Selasa, 23 April 2013

Peruntukan Harta Wakaf dalam Fiqih Islam


Peruntukan Harta Wakaf dalam Fiqih Islam

Pendahuluan

Islam adalah sebuah ajaran yang bersifat komprehensif. Tidak ada satu ruangpun dalam kehidupan yang luput dari perhatian dan ketentuan Islam. Aturan Islam akan didapati masuk dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, dan dimensi kehidupan lainnya. Dengan demikian, maka pantaslah jika Islam dijadikan way of life, peta kehidupan yang akan menunjukkan jalan kepada manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat (Djuwaini, 2006)

Dalam subsistem ekonomi Islam dikenal institusi wakaf sebagai sebuah lembaga yang diinisiasi Islam untuk membantu kesejahteraan sosial. Wakaf merupakan suatu mekanisme transfer kekayaan dari kepemilikan pribadi kepada kepemilikan kolektif dan kepentingan bersama. Dalam arti ini, menurut Zakiyuddin (2007), wakaf adalah kebalikan dari ihya al-mawat dan iqtha’ yang mentransfer kepemilikan dari publik kepada kepemilikan individu.

Rasulullah sendiri yang kali pertama memprakarsai institusi ini sesuai dengan doktrin Al-Qur’an untuk menafkahkan dan mengabdikan sesuatu yang berharga dan dicintai dalam rangka mencapai kebaikan dan kebahagiaan dari Allah (al-birr) :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Ali Imran, 3: 92).

Rasulullah telah mewakafkan beberapa kebun untuk kaum fakir miskin, para pejuang, dan mereka yang membutuhkan . Meneladani Rasulullah, Para sahabat juga telah banyak mewakafkan harta mereka sehingga hampir tidak terdapat sahabat kecuali ia telah mewakafkan hartanya. Jabir Ibn Abdillah menyebutkan bahwa ia tidak mengenal seseorang sahabat yang mampu dari golongan muhajirin dan anshar kecuali ia telah menjadikannya sedekah jariyah (wakaf) yang tidak dapat diperjualbelikan, tidak diwariskan, dan tidak diberikan (Al-Bank al-Islami: 1997). 

Dalam makalah tentang ashab istihqaq al-waqf ini pembahasan diarahkan pada elaborasi secara mendalam peruntukan harta wakaf, diawali dari pembagian wakaf Khairi dan Ahli, Mauquf ‘alaih dan syarat-syaratnya, Wakaf untuk al-Mu’ayyan, dan Wakaf untuk Ghair al-Mu’ayyan.

Wakaf Khairi dan Wakaf Ahli

Pada prinsipnya, tujuan wakaf adalah qurbat atau mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Aqil al-Munawar (2004: 141), tujuan wakaf (mauquf ‘alaih) haruslah berupa objek kebajikan (wakaf khairi) yang termasuk dalam bidang qurban kepada Allah. Wakaf khairi merupakan suatu perbuatan menahan manfaat benda untuk kepentingan umum didasarkan pada ketaatan kepada Allah. Mendekatkan diri kepada Allah (qurban) dengan wakaf dilakukan dengan mentasharufkannya kepada mauquf ‘alaih yang sesuai dengan ketentuan Allah. Misalnya, wakaf kepada fakir, keluarga dekat, atau untuk kepentingan umum seperti masjid, madrasah, pengadaan air minum, pembangunan jembatan, memperbaiki jalan, dan lain-lain.

Sayyid Sabiq membedakan wakaf menjadi dua (2) jenis, yaitu wakaf ahli (dzurri) dan wakaf khairi (kebajikan).  

a). Wakaf Ahli atau dzurri, lanjut Sabiq dapat diartikan sebagai wakaf yang diberuntukkan bagi anak cucu atau kaum kerabat, atau para fakir miskin (Sabiq, 1994). Dalam wakaf ini harta diserahkan kepada perorangan. Jenis wakaf ini memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, sehingga harta wakif sering digunakan untuk kepentingan pribadi, dan sebaliknya tidak memperhatikan kepentingan ummat. 

b). Wakaf Khairi, yaitu wakaf yang sejak diikrarkannya memang diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti wakaf tanah guna pembangunan masjid atau pendidikan. Baik wakaf ahli maupun wakaf khairi berkembang hampir di seluruh Negara Islam, hanya saja di beberapa negara seperti Mesir dan Suriah, praktek wakaf ahli tidak diperbolehkan lagi.

Pada prinsipnya, menurut Agil (2004: 142) wakaf ahli tidaklah berbeda dengan wakaf khairi. Keduanya bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang memerlukan sebagai realisasi perintah Allah untuk membelanjakan sebagian harta. Perbedaan antara keduanya terletak pada pemanfaatannya. Wakaf ahli pemanfaatannya hanya terbatas pada keluarga wakif, yakni anak-anak mereka dalam tingkat pertama dan keturunan mereka secara turun temurun sampai anggota keluarga tersebut meninggal semuanya. Sesudah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain seperti janda, anak-anak yatim-piatu, atau orang-orang miskin. 

Ahmad Djunaidi (2008: 50) menyebut wakaf ahli mendatangkan dua kebaikan, kebaikan dari amal ibadah wakafnya dan kebaikan dari silaturrahmi dengan orang yang diberi amanat wakaf. Sedangkan keburukannya adalah lebih seringnya wakaf ini menyulitkan ketika terjadi kepunahan mauquf alaih atau sebaliknya berkembang demikian rupa. Kelemahan administrasi harta wakaf ahli sering kali menimbulkan persengkataan antar keluarga dalam memperebutkannya. 

Selain wakaf ahli dan khairi, Mundzir Kahf (tt: 193) menambahkan wakaf musytarak sebagai jenis ketiga, yang merupakan gabungan keduanya. Di dalamnya ada sebagian yang merupakan bentuk khairi dan sebagian dzurri.

Mauquf ‘Alaihi dan Syarat-syaratnya

Dalam hal distribusi wakaf, aturan syariah tidak begitu jelas dan tegas. Hal ini tentu berbeda dengan zakat yang menegaskan distribusi zakat untuk ashnaf yang jelas . Ulama Fiqh menurut Al-Mishri (2007: 148) selanjutnya sepakat bahwa dana zakat tidak boleh disalurkan kepada orang lain sebelum kaum fakir dan miskin dapat memenuhi segala kebutuhannya. Dalam melakukan distribusi, sebaiknya zakat digunakan untuk memberdayakan masyarakat sekitar muzakki terlebih dahulu, dan jangan dipindahkan ke tempat lain, kecuali jika terdapat kelebihan. 

Mauquf ‘alaih dapat diartikan sebagai tujuan wakaf atau sasaran atau pihak yang menerima wakaf. Secara umum dapat dikatakan bahwa wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang diperbolehkan Syariat Islam. Wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Allah, dan karenanya para faqih sepakat bahwa infak kepada kebajikan itulah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya (Direktorat Pemberdayaa Wakaf, 2008: 56).

Distribusi harta wakaf diperuntukkan bagi sasaran tertentu (ghard al-waqf) dengan syarat-syarat diantaranya:

1. Sasaran itu berupa salah satu bentuk kebajikan (al-birr) seperti subsidi untuk lembaga pendidikan umum dan khusus, pendirian perpustakaan, bantuan lembaga kajian keilmuan dan keislaman, pemeliharaan anak yatim, para janda, orang lemah, dan lain-lain .

2. Di dalamnya tidak terdapat maksiat yang diharamkan syariat dan hukumnya, atau dicela oleh akhlaq yang terpuji.

3. Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku (Kahf, tt: 192).

4. Akivitas kebajikan dalam sasaran wakaf hendaknya bersifat kontinyu.

5. barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif. 

6. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf (Al-Kabisi, 2004: 284).

Ahmad al-Raisuni meringkas sasaran kebajikan wakaf (al-majalat al-khairiyah) dalam tiga hal: pertama, wakaf dalam bidang agama dan peribadatan seperti pembangunan masjid dan sarana ibadah; kedua untuk pendidikan dan pengajaran; ketiga, wakaf untuk sosial, yang meliputi wakaf bagi kaum fakir dan orang yang butuh, wakaf bagi keperluan umum dan sosial, wakaf untuk orang sakit dan para penderita, dan wakaf untuk membantu lembaga pernikahan dan para pelakunya (al-Raisuni, tt: 14-21).

Dalam UU RI No 41 Tahun 2004 Pasal 22, harta wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi : a) sarana dan kegiatan ibadah; b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan atau e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. (Aulia, 2008: 122)

Hanya saja menurut Mondzer Kahf (tt.: 193), sasaran-sasaran kebajikan ini tidaklah mungkin untuk dibatasi, dan karenanya para fuqaha mengulasnya secara detail. Yang utama adalah hendaknya ditunjukkan dalam undang-undang sebagian bentuk-bentuk kebajikan itu, sehingga dapat diqiyaskan kepadanya dan dijadikan pedoman. Setiap masyarakat dan negara berhak memilih kebajikan yang lebih cocok dan diperlukan sesuai dengan keadaan masyarakat, tingkat ekonomi, dan kontruksi sosialnya. Dengan hal ini diharapkan dan mengundang manusia mewakafkan harta untuk tujuan-tujuan yang paling banyak manfaatnya.

Wakaf untuk al-Mu’ayyan

Wahbah al-Zuhaili (1996, 10: 7639) secara lebih detail membagi al-mauquf ‘alaih (sasaran wakaf) menjadi al-mu’ayyan dan ghair al-mu’ayyan. Al-Mu’ayyan berupa sesuatu atau seseorang tertentu, dua, atau tiga. Sedangkan ghair al-mu’ayyan atau al-jihat (sasaran) adalah seperti kaum faqir, ulama, para penjuang, masjid-masjid, ka’bah, (penyiapan) pasukan, sekolah-sekolah, benteng-benteng, dan pengurusan jenazah.

Berkenaan dengan al-mu’ayyan, syarat yang diberlakukan adalah hendaknya seseorang tertentu tersebut memang berhak untuk memiliki (ahl li al-tamalluk). Para Fuqaha selanjutnya berbeda pendapat tentang wakaf untuk al-ma’dum (yang belum ada), al-majhul (yang belum dikenal), dan ‘ala nafsih (diri sendiri). 

Kelompok Hanafiyah berpendapat bahwa wakaf untuk orang yang dikenal (ma’lum), atau orang yang belum ada (ma’dum), seorang muslim atau dzimmi, atau majusi dapat dibenarkan karena kaum majusi termasuk ahl al-dzimmah. Sedangkan wakaf seorang muslim atau dzimmi untuk gereja atau seorang kafir harbi tidaklah sah disebabkan hal tersebut tidak dapat disebut sebagai qurbah. Wakaf untuk dzimmi dikarenakan wakaf tidak merupakan qurbah bagi diri kita dan dirinya secara bersamaan. Sedangkan wakaf bagi harbi, dikarenakan kita telah dilarang untuk berbuat baik kepada mereka. 

Kelompok Malikiyah menyatakan bahwa wakaf kepada ahl al-tamalluk adalah sah, baik ia sudah ada maupun ia baru akan ada seperti janin yang akan dilahirkan, baik itu nampak sebagai qurbah seperti wakaf bagi seorang fakir maupun tidak nampak sebagai qurbah seperti wakaf bagi orang kaya, atau jika wakaf itu berasal dari seorang muslim untuk dzimmi meskipun ia bukan ahl kitab, dan tidah sah wakaf untuk harbi atau untuk hewan. Berdasarkan hal ini maka menurut mereka dapat dibenarkan praktek wakaf untuk al-maujud (yang sudah ada), al-ma’dum (yang belum ada), al-majhul (yang belum dikenal), muslim, dzimmi, al-qarib (keluarga terdekat), dan al-ba’id (keluarga jauh), kecuali bahwa wakaf bagi orang yang akan dilahirkan tidak dapat dijalankan hanya berdasarkan akad wakaf, tetapi ditangguhkan hingga keberadaannya memang nyata, maka harta wakaf tersebut akan diberikan kepadanya (al-Zuhaili, 1996, 10: 7643).

Wakaf untuk diri sendiri (‘ala nafsih) tidaklah sah meskipun diikuti dengan selain ahli waris, seperti ungkapan “aku wakafkan harta ini untuk diriku dan untuk fulan”. Dalam hal ini wakaf untuk diri sendiri menjadi batal, demikian pula untuk orang lain yang bersamanya kecuali jika harta itu dikuasai oleh orang tersebut. Jika seseorang mewakafkan hartanya untuk diri sendiri, kemudian untuk anak-anaknya sesudahnya, maka harta itu menjadi wakaf setelah ia meninggal, jika para anak menguasainya sebelum adanya mani’ (halangan). Atau dapat (dikatakan) juga wakaf bagi diri sendiri menjadi batal, sedangkan untuk yang lain tetap sah, baik wakaf untuk diri sendiri itu mendahului, atau terlambat, atau bersamaan dengan wakaf untuk orang lain. 

Kelompok Syafi’iyyah mensyaratkan dalam wakaf untuk al-mu’ayyan adanya kemungkinan untuk memilikinya ketika diwakafkan disebabkan keberadaannya. Karenanya, tidak sah wakaf untuk ma’dum seperti janin, karena tidak sahnya pemberian kepemilikan kepadanya waktu perwakafan, sama saja apakah hal itu disengaja atau tidak (tabi’). Jika seseorang memiliki anak yang sedang mengandung ketika proses wakaf, maka janin itu tidak masuk (sebagai penerima wakaf). Tidak sah wakaf seseorang untuk anaknya padahal ia tidak memiliki anak. Tidak sah pula wakaf bagi majhul seperti halnya wakaf untuk ghair al-mu’ayyan, atau seperti wakaf bagi seseorang yang akan dipilih si fulan. Hal ini dikarenakan wakaf adalah tamlik munjiz (pemberian kepemilikan yang berlaku), dan ia tidak sah jika diperuntukkan bagi majhul seperti halnya jual beli dan hibah. 

Wakaf untuk diri sendiri, atau untuk murtad dan harbi tidaklah dapat dibenarkan, disebabkan tidak adanya kemungkinan bagi seseorang untuk memberikan kepemilikian apa yang sudah dimilikinya sebagaimana ungkapan tahsil al-hasil muhal. Sedangkan untuk murtad dan harbi disebabkan mereka berdua rawan (‘urdat) untuk dibunuh sehingga tidak ada (jaminan) kelanggengan hidup mereka, padahal wakaf merupakan sedekah jariyah. Tidak ada wakaf bagi seseorang yang tidak memiliki kelanggengan apalagi dengan kekufurannya. Wakaf bagi murtad dan harbi merupakan jihat ma’siyat (al-Zuhaili, 1996, 10: 7643).

Sedangkan wakaf dari seorang muslim atau dzimmi bagi dzimmi mu’ayyan seperti halnya sedekah tathawwu’, ia diperbolehkan karena merupakan qurbah tetapi dipersyaratkan didalamnya tidak adanya maksud untuk ma’siyat. Jama’ah tertentu dari ahl al-dzimmah, seperti halnya satu orang dzimmi.

Madhab Hanabilah secara umum memiliki pendapat seperti Syafi’iyyah. Dipersyaratkan dalam wakaf untuk memberikan kepada seseorang yang memiliki kepemilikan menetap (milk mustaqirr), dan bersifat ma’lum dan maujud (nyata). Maka tidak sah wakaf untuk seorang hamba (abd’) yang tidak berhak memiliki secara mutlak, orang mati, janin yang masih diperut, makhluk halus (malaikat, jin, dan syetan), disebabkan mereka tidak memiliki. Seorang hamba mukatib meskipun ia dapat memiliki tetapi kepemilikannya lemah dan tidak menetap. Janin juga tidak dibenarkan untuk diberikan kepemilikan kecuali lewat kewarisan dan wasiat. Hanya saja wakaf bagi janin dibenarkan karena mengikuti yang lain (taba’an lighairih) seperti dalam ungkapan “aku wakafkan untuk anak-anakku atau anak-anak si fulan”, sedangkan diantara mereka ada yang hamil, maka akan wakaf tersebut mencakupnya.

Wakaf untuk murtad dan harbi tidak sah, dikarenakan harta mereka pada asalnya adalah mubah, boleh diambil dengan penaklukan atau paksaan. Padahal wakaf diperkenankan untuk sesuatu yang bersifat mubah al-asl, karena ia merupakan bentuk tahbis al-asl (penahanan harta pokok).   

Tidak sah wakaf untuk majhul seperti seseorang atau sebuah masjid atau salah satu dari dua orang dan dua masjid. Tidak sah pula wakaf untuk ma’dum , seperti “aku wakafkan untuk siapa saja yang akan dilahirkan dari anak-anakku, atau dari anak si fulan”, dikarenakan merupakan bentuk tamlik al-ma’dum (pemberian kepemilikan kepada yang belum ada). Hal ini bertentangan dengan kelompok al-Syafi’iyah.

Hukum wakaf untuk dzimmi adalah sah, dikarenakan mereka memiliki kepemilikan yang dihormati (milk muhtaram), sebagaimana diperbolehkan bersedekan untuk mereka seperti halnya kaum muslimin. Dalil diperbolehkannya wakaf seorang muslim untuk dzimmi adalah yang diriwayatkan bahwa Shafiyyah bin Huyyi istri Nabi Sallahu ‘alai wasallam mewakafkan untuk saudaranya seorang yahudi.

Wakaf untuk diri sendiri juga batal, dikarenakan siapa yang mewakafkan sesuatu secara sah, maka manfaat hartanya menjadi milik mauquf ‘alaih dan sebaliknya akan hilang dari diri wakif kepemilikan terhadap harta dan manfaatnya. Tidak sah baginya untuk mengambil manfaat dari harta itu, dikarenakan wakaf adalah pemindahan kepemilikan baik bentuk ruqbah maupun manfaat, dan keduanya tidak sah dalam hal ini. Padahal tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan untuk dirinya sesuatu dari dirinya sendiri, seperti halnya menjual sesuatu untuk diri sendiri. Hanya saja, bagi diri wakif diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari mauquf, jika ia mewakafkan untuk orang lain seperti masjid, dalam beberapa hal:

1. Ia mewakafkan sesuatu bagi kaum muslimin, dan ia masuk dalam golongan mereka seperti halnya jika ia mewakafkan sebuah masjid, maka diperbolehkan baginya untuk shalat di dalamnya, atau jika ia mewakafkan kuburan, ia diperkenankan untuk dikubur di dalamnya.

2. Ia mensyaratkan dalam wakaf untuk mendapatkan nafkah darinya, sebagaimana diriwayatkan Ahmad dari Hijr al-Madr bahwa dalam sedekah Rasulullah SAW beliau memperbolehkan keluarganya untuk makan secara ma’ruf dan tidak munkar , dan disebabkan bahwa Umar RA ketika mewakafkan berkata “tidak mengapa bagi yang mengurus wakaf untuk memakannya atau memberi makan teman tanpa keinginan untuk memiliki (mutamawwil) .

3. Wakif mensyaratkan untuk memberi makan keluarganya, maka wakaf dan syarat tersebut dibenarkan karena Nabi SAW mensyaratkan hal itu dalam sedekahnya ( al-Zuhaili, 1996, 10: 7640).
Jika yang bertindak sebagai wali wakaf (nadzir) adalah wakif sendiri, maka diperbolehkan baginya untuk makan dari harta wakaf itu, memberi makan teman, dikarenakan Umar bertindak sebagai wali sedekahnya.

Wakaf untuk Ghair al-Mu’ayyan
Berkenaan dengan al-mauquf ‘alaih dari ghair al-mu’ayyan, maka dipersyaratkan beberapa hal: 
1. Hendaknya ia merupakan sesuatu yang ma’lum dan merupakan sasaran kebaikan dan kebajikan sehingga infak untuk keperluannya dapat disebut sebagi qurbah kepada Allah SWT . Hal ini disepakati berlaku untuk kaum muslimin saja, dengan demikian mauquf ‘alaih merupakan qurbah lidzatih dan sasaran memiliki mauquf secara hukum.
Albirr adalah sebutan yang meliputi (ism jami’) seluruh bentuk kebaikan. Asalnya adalah taat kepada Allah. Menurut Wahbah al-Zuhaili (1996, 10: 7648), pensyaratan makna qurbah dalam mengarahkan wakaf bagi al-mauquf ‘alaih dikarenakan posisi wakaf sebagai bentuk qurbah dan sedekah, maka ia harus berada dalam tujuan dimana wakaf diadakan seperti halnya wakaf untuk kaum fakir, ulama, kerabat, atau untuk selain manusia seperti masjid, sekolah, rumah sakit, tempat penampungan, haji, jihad, penulisan/ penerbitan al-Qur’an, pengairan, pembangunan jembatan, dan perbaikan jalan . Dalam hal ini diperlakukan sama antara orang kaya dan miskin.
Berkenaan dengan wakaf untuk orang kaya (aghniya’), para ulama memiliki beragam pendapat. Al-Hanafiyah menyatakan tidak sah wakaf yang menghususkan orang kaya tanpa orang miskin karena hal itu bukanlah sebuah qurbah. Syafi’iyyah dan Malikiyah menyatakan sahnya wakaf untuk sasaran yang tidak tampak sebagai qurbah seperti orang kaya, dzimmi, orang fasik dengan mempertimbangkan bahwa wakaf adalah bentuk tamlik, dan ia seluruhnya adalah qurbah. Sedekah juga diperbolehkan atas ahl dzimmah dan orang kaya. Kelompok Hanabilah menyatakan tidak sahnya wakaf yang diberikan untuk perkara mubah seperti mengajarkan syair, atau bahkan untuk yang makruh seperti mengajarkan ilmu mantiq, dan juga untuk orang kaya (al-Zuhaili, 1996: 7646).
2. Bagi Abu Hanifah dan Muhammad: hendaknya akhir waqf ahli adalah sasaran yang langgeng dan tidak terputus. Jika akhir wakaf bukan seperti hal itu, maka tidaklah sah bagi kedunya dikarenakan al-ta’bid (kelanggengan) adalah syarat bagi diperbolehkannya wakaf. Penyebutan sasaran yang terputus (jihat tanqathi’) merupakan bentuk pembatasan waktu yang menyebabkan dilarangnya wakaf, karena ia menjelma menjadi wakaf bagi majhul yang tidak dibenarkan (al-Zuhaili, 1996: 7650). 
Abu Yusuf menyatakan bahwa hal ini bukanlah syarat (yang benar), tetapi wakaf untuk jihat tanqathi’ tetaplah dibenarkan, dan setelahnya wakaf diperuntukkan bagi kaum faqir meskipun mereka tidak disebut karena hal ini memang tidak terdapat dalam riwayat dari para sahabat. Tujuan akhir wakaf biasanya adalah kaum fakir meski tidak disebut. Penyebutan seperti ini ditetapkan secara dalalatan (indikatif) dan dhimnan (implikatif). Sesuatu yang ditetapkan secara dalalatan memiliki kedudukan seperti halnya sesuatu yang ditetapkan secara nassan (tekstual).
Jumhur Ulama’ mengambil pendapat Abu Yusuf tersebut, sedangkan Malikiyah tidak mensyaratkan ta’bid wakaf, dan menyatakan jika seseorang mewakafkan untuk sasaran tertentu secara mu’abbad lalu ternyata terputus, maka wakaf akan kembali untuk golongan ashabah terdekat dari keluarga wakif, tanpa dibedakan didalamnya antara laki-laki dan perempuan.

Kelompok Syafi’iyyah memiliki dua pendapat. Pengarang al-Muhaddab menyebutkan jika seseorang mewakafkan secara mutlak tanpa menyebut sasarannya, maka hal itu sah karena merupakan bentuk pengalihan kepemilikan secara qurbah seperti halnya udhiyah (qurban). Pendapat lain yang lebih mengemuka menurut Syafi’iyyah menyebut tidak sahnya wakaf tanpa penyebutan mashraf atau sasarannya. 
Al-Hanabilah menyatakan bahwa jika wakaf tidak diketahui berakhirnya, seperti wakaf untuk sebuah komunitas yang mungkin saja punah, sedangkan akhir wakaf tidak diperuntukkan bagi kaum miskin atau sasaran lain yang tidak terputus, maka wakaf tetaplah sah dikarenakan ia merupakan bentuk wakaf yang dikenali sasarannya (ma’lum al-mashraf) (al-Zuhaili, 1996: 7651). 
Jika diperhatikan, pendapat kelompok Syafi’iyah dan Hanabilah bertepatan dengan pendapat Malikiyah bahwa al-mauquf (harta) ketika mauquf alaih (sasaran wakaf) telah habis, akan dibelanjakan untuk keluarga terdekat wakif, karena tujuan wakaf adalah memperoleh pahala secara berkelanjutan, maka akan diarahkan pada apa yang ia persyaratkan ketika hal itu disebutkan, atau diarahkan kepada konotasi peruntukan wakaf ketika tidak disebutkan, sehingga ia menjadi wakaf muabbad. Jika nama-nama sasaran telah punah, wakaf diarahkan kepada keluarga terdekat wakif karena hal itu merupakan sasaran yang paling besar pahalanya.

Kesimpulan
Dalam uraian terdahulu dapat dipahami bahwa perdebatan ulama berkenaan al-mauquf ‘alaih memberikan penegasan bahwa upaya untuk menentukan sasaran dan peruntukan wakaf sangat terbuka. Acuan bahwa sasaran tersebut haruslah berupa qurbah atau merupakan bentuk al-birr (kebajikan) baik menurut ukuran syari’ah maupun wakif, merupakan pegangan pokok yang mendasari setiap interpretasi kontemporer dalam pemberdayaan pemanfaatan hasil wakaf.
Tentunya mempertimbangkan aulawiyat setiap sasaran wakaf turut membantu dalam menentukan pilihan. Al-ahamm fa al-ahamm. Prinsip ini berarti peruntukan wakaf dimulai dari yang lebih penting, baru kemudian yang penting berikutnya, dijadikan pijakan kedua dalam distribusi hasil wakaf. 
Dengan mencermati hal tersebut semoga tujuan utama wakaf serta kepentingan wakif dalam mewakafkan hartanya dapat terjaga dan terealisasi selamanya atau selama waktu yang diinginkan. Wallahu a’lam.


Daftar Pustaka
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. 2004. Hukm Wakaf Jakarta: Iiman.
Al-Munawar, Said Agil. 2004. Hukum Islam & Plularitas Sosial. Jakarta: Penamadani.
Al-Raisuni, Ahmad. Tt. Al-Fiqh al-Islami: Majalatuh wa Ab’aduh. www. gulfkids.com
Al-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh. Beirut:Dar al-Fikr al-Mu’ashir.
Aulia, Redaksi Tim. 2008. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), Bandung: Nuansa Aulia.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Rekontruksi Keadilan: Etika Sosial-Ekonomi untuk Kesejahteraan Universal. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Direktorat Pemberdayan Wakaf. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia. Depag RI.
Direktorat Pemberdayan Wakaf. 2008. Paradigma Baru Wakaf Tunai di Indonesia. Depag RI.
Djunaidi, Ahmad & Tabib Asyar.2008. Menuju Era Wakaf Produktif. Depok: Mumtaz Publishing.
Djuwaini, Dimyaudin. 2006. “Pengantar Penerjemah” dalam Abdul Sami’ al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kahf, Mondzer. Tt. Al-Waqf al-Islmi: Tathawwuruh, idaratuh, tanmiyatuh.
Sabiq, Sayid. 1994. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
Wajdy, Farid & Musyid. 2007. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam Yang Terlupakan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zahrah, Abu. 1971. Muhadharat fi al-Waqf. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi
1997. “Daur al-Waqf fi al-Takhfif min Musykilat al-Faqr wa Tahsin Nauiyyat al-Mujtama’ al-Islami fi al-Qarn al-Hadi wa al-‘Isyrin”. Al-Bank al-Islamy li al-Tanmiyah.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu