ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH (ZIS) :
( Wujud Konsep Ekonomi
Kerakyatan Islam )
1.
Pengertian Zakat, Infak dan Sedekah.
a. Pengertian Zakat.
Zakat berasal dari kata dasar zaka yang
artinya : suci, baik, berkah dan berkembang. Menurut istilah syari’at
zakat adalah namabagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat
tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan sebahagiannya dan
diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentupula.
Keterkaitan pengertian menurut bahasa dan pengertiasn menurut istilah sangat
erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang telah dikeluarkan zakatnya, maka
harta itu menjadi suci, baik, berkah, tumbuhdan berkembang. Hal ini sesuai
dengan Firman Allah Swt. Dalam al-Qur’an Surat
At-Taubah ayat 103, yang artinya : “ Ambillah zakat dari sebagaian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”. Mereka yang dimaksud dalam ayat ini
adalah para orang –orang kaya yang
memiliki harta melimpah. Dan sebahagian dalam ayat tersebut hanya sedikit yaitu
sesuai dengan perhitungan nisabnya. Dalam ayat yang lain Surat Ar-Rum ayat 39
yang artinya : “… dan apa-apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka yang berbuat demikian itulah
orang-orang yang melipat gandakan”.
Zakat
bersinonim dengan sedekah, yaitu dalam pengertian sedekah yang berarti
sedekahwajib. Dengan kata lain, zakat adalah sama dengan sedekah wajib ( lihat Surat At-Taubah ayat 60 ),
Dalam ayat tersebut zakat diungkapkan
dengan kata “ Innamash shadaqaatu “, yang artinya adalah zakat.
Adapun
harta yang wajibdizakati memeiliki persyaratan-persyratan yaitu :Pertama,
harta milik sempurna, maksudnya adalah bahwa harta itu dalam kekuasaannya
secara penuh dan kepemilikannya sah, yang diperolehnya melalui cara bekerja,
diperoleh dari harta warisan, ataupun berasal dari pemberian orang lain secara
sah. Adapun harta yang diperoleh dari cara-cara yang tidak sah atau batil, maka
zakatnya tidak akan diterima oleh Allah Swt. Kedua, mencapai nisah,
artinya harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya untuk hasil
pertanian sepert jagungh, dan beras nisabnya adalah mencapai hasil 653 Kg. Emas
dan peran telah mencapai jumlah 85 gram. Harta perniagaan nisabnya adalah
senilai nisab emas. Ternak sapi telah mencapai jumlah 30 ekor, dan lain
sebagainya. Ketiga, telah mencapai masa satu tahun ( haul ), untuk jenis
harta tertentu. Sedangkan untuk hasil pertanian dikeluarkanzakatnya pada saat
panennya.
b.Pengertian Infak dan Sedekah.
Infaq asal katanya adalah anfaqa yang
artinya mengeluarkan sesuatu harta untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut
istilah syara’ adalah mengeluarkan sebagaian dari harta atau pendapatan untuk
sesuatu kepentingan karena menurutiperintah ajaran agama Islam. Perbedaannya
dengan zakat, kalau infak tidak ___________________
*) Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN )
Bengkulu / Dosen Fakultas Agama Islam (FAI ) UMB/ Anggota MUI Pripinsi Bengkulu
mengenal nisab dan tidak harus nenunggu masanya sampai satu
tahun kepemilikan hartanya itu sebagaimana persyaratan itu ada pada ketentuan
zakat.
Sedekah
asal katanya adaalah shadaqa yang artinya ‘benar’. Jadi orang yang
bersedekah adalah orang yang benar. Dalam terminologi agama Islam orang yang
suka bersedekah itu adalah orang yang pengakuan imannya kepada Allah.
Pengertian sedekah sesungguhnya sama dengan pengertian infak, perbedaannya
sedekah itu lebih luyas dari pada infak; jika infak hanya terkait dengan materi
saja, dan tidak terkait dengan non-materi, sedangkansedekah meliputi materi dan
non materi. Non-materi itu seperti bacaan takbir, tahmid, tahlil dan
sejenisnya.
2. Z I S. Sebagai Konsep Islam
tentang Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Umat
Islam sebagai agama yang diturunkkan
oleh Allah melalui Nabi-Nya Muhammad saw. Diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia di dunia ini agar memperoleh kebahagaiaan yang hakiki di dunia maupun
diakhirat nanti. Untuk itu allah Swt. melengkapinya dengan berbagai petunjuk
disegala aspek kehidupan untuk dipedomani . Khusus dalam segi kehidupan ekonomi
umat, maka Islam memberikan konsepnya berupa zakat, infak , sedekah, wakaf dan
lain sebagainya. Pembahasan dalam makalah ini hanya dikhususkan mengenai zakat, infak dan sedekah saja.
a. Missi Islam
tentang kesejahteraan dan realitanya
Islam adalah agama kesejahteraan,
karenanya Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul-Nya hanyalah untuk
merealisasikan kesejahteraan umatnya di seluruh persada alam ini ( Al-Qur’an
Surat Al-Anbiya’ ayat 107 ). Ajaran Islam mampu mengantarkan pemeluknya
mencapai hidup yang sejahtera asalkan umatnya benar-benar konsekuen mengamalkan
ajarannya. Ajaran-ajaran Islam ini pilar-pilar pokoknya ada empat yaitu : Keimanan,
akhlak, ibadah dan muamalah duniawiyah. Keempat pilar itu merupakan sesuatu
yang utuh yang tidak boleh hanya dipilih-pilih yang mana suka saja, melainkan
merupakan kesatuan yang bulat di mana keimanan merupakan fondasi dasarnya yang harus kokoh dan kuat. Orang
yang memiliki keimanan yang kuat dan
kokoh dlam kehidupan sehari-hari akan nampak ciri-cirinya yaitu hidup dan
kehidupannya selalu bersama Allah, karena Allah dan untuk mencapai keridloan Allah. Selanjutnya di atas
bangunan keimanan yang kokoh akan
mewujud bangunan akhlakul karimah. Akhlakul karimah adalah tingkah laku
seseorang yang senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah ( al-Hadits ), dengan kata lain tingkah laku
seseorang yang selalu mengukur kebenarannya berdasarkan standar Al-Qur;an dan
Al-Hadits. Setelah keimanannya dan akhlaknya baik, maka yang wajib ada adalah bangunan ibadah yang baik, yaitu
berupa : Shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain ( ibadah mahdhoh ). Ibadah
mahdhoh ini sesungguhnya dalam Islam bukan merupakan tujuan, melainkan
merupakan wasilah bagaimana seseorang muslim agar menjadi baik keimanannya dan
baik akhlaknya; karena itu seseorang yang mengerjakan shalat, zakat, puasa dan
haji harus menghasilkan penyegaran keimanannya dan motivasi berakhlakul karimah.
Selanjutnya seseorang muslim yang mempunyai kualitas keimanan yang baik,
akhlakul karimah, dan ibadahnya baik, maka mereka aakan
melakukan
muamalah duniawiyah yaitu berinteraksi sesama orang lain di dalam masyarakat
dengan baik pula, yakni dalam berkiprah memenuhi hajat hidupnya sebagai makhluk
sosial senantiasa mengindahkan halal dan
haram, serta senantiasa mengindahkan kemaslahatan umat. Itulah seorang muslim yang memiliki sebutan insan kamil, atau orang yang benar-benar bertaqwa ( muttaqiin
). Dan semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi seorang insan
kamil atau seorang muttaqiin, baik laki-laki maupun perempuan dengan
tidak mengenal suku, ras maupun golongan. Ketika orang itu menempati kedudukan
insan kamil, maka sesungguhnya mereka itu sungguh telah memperoleh
kesejahteraan yang hakiki, baik
rohaninya maupun jasmaninya. Dengan kata lain mereka itu telah mampu
memenuhi kebutuhan dirinya secara rohaniah yaitu merasa puas karena merasa diridhoi
oleh Allah sehingga hidupnya menjadi bermakna, serta mampu memenuhi kebutuhan
jasmaninya yaitu mampu memenuhi kebutuhan untuk kepentingan duniawinya berupa
sandang, papan dan pangan dan lain sebagainya dalam kerangka pengabdiannya
kepada Allah Swt.
Meskipun ajaran Islam telah
sedemikian bagus dalam mengatur cara-cara memperoleh kesejahteraan manusia
dengan mengatur pilar-pilar Islam, yang apabila dilaksanakan secara konsekuen
mendapat garansi dari Allah pasti akan memperoleh kesejahteraan itu (
Al-Qur’an Surat Al-a’raf ayat 96), akan
tetapi konsep Allah itu dalam realitanya hanya sedikit saja umat Islam yang
meyakini dan mempraktekkannya. Adapun
kebanyakan mereka umat Islam
meragukan dan tidak meyakininya, sehingga dalam ber-Islam pada umumnya
umat Islam tidak konsisten atau hanya sepotong-sepotong saja. Ada sebahagian
umat Islam hanya mengambil keimanan dan
ibadat saja, itupun dengan pemahaman yang keliru , yaitu keimanannya tidak utuh
melainkan dicampur dengan keimanan kepada yang selain dari Allah, kemudian
ibadahnya difahaminya merupakan tujuan akhir dari ber-Islam, sehingga
setelah beribadat mereka menganggap telah sempurna Islamnya, tanpa
hatus melakukan akhlakul karimah. Ada sebahagian umat Islam yang mengenggap
bahwa yang penting akhlakul karimah, tanpa harus beriman dan beribadat yang
baik. Apa lagi dalam hal muamalah duniawiyah hampir kebanyakanumat Islam tidak
mengkaitkan sebagai pilar ajaran Islam yang pokok atau utama, sehingga dengan
adanya pemahamanyang keliru ini tidak sedikit umat Islam yang tidak amanah
dalam memikul tugas dan tanggung jawab, korupsi dianggap hal biasa, begitu juga
berbohong dalam memberikan informasi, memeras, menindas menjadi kebiasaannya
tanpa merasa berdosa, menyuap, kolusi
dan sejenisnya merupakan budaya yang melekat menjadi pakaian umat Islam
Indonesia. Akibatnya yang muncul adalah perpecahan, kemiskinan, kebodohan dan
berbagai kemunduran umat Islam lainnya.
]
b. Masyarakat sebagai
Orientasi keagamaan Islam
Islam sebagai agama yang diturunkan
Allah Swt. melalui Nabi-Nya Muhammad saw. Adalah untuk mengatur kehidupan
masyarakat di dunia ini secara baik dan menyenangkan, sehingga ukuran kebaikan
seseorang terhadap orang lain menjadi ukuran keadaan iman seseorang, apakah
seseorang itu membina hubungan baik terhadap orang lain atau tidak, amaka akan
menjadi ukuran seseorang itu sempurna imannya atau tidak, semakin baik
seseorang menjalin hubungan dengan
orang
lain akan semakin baik pula imannya, begitu juga sebaliknya semakin tidak baik
seseorang menjalin hubungan dengan orang lain semakin, maka semakin tidak baik
iman seseorang itu.
Pahala yang merupakan imbalan suatu
perbuatan baik, dan yang akan menjadi bekal pada kehidupannya di akhirat, hampir keseluruhannya hasil
perbuatannya terhadap orang lain. Seseorang muslim yang tidak perduli dengan
orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri, menurut ajaran Islam adalah
sebagai seorang individualis, kikir, bakhil, egois, sombong dan sejenisnya,
yang kesemuanya itu sangat dibenci dan dilaknat oleh Allah,
Ibadat dalam Islam seperti : Shalat,
puasa, zakat dan haji sereta lainnya adalah sebagai sarana pembinaan keimanan
dan akhlakul karimah agar seseorang muslim menjadi orang yang paling bermanfaat
bagi manusia lainnya, dan itulah kualitas manusia yang terbaik dalam Islam.
Jihad di jalan Allah, yaitu berjuang
berbuat kebaikan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti membela kepentingan
masyarakat, membangun sarana pendidikan, peribadatan, kesehatan dan sebagainya,
kerja sama sosial, membina perdamaian dan kerukunan dan sebagainya adalah
merupakan bentuk-bentuk kewajiban umat Islam yang sangat penting dan mendesak di dalam masyarakat. Terlebih
lagi kerja sama dibidang perekonomian ummat yang saat ini adalah merupakan
kebutuhan yang sangat mendesak, dimana kondisi ummat sedang sangat terpuruk,
maka mewujudkan kerja sama masalah perekonomian ummat melaui, pemberdayaan
zakat, infak dan sedekah, pembentukan koperasi, arisan pembangunan, Baitul Mal wat tamwil dan
sebagainya adalah merupan jihad fi sabilillah yang sangat bernilai pada saat
ini dibanding dengan jihad-jihad lainnya.
c. Konsep Islam
tentang ZIS
Zakat, infak dan sedekah ( ZIS )
jika dilacak secara seksama, ternyata paling tidak mempunyai kandungan tiga
dimensi garapan yang sangat luar biasa hebatnya. Ketiga dimensi tersebut adalah
: Pertama, dimensi ibadah; ZIS selama ini hanya
dikenal oleh kebanyakan ummat Islam sebagai dimensi ibadah saja. Sebagai suatu
bentuk dimensi ibadah, maka bagi ummat Islam yang baik ZIS harus menjadi
miliknya, artinya setiap ummat Islam harus memeiliki kecenderungan yang sangat
untuk suka memberikan ZIS ini. Dengan memberikan ZIS, maka mereka akan
memperoleh pahala sebagai imbalannya yang sangat dibutuhkan pada saat menempuh
kehidupan di akhirat nanti. Harta yang dimiliki seseorang muslim yang sudah
dikenai ZIS ini, apabila oleh pemiliknya ternyata tidak dikeluarkan ZIS-nya
maka menurut ajaran Islam seorang muslim yang demikian itu termasuk golongan
orang yang kikir, bakhil, yang nanti diakhirat akan dipertanggung jawabkannya. Kedua, dimensi persaudaraan; Makna ZIS yang terkandung di dalamnya sesungguhnya
salah satunya adalah persaudaraan Islam ( ukhuwah Islamiyah ). Di dalam
Islam persaudaraan merupakan pilar kehidupan masyarakat yang sangat penting dan
harus ada. Ketika di dalam kehidupan suatu masyarakat tidak ada persaaudaraan
maka bisa dipastikan akan terjadi kehancuran masyarakat tersebut, dimana saja
dan kapan saja. Jadi menurut Islam persaudaraan harus eksis di tengah
masyarakat dan harus baik. Pengertian baik di sini adalah bahwa persaudaraan
itu harus yang sebenarnya, bukan persaudaraan yang semu. Karenanya ajaran Islam
menjadikan persaudaraan sesama
uslim
ini sebagai ukuran baik dan buruknya iman seseorang ( Al-Hadits ). Bahkan
persaudaraan ini harus dipertahankan sebisa dan sekuat mungkin, apabila ada
perselisihan diantara sesama muslim harus segera didamaikan dan tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut ( Al-Qur’an Surat Al-Hujurat : 10 ). Bentuk
persaudaraan Islam yang dikembangkan melalui
bidang ekonomi diantaranya adalah ZIS. Melaui ZIS ini dengan sangat
cepat dan sangat baik persaudaraan akan terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Bahkan ketika ZIS ini tidak berfungsi sebagai perekat persaudaraan atau dengan
kata lain para orang kaya tidak mau mengeluarkan ZIS-nya maka kehancuran
masyarakat akan segera datang disebabkan tuntutan para orang miskin (dhu’afa
) terhadap orang kaya ( aghniya’
) dengan berbagai caranya; mungkin pencurian, mungkin perampokan dan
sebagainya. Atau sebagai dampak keengganan para orang kaya ( aghniya’ )
memberikan ZIS-nya maka masyarakat akan terjangkit berbagai permasalahan sosial
seperti; kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral, keterbelakangan dan lain
–lainnya .
Karena itu menurut ajaran Islam
terutama kemiskinan. Apabila
kemiskinan itu terjadi di tengah-tengah
masyarakat maka yang bertanggung jawab
adalah para orang kaya ( aghniya’ ).
Mengapa demikian ! karena para orang
kaya ( aghniya’ ) tidak memikirkan para orang miskin ( dhuafa’ ),
atau dengan kata lain para orang kaya ( aghniya’ ) tidak membina
persaudaraan secara ekonomi dengan para orang miskin (dhuafa’ ) yang
sangat membutuhkan ekonomi itu.
Persaudaraan yang dikembangkan
dengan sistem ekonomi dalam Islam bukan merupakan hubungan petron klin, atas bawah, majikan
buruh. sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat dengan sistem kapitalisme,
melainkan pesaudaraan yang sebenar-benarnya, persaudaraan yang didasari oleh
rasa kasih dan sayang, sehingga sipemberi yaitu si aghniya tidak
diposisikan sebagai patron atau majikan dan si penerima juga tidak
diposisikan sebagai klinnya atau buruh. Diantara sikaya dan simiskin
kedudukannya sederajat, tidak ada klas elite dan klas bawah. Dalam
pergaulannyapun menyatu, dan tidak memisahkan diri sikaya dengan sikaya saja,
simiskinm dengan simiskin saja sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sistem
kapitalisme.
Ketiga, dimensi pengentasan kemiskinan; Dalam uraian
terdahulu disebutkna bahwa kemiskinan adalah menjadi tanggung jawab para orang
kaya ( aghniya’ ). Menurut ajaran
Islam bahwa ummat Islam dijadikan untuk menjadi orang terbaik memperjuangkan
masyarakatnya, itulah para mujahidin fil Islam. Dalam realisasinya tidak semua orang Islam bisa menjadi para pejuang Islam ini, terutama jika
perjuangan ini yang diperlukan itu berupa harta benda, maka yang berpeluang
hanyalah mereka orang-orang yang kaya
saja.
Sudah merupakan fitrah, bahwa suatu
masyarakat dimanapun pasti ada yang kaya dan ada yang miskin. Akan tetapi
kemudian menjadi permasalahan sosial ketika ternyata terjadi kesenjangan-
kesenjangan sosial yang tidak diinginkan seperti keterbelakangan, kebodohan,
kekurangan gizi, pengangguran , pendidikan , kesehatan dan lain-lainnya, maka
itulah yang harus segera dilenyapkan. Akar masalahnya adalah kemiskinan
sehiungga kemiskinan inilah yang harus diupayakan dientaskan dengan sekuat
tenaga.
Islam memiliki ajaran yang sangat
ampuh untuk mengentaskan kemiskinan yaitu: zakat, infak dan sedekah ( ZIS ).
Konsep zakat yang merupakan sedekah wajib
mempunyai
batas ukuran atau yang disebut nisab. Nisab ini merupakan ketentuan batas minimal
harta yang harus dikeluarkan sebagai harta zakatnya. Adapun infak dan sedekah
tidak ditentukan nisabnya,merupakan keikhlasan seorang muslim untuk memberikan
sebagian hartanya, sedikit atau banyak didasarkan atas keikhlasan, namun
demikian tentu siapa yang paling banyak berinfak dan bersedekah dengan ikhlas
adalah merupakan perbuatan terbaik, demikian maksud Allah menjadikan manusia
agar berlomba siapa yang terbaik amalnya, sekaligus merupakan ujian siapa yang
paling baik amalnya ( Al-Qur’an Surat Mulk ayat 2 ).
Ketentuan nisab dalam zakat harta
adalah ketentuan minimal ketika keadaan normal, maksudnya pada saat tidak ada
persoalan umat yang sangat mendesak membutuhkan penanganan segera. Akantetapi
ketika kondisi sangat mendesak seperti kelaparan, musibah berupa bencana alam
yang sangat membebani penderitaan berupa sandang, papan dan pangan, memberantas
kebodohan , wabah penyakit dan sebagainya, maka ketentuan nisab zakat dapat
menjadi lebih banyak, seperti bisa menjadi 5 % bahkan lebih untuk jenis harta
perniagaan yang semula hanya 2,5 %.
Zakat harta dalam Islam merupakan
ajaran satu paket dengan ajaran ibadah shalat . Di dalam al-Qur’an hampir
setiap perintah shalat selalu desertai dengan perintah zakat. Mengapa Allah
menyertakan perintah zakat setiap ada perintah shalat tentu harus difahami
bahwa zakat itu kedudukannya sama pentingnya dengan shalat dalam kerangka
ibadah dan pembinaan kemasyarakatan. Jika shalat sebagai upaya pembinaan
kemasyarakatan agar setiap umat muslim mampu menegakkan pilar-pilar kehidupan
seperti: kejujuran, keadilan, amanah, disiplin, tanggung jawab, kepatuhan dan
persatuan, maka zakat juga dimaksudkan agar umat muslim mempunyai kepedulian
sosial dan kedermawanan sosial. Kesemuanya merupakan pilar-pilar penting
kehidupan masyarakat, yang ketika tidak ada salah satunya dapat
melumpuhkan sendi kehidupan masyarakat.
Kepedulian sosial dan kedermawanan
sosial mutlak sangat diperlukan. Ketika kepedulian dan kedermawanan sosial
tidak ada dapat dipasti8kan kemiskinan akan semakin meraja lela yang bisa
menimbulkan dampak negatif lainnya berupa keterpurukan-keterpurukan sosial
lainnya.
3.
Reformulasi Beberapa Persoalan ZIS
Reformulasi berasal dari kata formulasi
mendapat awalan re. Formulasi artinya merumuskan, re
artinya kembali, jadi reformulasi artinya merumuskan kembali.
Reformulasi dalam makalah ini dimaksudkan dengan; merumuskan kembali beberapa
persoalan tentang zakat, yang dalam hal ini ada empat persoalan yang
membutuhkan perumusan ulang yaitu : Pertama , persepsi masyarakat umat Islam
tentang zakat dan sedekah. Kedua , pengelolaan ZIS, Ketiga, pemberdayaan ZIS
menjadi mikro ekonomi kerakyatan. Keempat, Campur tangan pemerintah.
a. Persepsi
Masyarakat Umat Islam tentang Zakat dan Sedekah
Persepsi adalah merupakan proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu
sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang
integrated dalam diri individu ( Bimo, 2001:54 ). Dengan kata lain persepsi
adalah suatu proses melahirkan kesadaran
\
sesuatu
hal melalui pemikiran akal sehat. Persepsi dalam kaitan dengan persepsi
masyarakat umat Islam tentang zakat, maksudnya bagaimana masyarakat umat Islam
melakukan proses penginterpretasian yang akhirnya menghasilkan aktivitas
atau tingkah laku berkenaan
dengan zakat.
Ada tiga persoalan berhubungan dengan
persepsi masyarakat umat Islam di sekitar pengertian zakat selama ini yang
merupakan persepsi yang keliru dan harus diluruskan, yaitu : Pertama, zakat sebagai ketentuan terpisah
dengan shalat. Kedua, nisab zakat merupakan ketentuan maksimal bukan minmal,
dan . Ketiga, zakat hanya dimaknai sebagai ibadah semata.
Pertama, zakat sebagai ketentuan
terpisah dari ketentuan shalat.Persepsi salah bagi kebanyakan umat Islam
yang keliru bahwa zakat merupakan ketentuan terpisah dengan shalat perlu
diluruskan . Pelurusan persepsi ini sangat penting karena suatu persepsi sangat
menentukan tingkah laku perbuatan
terhadap sesuatu yang dipersepsinya, demikian juga persepsi umat Islam tentang
zakat. Sementara ini
peresepsi
umat Islam tentang zakat merupakan kewajiban terpisah dengan shalat, sehingga
umat Islam pada umumnya hanya mementingkan shalat saja , sementara dengan zakat
hampir tidak diperdulikan oleh umat Islam. Berbeda apabila umat Islam bisa
dirubah persepsinya tentang zakat sebagai kewajiban satu paket dengan shalat,
maka perilaku umat Islam akan mementingkan zakat sebagaimana mereka
mementingkan terhadap shalat. Jadi sangat penting meluruskan persepsi ini.
Perhatian Islam terhadap kaum yang miskin sangat besar sekali
dan merupakan hal prinsipil. Untuk merealisasikan hal tersebut Islam menjadikan
zakat
menjadi
pilar pokok ketiga setelah shalat, sebagaimana dapat disimak dalam sebuah
hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya : “ Islam dibangun di atas
lima tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
Rasulullah; mendirikan shalat; membayarkan zakat; berpuasa dalam bulan
Ramadhan; dan naik haji bagi yang sanggup “. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh
Allah setiap perintah shalat senantiasa diikuti dengan zakat. Hal ini tentu
menunjukkan betapa eratnya hubungan antara keduanya. Bahkan Islam
mempersyaratkan kepada orang yang masuk Islam dengan mengerjakan shalat dan
membayar zakat. Lihat Al-Qur’an Syrat At-Taubah ayat 5 dan 11 ).
Beberapa orang sahabat Nabi menyatakan tentang zakat ebagai berikut;
Abdullah bin Abbas menyatakan ,” anda sekalian diperintahkan menegakkan shalat
dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak mengeluarkan zakat maka shalatnya tidak
akan diterima”. Berikutnya Jabir bin zaid mengatakan, “ shalat dan zakat
adalah kewajiban dalam satu paket, keduanya tidak terpisahkan …..allah tidak
akan menerima shalat kecuali dibarengi dengan zakat”. Sahabat Abu Bakar ketika
menjadi Khalifah mengatakan , “ Demi
Allah, saya akan memerangi siapa yang memisahkan shalat dan zakat”.
Dari urain tersebut dapat difahami
bahwa tanpa membayarkan zakat maka seseorang tidak dapat dianggap sebagai
seorang yang beriman ( Al-Qur’an Surat Al-Mukminun ayat 1-4, dan Surat An-Naml
ayat 2-3 ). Didalam Surat Lukman ayat 3-4 Allah lebih menegaskan bahwa tanpa
membeyarkan zakat, seseorang itu tidak dapat masuk kedalam orang-orang yang
berbuat baik dan orang-orang yang memperoleh petunjuk.. Demikian juga dalam
surat Al-Baqarah ayat 177 dinyatakan bahwa orang yang tidak membayarkan zakat
tidak dapat dikategorikan sebagai orang
yang baik, jujur dan taqwa.
Kedua,
nisab zakat sebagai ketentuan maksimal bukan minimal, Persepsi masyarakat tentang
nisab zakat sebagai ketentuan maksimal seperti selama ini perlu dirumuskan
kembali. Bagaimana masyarakat bisa mengubah persepsinya bahwa nisab zakat yang
tertera dalam dalil-dalil al-Qur’an dan hadits adalah merupakan ketentuan
minimal, sehingga dengan demikian masyarakat umat Islam bisa memiliki kesadaran
memberikan zakatnya dengan berlomba-lomba memberikan sebanyak mungkin, karena menurut ajaran Islam
berlomba-lomba dalam kebaikan adalah sangat dianjurkan ( Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 148 ).
Bisa dibayangkan, apabila masyarakat
umat Islam bisa merubah persepsinya bahwa nisab zakat yang ditentukan oleh
ajaran Islam itu sebagai ketentuan minimal bukan ketentuan maksimal, maka akan
banyak sekali uang zakat yang bisa terkumpul. Di sisi lain secara psikologi
sosial dapat difahami bahwa persepsi itu
merupakan proses selektif dari interpretasi yang kemudian akan mewujud
perbuatan, disamping bisa difahami bahwa
dengan persepsi nisab sebagai ketentuan minimal maka ada proses edukatif yang
sangat luar biasa bagi umat Islam untuk memotivasi diri mau berzakat
sebanyak-banyaknya, ketimbang ketika nisab itu dipersepsi sebagai ketentuan
maksimal.
Ketiga, zakat hanya dimaknai
sebagai ibadah saja. Zakat selama ini hanya dimaknai oleh umat Islam pada
umumnya sebagai ibadah semata, dengan demikian nilai zakat penetrasinya yang
terpenting adalah bagi sipemberi zakat saja yaitu, terhindar dari dosa karena
telah melaksanakan kewajiban ibadah yang hukumnya wajib dan mendapatkan pahala yang akan mengantarkan kehidupan dirinya
selamat dan senang pada kehidupan di akhirat nantinya. Persepsi seperti itu
tentu tidak banyak membawa kebaikan terutama bagi upaya pengentasan kemiskinan
dan persaudaraan umat Islam yang sangat penting dan pokok merupakan hikmah
diwajibkannya zakat dalam ajaran Islam.
Sudah saatnya bagi umat Islam
berbenah diri, introspeksi diri, mengapa umat Islam lemah, umat Islam tidak
maju, Umat Islam bodoh, miskin dan keterberlakang, dan masih banyak lagi
stigma-stigma serupa yang diperuntukkan bagi umat . Ajaran Islam selalu mengajarkan agar umat Islam dapat
hidup lebih baik dari hari kemarin. Dalam sebuah hadits Rasulullah dinyatakan “
Siapa yang keadaannya sama dengan keadaan hari
kemarin maka mereka adalah orang yang merugi, siapa yang keadaannya
lebih buruk dari hari kemarin maka mereka itu orang yang dilaknat oleh Allah,
dan siapa yang keadaannya lebih baik dari hari kemarin maka mereka itulah
orang yang beruntung “.( Al-Hadits ).
Allah juga menyatakan dengan tegasnya
bahwa Dia (Allah) tidak akan merubah keadaan umat Islam dari keterpurukan
menjadi kesuksesan kecuali umat Islam itu sendiri yang mau berusaha merubahnya
( al-Qr’an Surat Ar-Ra’du ayat 11 ).
Tidak ada jalan lain kecuali umat
Islam sadar sesadar-sadarnya dan mau mengubah persepsi diri tentang zakat,
tidak saja bermakna ibadah saja, melainkan bahwa zakat di dalam ajaran
Islam di samping bermakna ibadah,
juga zakat diwajibkan karena mengemban
missi persaudaraan Islam yang sejati dan sebagai sarana pengentasan kemiskinan.
Kedua hal ini di dalam kehidupan masyarakat umat Islam memang betul-betul dibutuhkan keberadaannya. Persaudaraan Islam
yang hakiki tidak bisa tidak harus selalu diusahakan merkipun dalam
realisasinya sangat sulit bahkan cenderung mustahil, itu semuanya karena umat
Islam tidak mempunyai
persepsi
yang benar mengenai zakat untuk merajut
persaudaraan sejati umat Islam. Dengan tidak adanya persepsi tersebut maka umat
Islam tidak pernah ada usaha sama sekali melalui zakatnya diperuntukkan bagi
terwujudnya persaudaraan sejati dimaksud Persaudaraan umat Islam saat sekarang
ini sesungguhnya adalah persaudaraan yang semu, artinya bukan persaudaran yang
sebenarnya atau persaudaraan sejati. Persaudaraan yang ada dikalangan umat
Islam hanya sekedar persaudaraan saling ikut merasakan kesedihan ketika ada
yang ditimpa musibah, atau ikut merasakan kebahagiaan. Ketika ada saudaranya
mendapatkan kebahagiaan. Belum sampai ketingkat ikut memikirkan, ikut berkorban
untuk kepentingan saudaranya itu dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari.
Bahkan kecenderungan yang ada sesama umat Islam saling masa bodoh yang penting
dirinya dan keluiarganya selamat. Keadaan seperti ini harus disadari oleh
seluruh umat Islam dan dimulai dari para ulama, cendekiawan atau intelektual
muslim dalam kerangka menyelamtkan umat
kedepan.
Disisi lain persoalan kemiskinan
umat Islam selalu ada di mana-mana. Dalam hal ini umat Islam tidak pernah ada usaha melalui
zakat ini untuk memberantas
Kemiskinan
ini, persoalannya karena tidak adanya persepsi umat Islam bahwa zakat itu
diwajibkan dalam Islam adalah untuk
memberanatas kemiskinan, sehingga dengan persepsinya itu umat Islam tidak
pernah ada usaha yang sungguh-sungguh
memanfaatkan zakat itu untuk mengentaskan kemiskinan umat Islam.
Kalaupun ada upaya pengentasan kemiskinan melalui ibadah zakat ini prsinya
masih sangat kecil sekali, yaitu oleh
sebagian kecil umat Islam yang sadar menggerakkan badan amil zakat. Terus
terang saja bahwa badan amil zakat pada saat itu masih segelintir kecil saja di
seantero nusantara ini yang ada dan mulai bergerak memikirkan kearah
pengentasan kemiskinan. Bagi badan amil zakat yang sudah ada di beberapa daerah
di seluruh nusantara ini jika dilihat dari cara dan hasil kerjanya belum
optimal. Untuk beberapa daerah boleh
dikatakan bekerjanya masih konvensional. Bersyukur untuk beberapa daerah
meskipun kuantitasnya masih sangat minim dan bisa dihitung dengan jari sudah
mulai digarap mengarah kepada cara profesional.
Padahal apabila umat Islam mau sadar
dan mau berfikir sedikit tentang manfaat zakat bagi pengentasan kemiskinan,
maka hasilnya akan sangat luar biasa, dan hampir semua umat Islam setuju pasti
akan bisa diatasi atau dientaskan kemiskinan itu dengan zakat, karena mayoritas
penduduk Indonesia adalah umat Islam yang mempunyai bebanan zakat ini.
Di samping persepsi tentang zakat
bagi umat Islam itu perlu diperbaharui, maka dalam hal sedekah ternyata
kebanyakan umat Islam yang memiliki persepsi sempit tentang sedekah. Selama ini
umat Islam persepsinya tentang sedekah
sangat sempit. Sedekah hanya dimaknai sebagai sesuatu tambahan amal yang
apabila mau ia kerjakan dan aapabila tidak mau tidak apa-apa. Persepsi seperti
ini tentu sangat sempit sekali, padahal menurut ajaran Islam sedekah itu di samping memiliki
kebaikan dan keuntungan
bagi diri orang yang bersedekah, juga meiliki
kebaikan-kebaikan untuk masyarakat atau orang lain. Kebaikan bagi dirinya
adalah bahwa orang yang bersedekah akan memperoleh pahala, semakin banyak
sedekah yang diberikan , maka semakin banyak pahala yang diperolehnya,
disamping itu orang yang banyak bersedekah akan disenangi oleh orang lain,
dihormati dan dihargainya. Adapun keun tungan yang diperoleh, bahwa sedekah itu
ternyata bisa menambah harta orang yang
bersedekah
itu, meminjam istilah Aa Gim sebutan
untuk Abdullah Gimnastiar, seorang Kiai kondang saat ini bahwa sedekah itu
adalah untuk memancing harta. Beberapa hadits Rasulullah saw. tentang sedekah
ini cukup banyak : Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim : “ Tidak mungkin
berkurang harta yang diberikan sebagai sedekah “. Hadits riwayat Imam Muslim: “
Nafkahkanlah hartamu,niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu “. Hadits riwayat
Imam Baihaqi : “ Turunkanlah (datangkanlah ) rizkimu ( dari Allah ) dengan
mengeluarkan sedekah “. Dan masih banyak lagi hadits yang sejenis.
Kalau
sedemikian hebatnya manfaat sedekah bagi si pemberi sedekah, mengapa umat Islam
tidak banyak yang mau besedekah, atau mau berlomba-lomba dalam bersedekah.
Jawabannya tentu persepsi yang kurang atau keliru para umat Islam tentang sedekah
ini. Kekeliruan persepsi ini bisa terjadi karena kurangnya informassi yang
diperoleh tentang sedekah dari sumber ajaran Islam baik dari Al-Qur’an maupun
hadits Rasulullah saw. Adapun kebaikan bagi orang lain atau masyarakat, maka
dengan sedekah itu mampu mempererat silaturrahim atau persaudaraan atau
persaudaraan atau persatuan umat Islam,
dan yang tidak kalah pentingnya jika sedekah ini bisa diformat dan dikelola
secara profesional, maka dipastikan dapat mengentaskan kemiskinan umat Islam
yang saat ini menjadi momok utama umat Islam dan menjadi sumber persoalan
sosial.
Dari uraian tersebut di atas, maka
sudah saatnya bagi umat Islam mengetahui beberapa kebaikan dan keuntungan dari
amal sedekah dan menjadikannya sebagai persepsinya, sehingga sedekah menjadi
sesuatu yang menarik, menyenangkan dan sesuatu yang diutamakan. Tidak seperti
selama ini bahwa sedekah hanya merupakan amal sambilan jika sempat dan mau saja
dan tidak mempunyai arti kecuali hanya sedikit saja.
b.
Pengelolaan ZIS
Pengelolaan ZIS oleh umat Islam pada saat ini harus diakui masih secara
konvensional, kecuali baru satu dua daerah yang telah mengarah kepada cara-cara
profesional, padahal pengelolaan ZIS ini
merupakan salah satu faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan umat Islam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah dan
upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Ada
tiga persoalan besar yang
menggelayuti pengelolaan ZIS ini dan
harus segera dicarikan jalan keluarnya. Persoalan-persoalan tersaebut adalah :
masalah sumber daya manusia ( SDM ), orgasnisasi, pemberdayaan zakat. Ketiga persoalan tersebut akan dibahas dalam
uraian berikut.
1) Masalah SDM
Pengelola ZIS..
Masalah SDM pengelola ZIS merupakan
masalah pertama yang krusial. Hampir diseluruh pelosok tanah air bisa disaksikan
bahwa mereka yang diserahi mengelola ZIS ini adalah mereka orang-orang yang
berpengetahuan relatif rendah. Mereka
pada umumnya para pengurus masjid yang tidak mempunyai kemampuan secara ilmu pengetahuan maupun
secara ekonomi. Sementara orang-orang muslim yang yang mempunyai kemampuan
secara ilmu pengetahuan dan ekonomi pada umumnya tidak mau dengan alasan tidak
ada waktu atau repot dan sebagainya.
Dengan
demikian pengelolaan zakat dilaksanakan oleh orang-orang muslim yang relatif
pas-pasan dari segala seginya, akibatnya mereka tidak pernah memiliki kemampuan
untuk berinisiatif; ketidakmampuannya itu bisa disebabkan karena ketidakmampuan
secara ilmu pengetahuan atau kecerdasannya dan bisa juga karena tidak ada
keberanian secara psikologis disebabkan beberapa alasan seperti minder, takut
salah dan sebagainya..
Disebabkan oleh kondisi SDM yang rendah ini akibatnya juga mereka hanya
menunggu dan menunggu saja, ada orang yang datang membayar zakat mereka layani,
tetapi jika tidak ada yang datang juga mereka tidak merasa pusing atau
resah, mereka hanya bekerja
seadanya saja. Akibat yang lebih fatal dari cara kerja seperti ini adalah bagi
masyarakat umat Islam yang memang pada umumnya memiliki pengetahuan tentang
zakat pas-pasan saja sehingga kadang-kadang mereka membayar zakat kalau sedang
mau dan kadang-kadang tidak membayar zakat, akan semangkin menipis tanggung
jawabnya untuki membayar zakat dan akhirnya masyarakat semakin lama semakin
sedikit yang membayar zakat bukan bertambah banyak, dan yang paling parah
sampai tidak ada yang mau membayar zakat, padahal banyak sekali masyarakat yang
sesungguhnya telah memiliki kewajiban membayar zakatnya tetapi tidak mau
membayarkan zakatnya karena tidak ada yang meminta. Disatu sisi banyak juga masyarakat
tidak membayarkan zakatnya disebabkan kebingungan karena tidak tahu bagaimana
caranya dan berapa uang yang harus dizakatkan. Persoalan lain yang muncul
akibat SDM yang rendah, pembukuan dan pelaporan
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ada persoalan lain lagi yang tidak
kalah pentingnya , yaitu pemanfaatan harta zakat tidak tepat sasaran ; mungkin
pembagiannya lebih banyak diterima oleh amil zakat sedangkan untuk fakir miskin
sangat sedikit sekali, mungkin uang zakat itu hanya diperuntukkan kebutuhan
konsumtif saja sedangkan untuk kebutuhan produktif sangat sedikit bahkan tidak
ada sama sekali. Inilah yang sering terjadi dimana-mana, sehingga mengakibatkan
ketidak percayaannya masyarakat terhadap amil zakat yang ada selama ini
akahirnya zakat tidak nampak hasilnya bagi umat Islam kecuali sangat sedikit.
Karena itu sudah saatnya umat Islam
untuk segera memberikan perhatian serius
dalam hal memilih dan menempatkan SDM yang akan diserahi mengelola zakat ini.
Bagi umat Islam seharusnya sadar, terutama yang memiliki kemampuan baik secara
ilmu pengetahuan maupun secara ekonomi untuk bersedia bahkan mengambil alih
kepengurusan maupun kepanitiaan zakat dimana mereka berada.
2) Masalah Organisasi
Bentuk
organisasi pengelola zakat selama ini pada umumnya hanya berbentuk
kepanitiaan yang keberadaannya sangat temporer, yaitu pada saat bulan puasa
saja setelah itu panitia dibubarkan atau secara otomatis dianggap bubarsetelah
selesainya pambagian zakat.. Baru pada tahun 2000 an setelah keluarnya
Uandang-undang Republik Indonesia Nomor
38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat sudah mulai dibeberapa daerah, atau
bahkan hampir seluruh daerah di seluruh Indonesia telah dibentuk Badan Amil
Zakat ( BAZ ). Akan tetapi dalam realisassinya
baru menyentuh instansi-instansi pemerintah dengan membentuk Unit
Pengumpul Zakat ( UPZ ), itupun belum
seluruh instansi melakukannya, karena pelaksanaannya masih
suka
rela bukan keharusan.
Padahal instansi pemerintah hanyalah
sebagaian kecil dari bagian masyarakat umat Islam, itupun belum seluruhnya
instansi pemerintahan melaksanakannya menjadi UPZ. Sedangkan sebagian besar
masyarakat umat Islam adalah masyarakat
bukan pegawai negeri sipil, atau masyarakat biasa, mereka hanya segelintir
kecil masyarakat yang dengan kesadarannya menyerahkan / membayarkan zakat
hartanya ke BAZ Propinsi ataun BAZ Kabupaten/ Kota. Jadi masyarakat umat Islam secara um um belum
tersentuk oleh Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Barangkali jika dipresentasikan kurang dari
5 % dari jumlah keseluruhan
umat Islam Indonesia.
Merupakan kebutuhan yang segera
bahkan sangat mendesak terwujudnya
organisasi pengelolaan zakat moder yang bukan sekedar berbentuk kepanitiaan
yang hanya bersifat temporer ketika datang bulan Ramadhan dan bubar setelah
selesai bulan Ramadhan begitu berulang setiap tahun, tanpa pernah ada evaluasi
keberhasilan, apakah sudah benar berhasil ataukah tidak berhasil. Apakah ada
kekurangan bahkan kesalahan dalam praktek pengelolaan dan sebagainya, itu semua
tidak pernah dilakukan. Sementara masyarakat secara tidak langsung membuat
evaluasi sendiri yang selalu hasilnya negatif, akibatnya yang terjadi
pengelolaan zakat tidak pernah berjalan dengan baik, meskipun tetap berjalan
karena merupakan perintah agama yang sangat dipatuhinya, tetapi pelaksanaannya kalau boleh disebutkan selalu
dengan nuansa fitnah. Harus disadari
bahwa tanpa adanya organisasi modern pengelolaan zakat jangan diharapkan zakat akan bisa eksis
mempunyai makna signifikan dalam mewujudkan ukhuwah Islamiyah dan
mengentaskan kemiskinan umat Islam. Bahkan sebaliknya cendernung menjadi fitnah
yang bisa menghancurkan ukhuwah Islamiyah dan melestarikan kemiskinan umat
Islam.
Dari uraian tersebut di atas dapat
difahami arti kehadiran organisasi pengelola zakat modern yang menyentuh sampai
ketingkat perdesaan . Kesemuanya itu merupakan pekerjaan rumah ( PR ) yang sangat berat dan memerlukan kerja keras
yang sunguh-sungguh dari berbagai fihak secara kompak bahu membahu dan satu
langkah.
3) Masalah Pemberdayaan
ZIS
a)
Memberdayakan dari konsumtif menjadi
Produktif
Pemberdayaan ZIS maksudnya membuat ZIS
itu menjadi berdaya guna. Bagaimana ZIS itu menjadi berdaya guna harus ada
perubahan signifikan tentang cara penggunaannya. Dalam hal ini harta ZIS
penggunaannya hanya untuk keperluan konsumtif bagi penerima ZIS, maka sekarang
harus orientasi penggunaannya ada perubahan dari sekedar memenuhi kebutuhan
konsumtif menjadi orientasi memenuhi kebutuhan produktif umat Islam. Kedengarannya
pernyataan tersebut bukan barang baru bahkan sangat klasik, tetapi
sesungguhnya masih tetap aktual, karena ternyata pada sebahagian besar
masyarakat umat Islam diduga keras masih berorientasi penggunaan zakat harta
ini untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.
Pendayagunaan ZIS untuk memenuhi
kebutuhna konsumtif adalah zahir nash (
dalil ) mengenai kepada siapa harta itu harus diberikan, yaitu kepada
delapan
asnaf dan yang utama adalah fakir miskin. Sebenarnya memprioritaskan asnaf
kepada fakir miskin itu sudah merupakan upaya pemberdayaan harta zakat agar
lebih mengena kepada sasaran maksud dari diwajibkannya zakat harta. Akan
tetapi masyarakat umat Islam ternyata
berhenti disitu, yaitu memberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan
konsumtif, tidak pernah terpikirsecara serius bagaimana jika untuk memenuhi
kebutuhan produktif. Padahal seandainya masyarakat Umat Islam mau sedikit
serius memikirkan pendayagunaan harta zakat untuk memenuhi kebutuhan produktif
, maka sesungguhnya umat Islam telah
menempuh dua hal yang sangat baik dan berharga bagi umat Islam dan Syi’ar Islam
itu sendiri yaitu mengentaskan kemiskinan terhadap orang yang menerima bagian
harta zakat disati sisi dan disisi lain berarti meninggikan syiar Islam,
mengapa ? Karena dengan berhasilnya zakat mengentaskan kemiskinan itu maka
banyak penilaian obyektif baik dari intern umat Islam itu sendiri berupa
kepercayaan umat Islam yang senang berzakat, sedang dari non muslim bahwa Islam memang agama yang
baik, dan tentu dapat menarik perhatian mereka untuk mereka mempunyai keinginan
menjadi muslim. Atau bagi non muslim akan merasa hormat dan takut untuk berbuat
yang tidak baik terhadap umat Islam karena daya kekuatan yang muncul dari zakat
itu ternyata telah menjadikan umat Islam menjadi kuat baik persatuannya, naupun
ekonminya, sehingga umat Islam tidak bisa diganggu oleh umat lain non muslim
yang sering dengan menggunakan iming-iming harta sebagai sarananya.
Selama ini umat Islam kebanyakan
membayarkan zakatnya secara sembunyi-sembunyi diberikan kepada orang fakir dan
miskin terutama kepada mereka yang masih ada hubungan famili. Hal ini memang
tidak salah dan sah-sah saja dan mungkin lebih baik menurut pendapatnya. Akan
tetapi apabila terus menerus pendayagunaan harta zakat seperti itu, maka yang
terjadi justru melestarikan kemiskinan, bukan mengentaskan kemiskinan. Oleh
karena itu sudah saatnya umat Islam untuk berfikir secara realistis bahwa
pendayagunaan semacam itu manfaatnya hanya sedikit dibandingkan apabila di amanhkan kepada pengelola zakat
yang kemudian dengan perencanaan yang matang didayagunakan menjadi untuk memenuhi kebutuhan produktif bagi para
fakir dan miskin. Dengan demikian pada
saatnya mereka yang semula m,enjadi asnaf penerima harta zakat akan berubah
menjadi seorang pemberi zakat ( muzaki ).
Merubah kultur masyarakat yang sudah
sedemikian kentalnya dalam pendayagunaan zakat ini bukanlah hal yang mudah.
Tentu rintangannya, halangannya banyak. Akan tetapi ini harus dimulai dan
direncanakan dengan program yang riil, kontinyu dan berkesinambungan. Karena
yang prinsip bagi manusia ( pemimpin umat ) adalah berencana dan berusaha
sedangkan hasil adalah milik Allah. Akan tetapi Allah telah berjanji hanya akan
memberikan apa-apa kepada manusia sesuai dengan usahanya.
b)
Strukturalisasi ZIS dan
menjadikannya sebagai lembaga
Perekonomian mikro tingkat perdesaan
yang dinamis dan mobil.
Strukturalisasi ZIS artinya
menjadikan ZIS menjadi model struktur
kelembagaan
yang permanen ditingkat perdesaan diseluruh pelosok tanah air Indonesia, serta
merubahnya menjadi lembaga perekonomian kerakyatan mikro. Pemberdayaan ZIS
dengan merubah dari sekedar ibadah atau sekedar lembaga keagamaan ansih menjadi
suatu model lembaga perekonomian mikro
tingkat perdesaan umat bukan suatu hal
yang mudah. Memerlukan keberanian umat
Islam merubah paradigma lama menjadi
paradigma baru . Perubahan paradigma dalam suatu disiplin ilinu pengetahuan
menurut Thomas Khun dalam karyanya : “ Revolusi Ilmu Pengetahuan “ beliau menjelaskan
harus melampaui enam tahapan proses sebagai berikut:
Paradigm
I---Normal Science--- Anomali--- Crisis--- Revolusi---Paradigma II(baru).
Menurut Khun bahwa Ilmu
pengetahuan pada waktu tertentu
didominasi oleh satu poaradigma tertentu, yaitu pandangan mendasar tentang apa
yang menjadi pokok persoalan dari suatu
cabang ilmu pengetahuan (Paradigma I ) .Normal Science,
adalah suatu priode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana para ilmuwan bekerja
dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh, Namun para ilmuwan tidak
dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi ( anomali ). Karena
tidak mampunya paradigma I memberikan jawaban terhadap persoalan yang timbul
secara memadai. Penyimpangan itu kemudian menjadi memuncak sehingga validitas
paradigma I dipertanyakan , maka telah terjadi suatu situasi yang dinamakan krisis.Apabila
krisis itu memuncak dan sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi
akan terjadi dan akan muncul paradigma II atau paradigma baru.
Demikian halnya dengan ZIS yang pada
saat sekarang ini dari sisi penerapannya yang mewujud menjadi budaya ZIS
sesungguhnya telah mengalami anomali yang serius sehingga telah mencapai kepada
tahap krisis, dan harus segera ada revolusi
ZIS untuk memunculkan paradigma baru.
Eksistensi ZIS di kalangan masyarakat umat Islam di tingkat
perdesaan keberadaannya sangat menyedihkan, struktur organisasinya musiman
hanya pada saat bulan Ramadhan saja setelah itu bubar dan akan ada lagi pada
bulan Ramadhan tahun berikutnya, demikian terus menerus. Itupun hanya mengurusi
masalah zakat saja baik zakat harta (
mal ) atau zakat fitrah. Sedangkan infak dan sedekah hampir tidak terjamah sama sekali, padahal
uamat Islam sesungguihnya telah memiliki budaya ZIS ini sejak lama. Hanya
karena tidak ada wadah yang mengkoordinirnya dengan baik maka masyarakat
menjadi tidak antusias dalam mengamalkan ZIS ini.
Di sisi lain, ZIS belum pernah
nampak memberikan manfaat yang maksimal sebagai ajaran Islam yang membawa nilai
ekonomis atau menjadi sistem perekonomian Islam, padahal sangat mungkin sekali
menjadikan ZIS tersebut menjadi salah satu alternatif sistem perekonmian mikro
tingkat perdesaan.
Mengapa selama ini belum pernah ada
pemikiran seorangpun dari para pakar Islam
yang mencoba merubah paradigma
ZIS dari sekedar ibadah sosial menjadi sistem perekonomian umat Islam..
Suatu pertanyaan yang susah dijawab, akan tetapi barang kali penyebabnya
diduga selama ini umat Islam tidak yakin
dengan ajaran Islam yang miliknya sendiri , dalam semua ssegi kehidupan
termasuk dalam sistem perekonomian Islam yang salah satunya dapat dikembangkan
adalah ZIS.
Oleh karena sudah saatnya umat
Islam, melalui para pakarnya masing-masing untuk memulai mengadakan revolusi
memunculkan paradigma baru dalam berbagai sistem kehidupan Islam termasuk
mengadakan revolusi untuk mewujudkan
paradigma baru tentang ZIS ini.
c. Campur Tangan
Pemerintah
Agama Islam mengajarkan agar umat Islam
tunduk dan taat kepada pemerintah ( al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 59 ).
Terlebih lagi bagi umat Islam Indonesia
yang kita semua telah faham bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamis
dan mayoritas adalah pemeluk Islam.Oleh karena itu berdasarkan kesepakatan
bangsa Indonesia melalui para founding father negara ini bahwa untuk mengurusi
masalah keagamaan masyarakat dibentuklah satu departemen khusus yaitu
Departemen Agama ( Depag ).
Berkenaan dengan sistem
perekonomian umat Islam pemerintah
Republik Indonesia pada tahun-tahun terkhir ini telah memulai ikut campur
tangan . Seperti adanya bank syari’ah pada bank-bank milik negara, pegadaian
syari’ah, Bang Muamalat Syari’ah dan BMT yang mendapat dukungan penuh oleh
pemerintah. Itu semua menunjukkan hal yang sangat positif bagi perkembangan
sistem perekonomian makro Islam. Pada tahun 1999 melalui menteri agama Malik
Fajar juga telah membuat Undang-undang Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Hal ini tentu sangat
menggembirakan umat Islam karena merupakan sesuatu yang sangat positif bagi
pengembangan zakat di kalangan umat Islam. Akan tetapi dalam realisasinya ternyata
perkembangan zakat di kalangan umat Islam di seluruh Indonesia belum memuaskan,
baru sebahagian kecil saja para umat Islam yang mempunyai kemampuan membayar
zakat telah membayarkan zakatnya melalui badan zakat yaitu Badan Amil Zakat ( BAZ ) di tingkat propinsi
maupun tingkat kabupaten, di samping itu BAZ itu secara struktural belum menyentuh sampai
kemasyarakat di tingkat kecamatan apalagi masyarakat perdesaan
sehingga zakat yang berjalan di masyarakat tetap seperti kebiasaan lama
, tidak terkoordidnir dengan baik, seadanya, serta pada umumnya masyarakat
masih memberikan sendiri zakatnya secara
langsung kepada para penerima zakat terutama kepada keluarganya yang berhak
menerimanya, sehingga manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan tidak kelihatan, padahal
jika ada upaya meningkatkan pemberdayaan zakat oleh umat Islam hasiulnya akan
sangat luar biasa. Sekedar contoh yang sudah mulai ada pemberdayaan yaitu di
Weleri Kendal Jawa Tengah dengan semboyan “Zakat Mal Zakat Kita”, masyaraakat
menghimpun dan memberdayakan penggunaannya secara efektif ternyata hasilnya
sangat kentara sekali bisa membantu
masyarakat dalam bentuk permodalan
meskipun belum dalam skala besar. Contoh untuk tingkat desa atau kelurahan,
yaitu di Kampung Kauman Yogyakarta.. Dari hasil penelitian penulis di Kampung
Kauman pada tahun 2000 terdapat
kenyataan yang unik mengenai zakat ini. Keunikannya terletak adanya persepsi
masyarakat Kampung seluruhnya tentang zakat: Pertama zakat adalah
sebagai sarana pembersih hartanya dari kotoran harta, karena harta yang
dimilikinya walaupun usaha sendiri degan cara yang halal masih tetap kotor karena masih
bercampur
dengan harta milik orang lain, oleh sebab itu harus dikeluarkan zakat. Kedua,
Nisab zakat bagi masyarakat tidak diartikan sebagai kewajiban maksimal,
sehingga harus dihitung persis sejumlah hartanya sesuai dengan ketentuan nisab,
melainkan diartikan sebagai nisab
minimal. Karenanya dalam membayarkan zakatnya pada umumnya melebihi ketentuan nisab
zakatnya. Ketiga , Pembayaraan zakat bisa dilaksanakan dengan cara
cicilan, artinya tidak harus sekaligus melainkan bisa dicicil beberapa kali.
Mengapa terjadi pemahaman masyarakat
yang demikian pada mayarakat umat Islam Kauman Yogyakarta? Suatu kondisi telah
membuat masyarakat harus berfikir sedemikian adalah : Pada setiap bulan
Ramadhan pada masyarakat Umat Islam Kauman Yogyakarta yang telah dianggap
mempunyai pemahaman dan pengamalan ajaran Islam
lebih baik dari masyarakat umat Islam di tempat lain, anggapan seperti
ini kemungkinan karena Kampung Kauman Yogyakarta sebagai tempat kelahiran
K.H.Ahmad Dahlan dan sebagai lahirnya
Persyarikatan Muhammadiyah,
sehingga beberapa organisasi sosial
otonom Muhammadiyah baik dari tingkat pusat , tingkat wilayah maupun tingkat
daerah, tingkat capang dan ranting hampir mereka mengirimkan surat permintaan
zakat kepada keluarga Umat Islam di Kauman Yogyakarta itu. Setiap keluarga di
Kauman Yogyakarta paling sedikit menerima lima buah surat permintaan zakat,
bahkan bagi yang dianggap kaya bisa
menerima surat sampai lebih dari dua puluh buah. Kelebihan Kampung Kauman ini
terhadap permintaan zakat ini tidak ada yang ditolak atau tidak diberi,
terutama bagi surat yang diantar langsung oleh utusan bukan melalui surat.
Mereka akan di beri sesuai dengan kemampuannya, atau mereka dijanjikan untuk
datang pada akhir bulan Ramadhan. Hal ini dilakukan oleh masyarakat karena pada
akhir bulan Ramadhan dapat diketahiui kemampuan mereka bisa memberinya, berapa
jumlah uang yang ada dan berapa jumlah surat yang diterima.
Banyak juga diantara yang datang
membawa permintaan zakat mereka langsung
diberi . Bagi masyarakat Kauman Yogyakarta apabila mereka memberinya
pada saat orang datang meminta zakat
maka dianggap sebagai pembayaran zakat secara cicilan. Disebabkan kondisi yang sedemikian ini,
maka masyarakat Kauman Yogyakarta hanya
sebagian kecil saja yang membayarkan zakat hartanya melalui Badan Amil Zakat,
Infak dan sedekah ( BAZIS ) yang sudah eksis sejak awal tahun 1994. Jumlah
Kepala Keluarga ( KK ) Kampung Kauman Yogyakarta sebanyak 523 KK, yang dianggap mampu berzakat
diperkirakan 400 KK. Berdasarkan
penelitian mereka yang membayarkan zakatnya melalui BAZIS Kampung Kauman hanya
28 KK saja atau hanya 0,054 %. Hal ini disebabkan mereka sudah membayarkan zakatnya
secara cicilan terhadap pengumpul zakat melalui permintaan surat-surat tersebut
di atas. Dari 0,054 %. Meskipun demikian dikarenakan sistem pendayagunaannya
untuk keperluan produktif, dan hanya sebagian kecil saja untuk konsumtif
seperti sumbangan kematian atau kebutuhan masyarakat yang sangat penting dan
mendesak bagi yang berhak menerimanya, maka pada tahun 2000 BAZIS Kampung
Kauman Yogyakarta telah mampu memberikan pinjaman modal bergulir sebanyak 66
orang untuk satu priode satu tahun yaitu tahun 2000 dengan rata-rata mereka memperoleh pinjaman modal
sebesar Rp.300,000,-, bahkan ada beberapa yang meminjam Rp. 500.000,-. Suatu
kenyataan yang sangat menggembirakan juga
ternyata
diketahui dari para penikmat uang zakat tersebut yang semula mustahik zakat ada
40 orang yang aktif memberikan bantuan
infak dan sedekahnya kepada BAZIS.
Uraian kasus tersebut di atas tentu
akan menggugah seluruh umat Islam di Indonesia, seandainya dapat terbina dengan
baik mengenai zakat ini, maka alangkah luar biasanya kekayaan milik umat Islam
dan dapat dipastikan kemiskinan di Indonesia dapat diminimalisir sampai tingkat
yang sangat menggembirakan.
Persoalan kemiskinan saat sekarang telah menjadi masalah nasional,
sehingga agar pendayagunaan zakat sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi
kemiskinan sangat diperlukan campur tangan pemerintah. Menurut kaedah hukum
Islam menyatakan : “ Tasharrufu al imaami ‘ala ar’iyyati manuutun bil al
maslahati”. “ Perlakuan pemimpin terhadap rakyat
disesuaikan dengan kemaslahatan “. Kaedah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah
harus mengatur rakyatnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dalam
hal zakat ini sesungguhnya masyarakat umat Islam telah memiliki budaya zakat
relatif baik, persoalannya adalah tidak terkoordinasi dengan baik, tidak
terkontrol dengan baik, tidak berfungsinya zakat secara optimal. Untuk
merealisasikan hal tersebut sangat diperlukan campur tangan pemerintah yang
berfungsi sebagai : 1. Pengatur yaitu dengan membuat undang-undang tentang zakat,
2. Pembinaan, yakni dalam hal pengelolaan maupun pendayagunaannya, dan 3
Pengawasan/ kontrol, yaitu memberi sanksi, menegur maupun memaksa dalam hal
terdapat pelanggaran terhadap undang-undang.
Dengan demikian Insya Allah bisa
diharapkan terdapat peningkatan pengamalan zakat di kalangan umat Islam dan
sekaligus berfungsi mengentaskan kemiskinan .
BAHAN
BACAAN
1. Al-Qur’an
dan Terjemahnya : Depag RI
2. Kitab
Hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
3. Kitab Hadits 1100 Hadits Terpilih : Oleh M.Faiz
Almath
4. Psikologi
Sosial: Oleh Bimo Walgito
5. Panduan
Praktis Zakat, Infak dan Sedekah : Oleh Didin Hafifuddin
6. Agama
dan Perubahan Sosial: Oleh Djoko Suryo Dkk.
7. Persepsi
dan Pemaknaan Masyarakat Umat Islam Tentang Zakat Harta: Tesis oleh M.Djupri
8. Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Islam: Oleh Mukhtar Yahya dan Fathurrahman
9. Pedoman
Zakat: Oleh Hasbi Ash- Shiddiqy
10. Undang-Undang
RI No.38 / 1999 tentang Pengelolaan Zakat
11. Kiat
Mengentaskan Kemiskinan : Oleh Yusuf Qardhawi
12. Sosiologi ,Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: Oleh Ritzer