surat
al-Syura, ayat, 13 , Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukanSujud
Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat
24
Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah
yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita
dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam
surat al-An’am, ayat, 90 : Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.
Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al
Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala
umat.,
BAB X
MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah adalah bentuk
masdar dari Ash-sholah,yang artinya
“adanya manfaat”
Maslahah adalah bentuk tunggal (singular) dari kata “al-masholih” Maslahah
sering juga disebut “Istishlah”
Salah satu metode yang
digunakan ulama ushul fiqh dalam mengistimbath hukum Islam adalah maslahah
mursalah
Maslahah Mursalah ialah
suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menyuruhnya dan tidak ada dalil
yang menolaknya, tetapi ia mengandung kebajikan/manfaat
Maslahah ada 3 (tiga) yaitu
:
1.
Maslahah Mu’tabarah : Ada dalil tafshili yang mendukung / menyuruhnya, Seperti shalat, zakat dll, Syariat qishash, Nikah, bersedeqah, Tolong-menolong Dalam
ketaqwaan
2.
Maslahah Mulghah : Ada dalil tafshili yang menolak / melarangnya, Seperti riba (2:275) suap (2:180), Minum khamar (5:90) Makan bangkai (5;3) Berkata “ah” pada Orang tua (17:23)
3.
Maslahah Mursalah : Tidak ada dalil Tafshili yang menyuruh atau menolaknya Seperti membuat penjara,membuat bank syari’ah&LKS, Mendirikan RS, Media massa Islam TV Islam
B. Definisi Maslahah menurut
Al-Ghazali
Mengambil manfaat dan
Menolak Kemudratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Tujuan
syara’ tersebut adalah memelihara lima pokok kehidupan, yaitu memelihara :
1.
Agama
2.
Jiwa
3.
Akal
4.
Keturunan dan
5.
Harta
C. Objek Maslahah Mursalah
v
Objek Maslahah Mursalah ialah masalah hukum yang
tidak terdapat dalam nash Al-Quran, Sunnah maupun ijma’ dan qiyas
v
Masalah ibadah tidak termasuk objek maslahah
mursalah. Demikian pula segala sesuatu yang telah dijelaskan nash secara
khusus.
D. Tujuan Maslahah Mursalah
Tujuan utama al Maslahah al Mursalah adalah
kemaslahatan; yakni memelihara dari kemudlaratan dan menjaga kemanfaatannya.
0 komentar:
Posting Komentar