Selasa, 27 Desember 2011

Hermeunetika dan Liberalisasi


Hermeunetika dan Liberalisasi

Hermeunetika modern yang dipelopori oleh Friedrich Schleimer, memunculkan persoalan bagi kalangan Kristen. Sebab, hermeunetika modern menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sama, tanpa mempedulikan apakah teks itu “Divine” (dari Tuhan) atau tidak, dan tidak lagi mempedulikan otoritas penafsirannya. Baginya, faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks, disamping faktor gramatikal.
The University of  Halle memainkan peran penting dengan memunculkan teolog liberal terkemuka, Johann Solomo Semler (1725-1791). Para teolog liberal ini memainkan peranan penting dalam melakukan reapresiasi terhadap akal manusia dan tumbuhnya perlawanan terhadap otoritas yang tidak masuk akal (unreasonable authority). Semler melakukan pendekatan radikal terhadap sejarah bibel dan dogma, dengan mengajukan program hermeunetika dari perspektif “studi kritis sejarah”. Interpretasi bibel, kata Semler, harus dihentikan dari sekedar upaya untuk memverifikasi dogma –dogma tertentu. Interpretasi dogmatis terhadap bibel harus segera diakhiri dan perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut “truly critical reading”. Hermeneutika, menurutnya, mencakup banyak hal seperti tata bahasa, retorika, logika, sejarah teks, penerjemahan dan kritik terhadap teks. Tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri.
Sebenarnya, alasan mereka adalah mereka ingin mengembalikan pengertian teks bibel kepada konteks histories dan kondisi penulisnya, terlepas dari kungkungan tradisi gereja Ortodoks. Karena itu, perkembangan hermeunetika dalam tradisi bibel di kalangan modern, tak dapat dipisahkan dari sejarah trauma peradaban barat (Eropa) terhadap gereja, ditambah lagi banyaknya problematika teks bibel itu sendiri.

Apakah Metode Semacam Ini Bisa diTerapkan untuk Al-qur’an??
Ada beberapa hal yang perlu ditelaah untuk menjawabnya
Pertama, perlu dilakukan studi komparasi antara konsep teks Alqur’an dan konsep teks bibel. Dan kedua, perlu dilakukan kajian mendalam perbandingan anatara sejarah peradaban barat dan sejarah peradaban Islam. Kajian kedua hal ini dengan serius akan memberikan jawaban, bahwa ada perbedaan mendasar antara konsep teks dan dan perkembangan peradaban Islam dan Barat. Sehingga tidak terjadi sikap latah yang mengikuti kemana saja arah angin bertiup.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, dari ISTAC menilai, bahwa metode tafsir Al-Quran “benar-benar tidak identik dengan hermeunetika Yunani, juga tidak identik dengan hermeunitika Kristen dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.” Ilmu Tafsir Al-Qur’an merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur , tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama islam. Itulah sebabnya mengapa Al-Tabari menganggap ilmu tafsir sebagai yang terpenting disbanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat islam untuk memahami pengertian dan ajaran kitab suci Al-Qur’an, hokum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Berikut kritikan Prof. Wan :
“Konsekuensi dari pendekatan hermeunetika ke atas system epistemology Islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya piker agak berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah penolakannnya terhadap penafsiran yang final dalam suatu masalah agama dan akhlaq, tapi juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan dan dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia. Hermeunetika teks-teks agama Barat bermula dengan masalah besar :
1. Ketidakyakinan  terhadap keshahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adnya bukti materiil teks-teks paling awal.
2. Tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang boileh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’.
3. Tidak adanya sekelompok manusia yang menghapal teks-teks yang hilang itu.
Dan ketiga masalah diatas tidak terjadi dalam Islam, khususnya dengan Al-Quran. Jika kita mengadopsi satu kaidah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar sejarahnya, maka mita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan menionggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan lama.”


Aplikasi Hermeunetika : Kasus Nasr Hamid Abu Zayd
Untuk memperjelas dampak hermeunetika terhadap Al-Quran, menarik untuk mengkaji pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd, yang dikenal dengan konsep “Al-Qur’an sebagai produk budaya”. Sebagai hermenet, ia merasa perlu melakukan reposisi dan dekonstruksi terhadap konsep Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Namun jika dicermati, kajian beliau juga mengadopsi dan menjiplak konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, khususnya tradisi kritik teks bibel.
Dalam tradisi Kristen studi ini memang telah mengakar dengan sangat kuat. Werner George Kume, dalam bukunya The New Testament : The History of The Investigation of its Problem, menulis
“Ia muncul dari keyakinan bahwa tulisan kuno haruslah diinterpretasikan sesuai perspektif historisnya dan terkait dengan berbagai kondisi dari komposisi kalimatnya serta makna dan tujuannya bagi si penulis dan pembaca pertamanya.”

Sedangkan Reginald H. Fuller dalam bukunya A Critical Introduction to The New Testament, menulis
“itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud teks-teks perjanjian baru sesuai maksud para penulisnya kjetika pertama kalinya ditulis, kiya harus terlebih dahulu memahami situasi histories pada saat ia ditulis pertama kali.”

Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarah tak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks Al-Qur’an. Kaum Muslim sangat yakin bahwa Al-Quran berasal dai Allah SWT dan telah tercatat dengan baik sejak masa Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan hadits.
Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara problema teks Al-qur’an dengan bibel. Padahal bibel (The New Testamen) ditulis antara tahun 60-90 M atau sekitar 30-60 tahun setelah masa Jesus. Salah satu doktrin pokok dalam teologi Kristen adalah cerita tentang penyaliban dan kebangkitan Jesus. Namun  justru disinilah terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen.
Karena itulah, secara prinsip teks Al-Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana Problema teks bibel. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West:The Making of an Image, menegaskan
“Al-Qur’an tidak ada yang sepadan dengannya di luar Islam”
Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih mempercayai bahwa bibel adalah kata-kata dari Tuhan.
Tampaknya, kalangan pemuka dan cendikiawan Kristen menjadi resah, mengapa kajian kritis tentang teks bibel begitu berkembang, sementara Kitab Suci Al-Qur’an masih tetap diyakini kaum muslim sebagai Kalam Allah yang suci. Maka kemudian timbul dorongan kuat di kalangan orientalis-misionaris untuk menempatkan posisi Al-Qur’an sama dengan bibel.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar Universitas Birmingham di Inggris, menyatakan,
“sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”
Setelah itu, berbondong-bondonglah orientalis yang melakukan kajian kritis terhadap teks Al-Quran, sebagaimana sudah terjadi pada bible. Toby Lester dalam The Atlantic Monthly Januari 1999, menyarankan perlunya ditekankan aspek kesejarahan Al-Qur’an. Katanya
“Begitu banyak ummat islam yang meyakini bahwa semua yang ada diantara dua sampul Al-Qur’an benar-benar merupakan kata-kata Tuhan yang tak ada bandingannya. Mereka suka mengutip karya-karya tekstual yang menunjukkan bahwa bible punya sejarah dan bukannya jatuh langsung dari langit, namun sampai sekarang Al-Qur’an belum tersentuh diskusi ini. Satu-satunya cara untuk mendobrak tembok ini adalah dengan membuktikan bahwa Al-Qur’an juga punya sejarah.”
Michael Cook, dalam bukunya, The Koran : A Very Short Introduction, mengutip pendapat Nashr Hamid tentang Al-Qur’an sebagai produk budaya
“Jika teks (Al-Qur’an) merupakan pesan yang dikirim untuk bangsa Arab pada abad ketujuh, maka teks itu perlu diformulasikan dengan cara yang tentu saja harus sesuai dengan aspek-aspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu. Maka Al-Qur’an terbentuk dengan latar belakang manusia. Jadi ia merupakan sebuah produk budaya dan digarisbawahi oleh Mahkamah Kasasi ketika memvonisnya sebagai seorang kafir”
Menyimak sejumlah buku Abu Zayd, dengan mudah dapat dibaca ia begitu menaruh perhatian pada aspek “teks”. Dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur’an Abu Zayd juga menggunakan metode Hermeunetika. Ia harus mendefinisikan apa itu “teks”. Dengan itulah dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Untuk bible, tidaklah masalah karena semua teks bible memang ada pengarangnya. Tapi bagaimana dengan Al-Qur’an??? Apakah ada yang disebut sebagai ‘Pengarang Al-Qur’an’??
Disinilah kemudian Abu Zayd tampil “cerdik” dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW -Penerima wahyu- Sebagai semacam ‘Pengarang Al-Qur’an’. Ia menulis dalam bukunya
“bahwa Al-Qur’an diturunkan melalui malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa Muhammad sebagai peneria pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas masyarakat. Ia dalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak Yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya dalam perkampungan Badui. Dengan demikian, kata Abu Zayd, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya Muhammad adalah bagian dari social, budaya dan sejarah masyarakatnya.”
“Mereka memandang Al-Qur’an—setidaknya sampai pada tingkat perkataan—bukanlah teks yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata actual—sebagimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan--, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus dieksperikan dalam tapal batas intelektual dan kemampuan linguistiknya.”



Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad SAW diposisikan Abu Zayd sebagai semacam “Pengarang Al-Qur’an”. Yang artinya, redaksi Al-Qur’an adalah versi Nabi Muhammad SAW. karena beliau dikatakan hanya menerima wahyu dalam bemtuk inspirasi. Nabi Muhammad sebagai seorang ummy, dikatakan bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah redaksi Al-Qur’an, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengaruhi oleh budayanya.
Konsep Abu Zayd yang menyatakan bahwa teks Al-Qur’an sebagai ‘spirit wahyu dari Tuhan’ begitu identik dengan teks bible bahwa “The Whole Bible is given by  inspiration of God”. Dan pandangan ini kan pada apa yang banyak dilakukan oleh orientalis generasi-generasi awal yang menyebut agama Isalam sebagai “agama Muhammad” dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammaden Law”, ummat Islam disebut sebagai “Mohammaden”.
Pendapat Abu Zayd dan kalangan dekonstrusionis ini memang berusaha menjebol konsep dasar tentang Al-Qur’an yang selama ini diyakini kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah SWT. Dalam konsepsi Islam nabi hanyalah sekedar menyampaikan dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan pada ummatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, social, dan budaya setempat dan seketika itu. Beliau tidak menambah atau mengurangi apa-apa yang disampaikan melalui Malaikat Jibril.
Dan dia Muhammad SAW tidak menyampaikan sesuatu kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. An-Najm: 3)
Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia liannya karena beliau menerima al-wahyu.
Dalam keyakinan muslim selama ini, Nabi Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu. Teks-teks Al-Qur’an memang dalam bahasa arab dan sebagian ada yang berbicara mengenai budaya di masa itu. Tetapi Al-Qur’an tidak tunduk pada budaya, justru Al-Qur’an merombak budaya Arab dan membangun sesuatu pola pemikiran dan peradaban baru yang jauh lebih sesuai dengan fitrah manusia..
Banyak cerita yang menunjukkan bahwa bagaimana tokoh-tokoh Musyrikin Arab begitu terpesona dengan keindahan gaya bahasa Al-Qur’an yang belum pernah mereka dengar sebelumya. Karena itu kemudian mereka menyebut Rasulullah SAW sebagai ‘penyihir’ atau ‘penyair’.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu