Senin, 26 Desember 2011

Pajak Berganda Akad

Pajak Berganda Akad “Murabahah” Tidak Tepat

Jakarta-Undang-Undang No 21/2008 tentang Perbankan Syariah diharapkan menjadi solusi atas pajak berganda yang selama ini dikenakan pada transaksi pada akad murabahah atau jual beli. Dengan demikian, perbankan syariah yang menyalurkan sebagian besar dana pihak ketiganya melalui akad murabahah diharapkan dapat bertumbuh lebih pesat.
Hal tersebut dipaparkan Pengamat Perbankan Syariah Adiwarman A Karim dalam sosialisasi UU Perbankan Syariah oleh Departemen Keuangan, Sabtu (9/8). Menurutnya, penyaluran dana oleh perbankan syariah yang diatur dalam UU tersebut meliputi akad pembiayaan suatu barang berupa Murabahah, Salam, dan Istishna. "Tidak ada akad jual beli, jadi ini sebetulnya menghindari persoalan pajak berganda," jelasnya.
Sebelumnya, sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 7/46/PBI/2005, murabahah didefinisikan sebagai jual beli. Pemerintah mengenakan PPN kepada akad murabahah pada waktu transaksi pembelian barang kepada produsen oleh bank syariah dan saat diserahkan kepada debitor yang meminta pembiayaan Murabahah. PPN berganda itu dinilai praktisi perbankan syariah tidak tepat, karena transaksi jual beli dalam akad murabahah itu bukanlah transaksi dagang yang sebenarnya.
Adiwarman mengatakan definisi baru murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang. Ia menegaskan, definisi dalam UU Perbankan Syariah tersebut tidak menyalahi Fatwa MUI karena dalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan transaksi jual beli piutang Murabahah.
Menurutnya, diperlukan langkah selanjutnya agar pembiayaan murabahah benar-benar terhindar dari pajak berganda.
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Sunarsip berharap, UU Per-bankan Syariah ini makin memperjelas status bank syariah.
Soal kesiapan Pengadilan Agama menyelesaikan kasus ekonomi syariah, baik Adiwarman maupun Sunarsip sepakat Peradilan Agama harus mening-katkan SDM yang dimilikinya. Jika tidak, pihak yang bersengketa akan memilih penyelesaian lewat peradilan umum.
Sunarsip menambahkan keleluasaan untuk memilih penyelesaian sengketa di luar peradilan agama terkait ekonomi syariah diberikan untuk mengakomodasi investor yang beragama nonmuslim.
(esther fin harini)
           
           

Pajak Berganda di Bank Syariah
Pajak ganda yang dikenakan pada transaski murabahah (jual beli) merupakan isu penting yang belum kunjung surut dalam industri perbankan syariah sejak 2002. Karenanya ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) penting Ketua Asbisindo periode 2007-2012, Riawan Amin. Dirut BMI ini menggantikan Wahyu Dwi Agung, dalam musyawarah nasional asosiasi yang berakhir pekan lalu.
Berawal ketika pada akhir 2002, sebuah bank konvensional menyurati Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang mengklarifikasi apakah benar transaksi murabahah tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditjen Pajak tidak tahu-menahu perihal transaksi murabahah. Setelah melakukan kajian, mereka menyimpulkan bahwa praktik transaksi murabahah adalah transaksi jual beli antara penjual barang kepada bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli antara bank syariah dan nasabah.
Karena itu, merujuk pada UU no. 8/2000 tentang PPN barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua kali. Pertama saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari penjual kepada bank, kedua saat terjadi peyerahan barang dari bank kepada nasabah.
Surat tersebut memicu perbincangan serius di kalangan perbankan syariah. Mereka berpandangan meskipun memakai prinsip jual beli, pembiayaan murabahah bukan semata-mata transaksi jual beli. Pengenaan PPN ganda dinilai tidak tepat. PPN tersebut dikenakan dua kali dalam transaksi jual beli di bank syariah, yakni saat barang dibeli dan kemudian saat barang diserahkan kepada bank. Aprat pajak juga mengenakan PPN dari keuntungan yang didapat bank dari transaksi jual beli tersebut. Padahal, bank hanya melaksanakan fungsi intermediasi membiayai nasabah untuk membeli barang.
Riawan Amin, sebagai Direktur Utama BMI, sangat peduli dengan masalah pajak ganda. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah Koran nasional, dia secara tegas menyampaikan penolakkanya. Bank syariah, menurut Riawan, menganggap kebijakan pajak tersebut tidak tepat karena bank syariah adalah lembaga keuangan yang bebas dari pajak PPN. Karena itu, hingga saat ini Bank Muamalat tetap tidak bersedia membayar PPN itu. "Bank Muamalat sama sekali tidak mau membayar. Silakan saja kalau pemerintah mau menyita," kata Riawan kepada KONTAN.
Masalah serupa juga muncul di penerapan obligasi syariah (sukuk). Ia menyontohkan kegagalan PLN menerbitkan sukuk bagi investor asal Timur Tengah.
Menurutnya, salah satu bank dari Dubai, Uni Emirat Arab, sebagai investor ingin transaksi pembelian sukuk itu dinyatakan sebagai transaksi formalitas. Dengan begitu pajaknya pun harus ditetapkan formalitas juga. Namun masalahnya, UU Perpajakan tidak memungkinkan itu dikarenakan setiap transaksi harus dikenakan pajak. "Karena itu harus ada jalan keluarnya dengan rancangan UU baru," tegas Riawan.
Tak Wajib Bayar PPN
Berdasarkan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, bank konvensional dan shariah termasuk lembaga keuangan. Mestinya, menurut Riawan, kedua lembaga itu tidak terkena kewajiban membayar PPN.
Namun kenyataannya perbankan syariah tetap terkena PPN. Alasan Direktorat Jenderal Pajak, dalam transaksi murabahah ada prinsip jual beli yang lazim terkena PPN.
"Pemerintah memperlakukan bank syariah seolah-olah seperti show room mobil atau penjual material," ujar Riawan kesal.
dari berbagai sumber

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu