Rabu, 01 Mei 2013

Leasing Konvensional



Pengertian

Leasing atau sewa guna usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang – barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu. Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli untuk dapat lansung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.
Secara umum leasing artinya Equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Munculnya lembaga leasing merupakan alternatif yang menarik bagi para pengusaha karena saat ini mereka cenderung menggunakan dana rupiah tunai untuk kegiatan operasional perusahaan. Melalui leasing mereka bisa memperoleh dan untuk membiayai pembelian barang – barang modal dengan jangka waktu pengembalian antara 3 -5 tahun atau lebih.
Pihak utama dalam leasing, menurut Ahmad Awari, ada beberapa pihak yang terlibat dala perjanjian lease, yaitu sebagai berikut :
1.      Pihak perusahaan sewa guna usaha (Lessor) adalah perusahan atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada lessee dalam bentuk barang modal.
2.      Perusahaan penyewa (Lesse) adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor.
3.      Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada lesse dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
Ciri – ciri adalah sebagai berikut :
1. Biasanya ada hubungan jangka waktu lease dan masa kegunaan benda lease tersebut.
2. Hak milik benda lease ada pada leasor
3. Benda yang menjadi objek leasing adalah benda – benda yang digunakan dalam suatu perusahaan.



JENIS – JENIS LEASING
1.      Finance Leasing (sewa guna usaha pembiayaan)
Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha (lessor) adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Penyewa guna usaha (lessee) biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama perusahaan sewa guna usaha, sebagai pemilik barng modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan dan pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi leasing.
Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imblan atau jasa penggunaan barang tersebut lesse akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang yang beruba uang rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama.
Jumlah rental ini secar keseluruhan akan meliputi harga barang yang dibayar oleh lessor
ditambah fktor bunga serta keuntungan pihak lessor. Selanjutnya capital atau finance lease masih bias dibedakan menjadi 2, yaitu :
a)      Direct finance lease
Transaksi ini terjadi jika lessee sebelumny belum pernah memilike barang yang dijadikan objek lease. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa lessor membeli suatu barang atas permintaan lesse dan akan dipergunakan oleh lessee.
b)      Sale and lease back
Dalam transaksi ini lesse menjual barang yang telah dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan uatu konrak leasing antara lesse dengan lessor. Dengan memperhatikan mekanisme ini, maka perjanjian ini memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan direct finance lease. Di sini lesse memerlukan cash yng bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja atau untuk kepentingan lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan sistem saale and lease back memungkinkan lessor memberikan dana untuk keperluan pa saja kepada kliennya dan tentu saja dana yang dibutuhkana sesuai dengan nilai objek barang lease.
2.      Operating lease (sewa menyewa biasa)
Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha membeli barang modal dan selanjutnya disewagunakan kepada penyewa guna usaha. Berbeda dengan finance lease, jumlah seluruh pembayaran sewa guna usaha berkala dalam operating lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan perusahaan sewa guna usaha mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang disewa guna usahakan atau melalui beberapa kontrak sewa guna usaha lainnya.
Perusahaan sewa guna usaha dalam operating lease biasanya bertanggung jawab atas biaya – biaya pelaksanaan sewa guna usaha seperti asuransi, pajak maupun pemeliharaan barang modal yang bersangkutan.

3.      Sales – Typed Lease (sewa guna usaha penjualan)
Suatu transaksi sewa guna usaha, dimana produsen atau pabrikan juga berperan sebagai perusahaan sewa guna usaha sehingga jumlah traksaksi termasuk bagian laba sudah diperhitungkan oleh produsen atau pabrikan.
4.      Leveraged Lease
Suatu transaksi sewa guna usaha, selain melibatkan lessor dan lessee juga melibatkan bank atau kreditor jangka panjang yang membiayai bagian terbesar transaksi.
5.      Cross Border Lease
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lesse yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lesse terletak pada dua negara berbeda.
Penggolongan Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing)
1)      Independent Leasing Company
Perusahaan sewa guna usaha merupakan suatu perusahaan yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan suatu produsen barang modal sehingga dalam pembiayaan barang modal yang dilakukan oleh independent leasing company ini dapat beragam ( tidak terfokus kepada satu merek barang modal, tetapi dapat terdiri dari berbagai merek maupun jenisnya).
2)      Non Independent Leasing Company
Perusahaan sewa guna usaha ini merupakan suatu perusahaan yang mempunyai hubungan langsung dengan produsen barang modal, dimana pendirian perusahaan sewa guna usaha untuk meningkatkan penjualan barang modal yang diproduksi oleh produsen yang bersangkutan.
3)      Captive lessor
Sering juga disebut two party lessor yang melibat dua pihak.
4)      Lease broker atau packager
Berfungsi mempertemukan calon lesse dengan pihak lessor yang membutuhkan suatu barang modal dengan cara leasing tetapi lease broker ini tidak memiliki barang atau peralatan untuk menangani transaksi leasing untuk atas namanya.





PROSEDUR MEKANISME LEASING
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebaga berikut :
1.   Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
2.   Setelah lesse mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
3.   Lessor mengevakuasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sew lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
4.   Pada yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dengan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
5.   Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
6.   Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
7.   Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lesse), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada supplier.
8.   Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
9.   Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah dditentukan dalam kontrak lease.
Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut lease agrement, dimana didalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat antara kedua belah pihak. Isi kontrak yang dibuat secara umum memuat antara lain:
1.      Nama dan alamat lease
2.      Jenis barang modal yang diinginkan
3.      Jenis atau jumlah barang yang dileasekan
4.      Syarat – syarat pembayaran
5.      Syarat kepemilikan atau syarat lainnya
6.      Biaya – biaya yang dikenakan
7.      Sangsi – sangsi apabila lesse ingkar janji
Setiap fasilitas leasing yang diberikan oleh perusahaan leasing kepada pemohon (Lessee) akan dikenakan berbagai macam biaya yang dibebankan terhadap lesse tidaklah sama.


KEUNTUNGAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)
Pembiayaan melalui leasing merupakan pembiayaan yang sangat sederhana dalam prosedur dan pelaksanaannya dan oleh karena itu leasing yang digunakan sebagai pembayaran alternatif tampak lebih menarik. Sebagai suatu alternatif sumber pembiayaan modal bagi perusahaan – perusahaan, maka leasing didukung oleh keuntungan – keuntungan sebagai berikut :
1.      Fleksibel.
2.      Tidak diperlukan jaminan.
3.      Capital saving.
4.      Cepat dalam pelayanan.
5.      Pembayaran angsuran lease diperlakukan sebagai biaya operasional.
6.      Sebagai pelindung terhadap inflasi.
7.      Adanya hak opsi bagi lesse pada akhir mas lease.
8.      Adanya kepastian hukum.
9.      Terkadang leasing merupakan satu – satunya cara untuk mendapatkan aktiva bagi suatu perusahaan

Hukum Syariah Seputar Leasing Atau Sewa Beli Konvensional
Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Leasing ini ada dua katagori global, yaitu operating lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengan konsep ijarah di dalam syariah Islam yang secara hukum Islam diperbolehkan dan tidak ada masalah.
Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad yaitu akad sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli. Leasing dalam tulisan ini dikhususkan pada pembahasan financial leasing atau sewa-beli ini.



Daftar Pustaka
1.      Komar Andasasmita, (1989), Serba Serbi Leasing, Bandung: INI. ------------, (1993), Leasing: Teori dan Praktek, Bandung: Ikatan Notaris.
2.      Ahmad Anwari, (1987), Leasing di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
3.      Baker, C. Ricard & Rick Stephan Hayes, (1981), Lease Financing: A Practical Guide, Canada: John Wiley & Sons, Inc.
4.      Clark, Tom (Ed.), (1985), Leasing Finance, London: Euromoney Publications.
5.      Muhammad, Abdulkadir, dkk., Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

Selasa, 23 April 2013

DANA TALANGAN HAJI, PROBLEM DAN HUKUMNYA


DANA TALANGAN HAJI, PROBLEM DAN HUKUMNYA

Oleh : Mahasiswa Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta
`1(Sebagai makalah tamu pada seminar nasional yang diadakan oleh Pimpinan Pusat muhammadiyah Yogakarta bekerjasama dengan Mentri agama)

 I.      PENDAHULUAN

Ibadah Haji adalah perjalanan rohani menuju rahmat dan karunia Allah swt, ia merupakan salah satu dari kelima pilar penyangga tegaknya agama islam di muka bumi yang disyariatkan oleh Allah swt kepada hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus tetap menjaga supaya ibadah haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi islam, bukan sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna dari Rukun Islam. Bahkan as-Sayyid as-Sabiq mengatakan sekiranya ada orang yang mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari agama Islam (as-Sabiq: 2001: 460)
Allah swt telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 196 :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Q.S. Al Baqarah (2): 196
Atas dasar inilah orang-orang Muslim berusaha untuk menunaikan ibadah haji guna menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji termasuk ibadah yang membutuhkan biaya relatif tinggi, setidaknya untuk muslim Indonesia. Kurang lebih untuk saat ini harta senilai tiga puluh juta harus dipersiapkan untuk pembiayaan ibadah haji. Dana yang sebesar itu tentu bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga tidak semua orang bisa melaksanakannya, hanya orang-orang tertentu yang sudah dikatakan berkemampuan, ironisnya pula bagi sebagian masyarakat di Indonesia masih ada anggapan bahwa berhaji akan menaikan status sosial seseorang. Faktor-faktor ini mendorong tingginya animo masyarakat untuk berusaha melaksanakan ibadah haji dalam keadaan dan kondisi apapun tanpa melihat lagi beberapa pertimbangan yang menjadi syarat wajib dan sahnya haji.
Dalam pada itu, perkembangan zaman yang menjalar ke seluruh lini kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perbankan syari’ah, membawa kemajuan yang sangat signifikan. Sehingga menuntut para ekonom syari’ah untuk terus berpikir kreatif dan inovatif dalam merespon kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Salah satu inovasi dunia perbankan syariah baru-baru ini adalah mengeluarkan produk pembiayaan talangan haji yang bagi sebagian besar orang merupakan terobosan positif yang menawarkan kemudahan untuk membantu  masyarakat muslim mewujudkan cita-cita mulianya dalam menegakkan salah satu pilar islam, yaitu ibadah haji. Dalam perkembangannya, masyarakat selama ini antusias dengan datangnya produk ini, bahkan secara nasional produk ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Pembiayaan talangan haji sebagai hasil dari pemikiran dan peradaban manusia tentu perlu kita kaji dengan seksama untuk kemudian kita sebagai umat Islam bisa menentukan sikap terhadap keberadaan dana talangan haji.
Untuk dapat menyikapi dan menentukan pilihan mengenai permasalahan tersebut, kami akan memaparkan secara singkat mengenai dana talangan haji, baik secara teoritis maupun secara praktis.

II.      PENGERTIAN DAN KEWAJIBAN HAJI

Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Kata haji mempunyai arti qashd yaitu tujuan, maksud dan menyengaja. Sedangkan menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pada waktu tertentu ( az-Zuhaily: 2006: 2064). Secara rinci as-Sayyid as-Sabiq  mendefinisikan haji adalah  menuju ke Makkah untuk melaksanakan ibadah thawaf, sa’i, wukuf di arafah dan semua manasik haji guna mengharapkan ridha Allah swt. (as-Sabiq: 2001:II: 460).
Wajibnya ibadah haji merupakan perkara yang benar-benar telah diketahui dalam agama Islam (المعلوم من الدين بالضرورة) (Âlu Bassâm, 2002: II: 409) dan merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima (ash-Shanâniy, 2006: 189). Jika ada diantara umat Islam yang mengingkari wajibnya haji, maka ia dihukumi murtad dari agama Islam (as-Sayyid as-Sâbiq, 2001: 460).
Ibadah haji telah absah berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ umat Islam (Âlu Bassâm, 2002: 409). Masing-masing dalil tersebut adalah sebagai berikut.
1)      al-Qur’an
Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrâhim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah banwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (Âli Imrân (3): 96-97)
Menurut Jumhur Ulama, inilah ayat yang menunjukkan wajibnya haji (Ibnu Katsír, 2008: 348).
2)      as-Sunnah
إرواء الغليل (3/ 248)
 كتاب الزكاة 781 – حديث ” بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت ) متفق عليه
Islam dibangun atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan berhaji ke baitullah”. (H.R. Muttafaq ‘Alaih).
وعن أبي هريرة قال خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا أيها الناس إن الله قد فرض عليكم الحج فحجوا فقال رجل أكل عام يارسول الله فسكت حتى قالها ثلاثا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لو قلت نعم لوجبت ولما استطعتم ثم قال ذروني ما تركتم رواه أحمد ومسلم والنسائي
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw berkhutbah kepada kami, lalu ia bersabda”: “Wahai umat manusia, sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah”. Lalu ada seorang laki-laki yang bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah ?” Rasul diam (belum menjawab) hingga laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Setelah itu Rasulullah menjawab: “sekiranya aku berkata ‘ya’ maka ia akan diwajibkan (setiap tahun) dan kalian pasti tidak mampu (melaksanakannya)”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ambillah apa yang aku tinggalkan kepada kalian”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan an-Nasâi dan dishahihkan oleh al-Albâniy).
Dalam riwayat lain dikatakan
صحيح وضعيف سنن النسائي (1/ 55)
( سنن النسائي )
أخبرنا محمد بن يحيى بن عبد الله النيسابوري قال حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أنبأنا موسى بن سلمة قال حدثني عبد الجليل بن حميد عن ابن شهاب عن أبي سنان الدؤلي عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قام فقال إن الله تعالى كتب عليكم الحج فقال الأقرع بن حابس التميمي كل عام يا رسول الله فسكت فقال لو قلت نعم لوجبت ثم إذا لا تسمعون ولا تطيعون ولكنه حجة واحدة .
تحقيق الألباني :
صحيح ، الإرواء ( 149 – 150 ) ، صحيح أبي داود ( 1514 )
Dalil-dalil di atas secara jelas menggambarkan wajibnya ibadah haji dan secara pasti telah menjadi kesepakatan umat Islam (Âlu Bassâm, 2008: 631)
Ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Hal ini telah disepakati, sebagaimana yang dikatakan oleh imam an-Nawawiy, al-Hâfidz, dan ulama lainnya (asy-Syaukâniy, 1973: 3). Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama. Mereka beralasan bahwa di dalam ayat tersebut (Âli Imrân (3): 97) tidak terdapat qarínah yang menunjukkan perintah untuk melakukan haji berkali-kali (tikrâr) (ash-Shâbuniy, 2007: 296). Selain itu, secara eksplisit, kedua hadits di atas menunjukkan haji hanya diwajibkan sekali. Kaidah ushul fikih mengatakan :
لأن الأصل في الأمر للوجوب, فإن أريد به الندب أوالإباحة فلا بد من قرينة تدل على ذلك
Karena hukum pokok dari perintah adalah wajib. Jika yang dimaksud dari perintah tersebut adalah anjuran (an-nadb) atau kebolehan (al-ibâhah), maka harus ada qarínah yang menunjukkan pada hal tersebut (Ibnu Najâr, 1997: 19).

III.      SEPUTAR DANA TALANGAN HAJI

A.    PENGERTIAN

Sebelum kita melangkah pada analisis dan pengambilan hukum, maka sebaiknya kita mengetahui dana talangan haji itu sendiri. Sebagaimana yang ditulis dalam website bank Syariah Mandiri, bahwa Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (Qardh) dari bank Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank Syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.

B.     DASAR HUKUM.

Pihak perbankan mendasarkan produk ini kepada fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor No.  29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002  tentang pembiayaan pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan  Syariah).  Di dalam fatwa tersebut DSN MUI mengemukakan dalil-dalil umum mengenai kebolehan akad al-qardh dan al-ijārah sebagai akad yang menjadi komponen produk ini.
Serta menyertakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
  1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
  2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
  3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
  4. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah (FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH)
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai prinsip dan ketentuan akad al-qard dan al-Ijarah :
  1. Prinsip al-Qard
Ketentuan Umum al-Qardh
  1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
  2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
  3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah (FATWA  DEWAN SYARI’AH NASIONAL  NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang AL-QARDH)
  4. Prinsip Ijarah

  1. Rukun dan Syarat Ijarah:
1)      Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2)      Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3)      Obyek akad ijarah adalah :
  1. manfaat barang dan sewa; atau
  2. manfaat jasa dan upah.
2)      Ketentuan Obyek Ijarah:
  1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
  2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
  3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
  4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
  5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
  6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
  7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah.
  8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
  9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
3)      Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :
  1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a)      Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b)      Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c)      Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
  1. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a)      Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b)      Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c)      Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut (FATWA DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN IJARAH)

C.    AKAD AL-QARD DAN IJARA

1.      AL-QARD
Al-Qardh secara etimologis merupakan bentuk masdar dari قرض الشئ – يقرضه, yang berarti qata’a memutus. Dengan demikian  al-qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. (al-Bahuti : tt : 298) As-Sayyid as-Sabiq mendefinisikan al-qardh sebagai berikut :
القرض هو المال الذي يعطيه المقرض للمقترض ليرد مثله إليه عند قدرته إليه
“Harta yang diberikan seseorang pemberi hutang kepada orang  yang dihutangi untuk kemudian dia memberikan yang semisal/sepadan setelah mampu”. (as-Sabiq : tt : XII : 166).
Pada perkembangannya. Para Ulama’ memberikan defenisi al-Qardh dengan defenisi yang berbeda :
Ulama Hanafi menjelaskan bahwa al-Qardh adalah harta al-misliyat[1] yang dipinjamkan dan kemudian dikembalikan dengan barang yang serupa. Sehingga dalam al-Qardh ini disyaratkan harta tersebut berjenis misliyat, dimana harta tersebut tidak memiliki perbedaan dalam hal nilainya (Ali Fikri: tt: 344)
Imam Malik  juga memberikan defenisi yang hampir sama, yaitu pembayaran seseorang kepada orang lain dengan benda yang sama dengan harta yang diambilnya dengan ketentuan tidak boleh adanya tambahan (bunga) pada bayaran asal dan harta yang menjadi bayaran tidak boleh berbeda dalam hal nilainya.
Imam Syafi’i mendasari pengertian al-Qardh dengan firman Allah swt
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (al-Baqarah: 245)
Berdasarkan ayat diatas, imam syafi’i memberikan kriteria, bahwa al-Qardh disini adalah pinjaman yang baik, sama dengan as-Salf[2], yaitu kepemilikan terhadap suatu benda sebagai pinjaman untuk kemudian dikembalikan dengan semisal harta tersebut berdasarkan kebiasaan pada masa itu[3] (Ali Fikri: tt: 345)
Imam Ahmad bin Hambal menerangkan bahwa. Al-Qardh merupakan salah satu jenis pinjaman yang tidak ada bunga didalamnya dalam rangka membantu orang yang meminjam untuk mengambil manfaat dari barang yang ia pinjam (Ali Fikri: tt: 346)
Dari  definisi di atas, jelaslah bahwa akad qardh merupakan bentuk muamalah bercorak ta’awun (tolong menolong) semata, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pihak lain yang kekurangan. Jadi tidak ada imbalan tertentu yang dipersyaratkan.

2.     DASAR HUKUM QARDH

a). al-Quran
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
siapakah yang mau member pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (surat al-baqarah : 245)
b). hadits
Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang bersumber dari ibnu masud radhiyallahu ‘anh dari nabi s.a.w., beliau bersabda :
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة
tidakkah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali.” (riwayat ibnu majah) Dan masih banyak lagi dalil serupa, baik dari al-quran maupun hadits.

3.      HUKUM QARDH

Hukum qardh mengikuti hukum taklifi ; terkadang boleh terkadang makruh, wajib dan  haram  semua itu sesuai dengan cara mempraktekkannya karena hukum wasilah itu meliputi hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mendesak sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang kaya itu wajib memberi hutang. Jika pemberi hutang mengetahui bahwa yang menghutang akan berbuat maksiat dengan barang yang dihutangi, maka haram bagi si pemberi hutang untuk memberikan hutang  dan lain sebagainya berdasarkan kondisi-kondisi yang bisa merubah hukumnya. (Ath-Thayyar : 2009 : 157).
Ada dua hal yang perlu diketahui menyangkut hukum al-qard dalam konteks pembahasan  dana talangan haji yaitu  syarat tempo dan tambahan dalam qard. Untuk yang pertama pendapat yang shahih menyatakan kebolehan persyaratan tempo. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, al-Utsaimin dan Shalih Fauzan (Ath-Thayyar, 2009 : 165-166).
Menyangkut tambahan dalam qard, maka tergantung apakah penambahan tersebut dipersyaratkan atau tidak. Jika penambahan tersebut disyaratkan, maka berdasarkan ijma ulama hukumnya haram karena adanya riba terselubung. Praktek memberikan hutang untuk mendapatkan manfaat juga termasuk yang diharamkan. Pengharaman ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حَمْزَةَ ، أَنْبَأَنَا سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ ، عَنْ عِمَارَةَ الْهَمْدَانِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Hamzah, telah mencertiakan kepada kami Syawar bin Mus’ab dari Imarah al-Hamdaniy, dia berkata : aku mendengar Ali ra berkata, Rasulullah saw bersabda :  setiap qard yang menarik manfaat adalah riba. (HR. Baihaqi, Thabrani)
Jenis penambahan yang kedua adalah penambahan yang diberikan ketika pembayaran dan tidak dipersyaratkan. Tambahan seperti ini tidaklah diharamkan dan bahkan temasuk perbuatan yang baik berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim (Ath-Thayyar : 2009 : 169).

4.      RUKUN DAN SYARAT

Dalam aqad Qardh ini, terdapat ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat:
  1. Syarat aqidain (orang yang memberi pinjaman dan yang dipinjami), yaitu kedua belah pihak adalah orang yang mampu mentasarufkan hartanya sendiri secara mutlak dan bertanggung jawab atau dengan istilah ahliyatul at-Tabarru. Juga kedua belah pihak melakukannya karena terpaksa
  2. Syarat muqtarad (barang yang menjadi objek Qardh) adalah harus barang yang bermanfaat dan dapat dipergunakan.
  3. Syarat shighat, ijab qabul menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak, dan Qardh tidak boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh (yang meminjami). Demikian juga shighat tidak mensyaratkan Qardh bagi aqad lain (multi aqad) (Affandi : 2009 : 183)
5.      AL-IJARAH

Al-Ijarah adalah bentuk musytaq (derivasi) dari al-ajru yaitu al-‘audu (pengganti). Secara istilah adalah akad pengambilan manfaat dengan menggganti (as-Sabiq : tt : 144)
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa al-Ijarah adalah aqad yang berakibat pemindahan kepemilikan terhadap manfaat benda yang diketahui oleh pemilik barang  dengan maksud mendapatkan imbalan lebih (sewa menyewa). Sedangkan Ulama Malikiyah hanya menyamakan dengan al kiraa’[4] (Ali Fikri: tt: 85).
Ulama Syafi’iyah pun juga memberikan defenisi yang hampir sama, dengan kebolehan adanya tambahan yang disepakati dalam aqad, sehingga bagi ulama Syafi’iyah  ijab dan qabul sangatlah penting dan harus memakai lafazh (Ali Fikri: tt: 87).
Sementara Ulama Hambali, memberikan defenisi yang lebih terperinci dengan menyatakan adanya kesepakatan waktu dalam aqad, dan tambahan dari sewa juga sesuatu yang disepakati (Ali Fikri: tt:89 )
Landasan Syari’ah transaksi al-Ijarah adalah :
  1. Al-Qur’an
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Q.S. Az Zukhruf (43): 32).
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka” (Q.S. Ath-Thalaq (65): 6)
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S. Al-Qashash (28): 26)
  1. Al-Hadits

وروى ابن ماجه أن النبى صلى الله عليه و سلم قال : أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi saw bersabda : “berikanlah upah pada buruh sebelum keringatnya kering”
وعن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه و سلم قال : احتجم وأعط الحجام أجره. (رواه البخارى و مسلم)
Dari Ibnu Abbas, Nabi saw bersabda : “berbekamlah engkau, lalu berikanlah upah pada orang yang membekam”. ( HR. Bukhari Muslim)

6.      SYARAT DAN KETENTUAN IJARAH

Dalam aqad Ijarah, juga ditentukan beberapa syarat:
  1. Kedua belah pihak telah mumayyiz, dan tidak ada paksaan ketika melakukan aqad
  2. Objek sewa bisa diserah terimakan dengan ketentuan bahwa barang tersebut milik sah orang yang menyewakan (mu’jir)
  3. Mempunyai nilai manfaat menurut syara’
  4. Upah diketahui kedua belah pihak
  5. Objek Ijarah tidak cacat
  6. Objek adalah sesuatu yang dihalalkan syara’
  7. Objek bukan kewajiban penyewa, misalnya menyewa orang untuk melakukan shalat
  8. Syarat ijab qabul sama dengan syarat aqad muawwadat lainnya seperti jual beli, kecuali dalam Ijarah disyaratkan adanya waktu tertentu yang ditentukan (Affandi, 2009 : 183).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa akad al-Qardh dan al-Ijarah adalah akad yang diperbolehkan oleh syari’at Islam, tetapi yang jadi masalah disini adalah jika kedua akad itu digabungkan menjadi satu yaitu akad al-Qard wal Ijarah yang digunakan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) sebagai dasar legalitas Dana Talangan Haji yang merupakan salah satu produk mereka.

IV.      PERMASALAHAN YANG MUNCUL

A.    Mengenai Akad

Berdasarkan pengumuman Dewan Pengawas Syariah (DPS) Indonesia bahwa semua lembaga keuangan syariah melakukan praktek pembiayaan talangan haji sesuai dengan fatwa MUI yang telah kami paparkan di atas. Namun pada prakteknya, bank-bank memilki ketentuan yang berbeda-beda, utamanya dalam hal akad.
Hasil wawancara kami pada empat bank yang berbeda pada tanggal 15 Februari 2012, yaitu BSM (Bank Syariah Mandiri), BRI Syariah, BPD Syariah, dan Bank Muamalat, diperoleh informasi adanya praktek talangan haji sebagai berikut :
  1. BPD Syariah melaksanakan program talangan haji dengan akad Multi ijarah semata. Dalam prakteknya pelunasan dilakukan dengan dana angsuran perbulan. Bank tersebut membatasi masa pelunasan sampai 4 tahun dengan ketentuan marginnya 7,2 %. Artinya pembayaran harus lunas sebelum berangkat haji, jika si peminjam tidak bisa melunasinya tepat sesuai dengan waktu yang telah disepakati, maka kursi (seat) akan dibatalkan dan uang pinjaman akan dikembalikan pada bank, sedangkan angsuran akan dikembalikan kepada nasabah dipotong biaya administrasi yang dibayarkan dimuka sebesar Rp 250.000. (hasil wawancara pada BPD Syari’ah Jln. Cik Ditiro dengan costumer service saudari Rini)
  2. Bank Muamalat Indonesia, melaksanakan program talangan haji dengan akad qardh, namun sebagai administrasi memakai aqad ijarah. Batas pembayaran selama satu tahun, tanpa adanya tambahan dari jumlah pokok pinjaman. Sesuai dengan aqad qardh yang dipakai, jika tidak bisa melunasi tepat pada waktunya, maka akan diberi waktu maksimal 6 bulan. Jika dalam masa tambahan tersebut belum juga bisa melunasi, maka dana talangan akan ditarik, kursi akan dibatalkan dan angsuran nasabah dikembalikan dipotong biaya adminsitrasi yang dibayar dimuka sebesar Rp 2.500.000. (hasil wawancara pada Bank Muammalat jln. Mangkubumi dengan costumer service saudari Gita)
  3. Bank Syariah Mandiri, pembiayaan talangan haji yang dilakukan menggunakan akad al-qardh wa al-ijarah mengacu pada fatwa MUI di atas. Ketentuannya yaitu dengan membayar ujrah dimuka sebesar Rp 2.000.000. Masa pelunasan maksimal 3 tahun, dengan tambahan waktu 6 bulan jika dalam masa 3 tahun tersebut belum bisa melunasi. Pelunasan tidak menggunakan system angsuran per bulan, dalam artian tidak ada jumlah tertentu yang harus dibayarkan per bulannya. Peminjam diberikan kebebasan membayar berapapun, yang penting ketika jatuh tempo sudah lunas. Uang pinjaman yang nantinya dikembalikan hanyalah jumlah pokok pinjaman, tanpa ada tambahan.
  4. Bank Rakyat Indonesia Syari’ah, sebatas informasi yang kami terima dari costumer service bank tersebut, menunjukkan bahwa ketentuan pembiayaan talangan haji hampir sama dengan BSM yaitu dengan akad al-qardh wa al-ijarah. Perbedaannya hanya pada ketentuan teknis talangan haji dan besar talangan yang diberikan pada nasabah, misalnya untuk jangka waktu pengembalian pinjaman pada BSM jangka waktunya 3 tahun sedangkan untuk BRI Syari’ah 5 tahun dan untuk besar talangan haji pada BSM sebesar 5 – 25juta sedangkan pada BRI Syari’ah 10-23juta.
Hasil wawancara  ini menunjukan bahwa bank melaksanakan program talangan haji dengan beberapa akad, diantaranya : al-qardh, al-ijarah multi jasa, dan al-qardh wal ijarah. Berangkat dari praktek akad talangan haji ini, kami akan mencoba untuk menganalisisnya.

1.      Al-qardh wa al-ijarah

Pada umumnya mereka  yang mengharamkan praktik ini berargumen bahwa dalam praktik semacam ini ada unsur riba terselubung  yaitu uang sewa (ujrah) yang diterima oleh kreditur. Mereka juga berdalih bahwa menggabungkan dua akad dalam satu transaksi itu tidak diperbolehkan dalam syari’ah. Namun jika kita kembali cermati contoh transaksi di atas maka sama sekali tidak terkandung adanya unsur riba. Contoh di atas jelas menunjukkan bahwa akad qardh dalam transaksi tersebut tidak mensyaratkan imbalan tambahan, nasabah hanya mengembalikan jumlah pokok pinjaman yang ia terima. Sedangkan biaya administrasi/ujrah yang dibebankan kepada nasabah hanyalah imbalan atas jasa pengurusan haji, sebagaimana diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis; yaitu ijarah al-maal (sewa barang) dan ijarah al-‘amal (sewa jasa). Jadi secara akad, baik qardh maupun ijarah dalam praktik ini tidak ada masalah, karena sudah sesuai dengan prinsip qardh dan ijarah di atas.
Dari sini kemudian muncul persoalan baru, bukankah yang demikian berarti menggabungkan dua akad dalam satu transaksi atau yang sekarang lebih populer dengan istilah hybrid contract (multi akad) ?. Memang ada yang menyanggah bahwa ini bukanlah menggabungkan dua akad, dengan beralasan bahwa dua akad tersebut adalah untuk dua jenis obyek yang berbeda, yaitu uang dan jasa. Pertama, akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di sini nasabah hanya mengembalikan sejumlah yang dipinjam. Kedua, akad ijarah al `amal (sewa jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Namun menurut penulis, argument tersebut tidak bisa menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah menggabungkan dua akad. Karena yang dimaksud dengan menggabungkan dua akad adalah menggabungkan dua akad dalam satu transaksi. Jadi, meskipun dengan dua objek yang berbeda, praktik ini tetap dikatakan menggabungkan dua akad. Karena masih dalam lingkup satu transaksi pembiayaan talangan haji.
Karenanya, penulis akan membahas tentang bagaimana pendapat di kalangan para ulama’ tentang multi akad ini.
Ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan :
Pertama, larangan  bay’ dan salaf, (Imam Malik:tt: II:657).
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع وسلف
Kedua, larangan bai’ataini fi bai’atin (at-Tirmidzi: 1999: III: 533).
عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيعتين في بيعة
 Ketiga, larangan shafqataini fi shafqatin (al-Bashri: 1998: V: 384)
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ
Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para konsultan dan banker syariah tentang larangan two in one. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada dua kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama, walaupun redaksinya berbeda.
Buku-buku  teks fikih muamalah kontemporer,  menyebut istilah hybrid contract dengan  istilah yang beragam,  seperti     al-’uqûd  al-murakkabah, al-’uqûd  al-muta’addidah al-’uqûd al-mutaqâbilah,al-’uqûd al-mujtami’ah,  dan al-’Ukud al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah.
Al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah  mendefinisikan hybrid contract yaitu “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Ada beberapa pandangan di kalangan ulama’ mengenai multi akad :
  1. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya (al-‘Imrani: tt: 69) Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits me\nggabungkan jual beli dan  qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
  2. Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan(Ibnu Taimiyah: 1989: II: 317)
  3.  Nazih Hammad dalam buku  al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum  dasar dalam  syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi  hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
  4. Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama (al-Qayyim: tt: 344)
Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum.  Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud) (asy-Syatibi: 2000: 284)
Dari pandangan ulama-ulama di atas, dapat diketahui bahwa multi aqad pada dasarnya dibolehkan karena penggabungan akad pada masa sekarang merupakan sebuah kensicayaan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa penggabungan aqad tersebut tidak menimbulkan riba.
Kemudian, jika kita melihat aqad yang digabungkan dalam praktek talangan haji adalah aqad tabarru’at yaitu qardh dan aqad muawwadat yaitu ijarah. Kedua jenis aqad ini memiliki orientasi yang sangat berbeda. Aqad tabarru’at merupakan aqad sosial, tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Sementara aqad mu’awwadat merupakan aqad komersil, aqad yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Jika keduanya digabungkan maka berpotensi menimbulkan riba karena merusak masing-masing tujuan dari kedua aqad tersebut.
Sehingga penggabungan dua aqad dalam dana talangan haji ini, sudah masuk dalam wilayah pelarangan hadits Nabi saw, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:
فَجِمَاعُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنْ لَا يُجْمَعَ بَيْنَ مُعَاوَضَةٍ وَتَبَرُّعٍ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ التَّبَرُّعَ إنَّمَا كَانَ لِأَجْلِ الْمُعَاوَضَةِ لَا تَبَرُّعًا مُطْلَقًا ؛ فَيَصِيرُ جُزْءًا مِنْ الْعِوَضِ فَإِذَا اتَّفَقَا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِعِوَضٍ جَمَعَا بَيْنَ أَمْرَيْنِ مُتَبَايِنَيْنِ ؛ فَإِنَّ مَنْ أَقْرَضَ رَجُلًا أَلْفَ دِرْهَمٍ وَبَاعَهُ سِلْعَةً تُسَاوِي خَمْسَمِائَةٍ بِأَلْفٍ لَمْ يَرْضَ بِالْإِقْرَاضِ إلَّا بِالثَّمَنِ الزَّائِدِ لِلسِّلْعَةِ ؛ وَالْمُشْتَرِي لَمْ يَرْضَ بِبَدَلِ ذَلِكَ الثَّمَنِ الزَّائِدِ إلَّا لِأَجْلِ الْأَلْفِ الَّتِي اقْتَرَضَهَا ؛ فَلَا هَذَا بَيْعًا بِأَلْفٍ وَلَا هَذَا قَرْضًا مَحْضًا
“Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara aqad komersial dengan aqad sosial. Yang demikian itu karena keduanya(orang yang beraqad) menjalin aqad sosial karena adanya aqad komersial antara mereka. Dengan demikian aqad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. bahkan aqad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam aqad komersial.” (Ibnu Taimiyah, 1987 : 39).
Dari kesimpulan yang ditetapkan oleh ibnu Taimiyah, kita dapat mengetahui bahwa yang menjadi Illat larangan Rasulullah menggabungkan dua aqad, ialah adanya perbedaan asas aqad tersebut yaitu asas komersial dan asas sosial. Hal ini disebabkan karena penggabungan itu menyebabkan motif sosialnya tidak murni lagi tapi menjadi mencari keuntungan, dan keuntungan itulah yang rentan menjadi riba’, sehingga selama illat ini ada maka hukum hadits diatas bisa diterapkan bagi aqad yang lain, semisal penggabungan aqad Qardh dan Ijarah dalam praktek talangan haji, hal ini berdasarkan kaidah ushul fiqih:
األحكم يدو ر مع علته وجودا وعدما
Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidak adanya illat”

2.      Al-Qardh Semata

Sesuai yang telah kami jelaskan pada hukum al-qardh, bahwa al-qardh mengikuti hukum taklifi yang bisa berubah, mulai dari dianjurkan hingga dilarang. Perubahan tersebut didasarkan pada praktek aqad yang dilakukan. Pada Bank Muamalat yang mendasarkan aqadnya dengan al-qardh ternyata pada prakteknya masih menggabungkan aqad al-qardh dengan ijarah meskipun tidak dipaparkan secara tertulis. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara kami, bahwa Bank Muamalat Indonesia masih menarik biaya administrasi sebesar  2,5 juta sebagai jasa kepengurusan haji tanpa memperinci biaya administrasinya.  Bahkan costumer service bank tersebut memberikan keterangan bahwa administrasi ini didasarkan pada aqad ijarah. Oleh karena itu, meski secara tertulis aqadnya al-qardh tapi pada prakteknya masih menggabungkan dengan aqad ijarah, sedangkan penggabungan dua aqad ini tidak diperbolehkan sebagaimana yang kami paparkan diatas.

3.      Ijarah (multi jasa)

Pada bank yang menggunakan aqad ini, seperti BPD Syari’ah, sebenarnya tidak murni ijarah. Karena bank tersebut tetap meminjamkan uang kepada nasabah dengan adanya tambahan (margin sebesar 7,2 persen). Bank tersebut tidak mengakui bahwa pinjaman tersebut sebagai al-Qardh tetapi sebagai jasa bantuan bagi orang yang ingin melaksanakan ibadah haji agar mendapatkan seat (kursi) lebih cepat. Sepintas praktek seperti ini tidak ada masalah, apalagi dengan niat membantu orang, tetapi menurut penulis praktek seperti ini tidak dibenarkan karena pada dasarnya jasa uang dalam konteks ini harusnya memakai prinsip al-Qardh sebab bertujuan untuk membantu orang lain (aqad sosial/muawwad) yang tidak boleh menetapkan biaya tambahan. Jika terdapat biaya tambahan maka akan menimbulkan larangan  sesuai qaidah fiqh yang disampaikan Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni:
  كل قرض شرط فيه أن يزيده فهو حرم بغير خلاف
“Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat”. (Qudamah tt : 432 ).

B.     Mengenai ke-Istitho’an seseorang

Dalil yang menjadi dasar hukum kewajiban ibadah haji adalah surat ali imran ayat 97 :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
 “padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ayat diatas dalam ilmu ushul fiqh termasuk dalam pembahasan takhsis, yaitu mengecualikan sebagian dari lafadz umum. Pada mulanya dalam ayat tersebut disebutkan bahwa haji diwajibkan bagi seluruh umat islam, tapi di akhir lafadz ada pengecualian dengan bentuk badal مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا, yakni bagi yang sudah mampu. Dari sinilah kemudian muncul pendapat-pendapat dalam memahami maksud istitha’ah dalam ayat tersebut.
Dimaksudkan dengan ististha’ah dalam firman-Nya “man istathaa’a ilaihi sabiilan” ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis;
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ ؟ قَالَ : الزَّادُ و الرَّاحِلَةُ . ( رواه الدار قطني و صححه الحاكم، الصنعاني 2: 179)
 “Dari Anas r.a. ia berkata: Rasululullah SAW ditanya; ‘Hai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan as-sabil (jalan)?’ Beliau menjawab; ‘bekal dan perjalanan’.” (Ditakhrijkan oleh ad-Daruqutniy, dan dinilai sahih oleh al-Hakim; as-San’aniy, 1960, Subulus Salam, II : 179).
Dari hadis tersebut jumhur ‘ulama berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dengan ‘istitha’ah’ ialah mampu dalam perjalanan dan perbelanjaan, atau bekal. Uang belanja cukup bagi dirinya dan bagi keluarga yang ditinggalkan, aman dalam perjalanan, dan dirinya dalam keadaan sehat. (as-San’aniy, 1960: II : 179).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Hakim, dan beliau juga mensahihkannya (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz V:13). Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan ulama adalah bekal untuk dirinya dan keluarganya sampai ia pulang dari tanah suci (menunaikan ibadah haji).
Ibnu zubair, atha, ikrimah dan malik berpendapat bahwa al istitha’ah adalah kesehatan, bukan yg lainnya
Selain pendapat-pendapat di atas, kiranya kita pun perlu menyimak perkataan imam Al-Jashāsh. Beliau menjelaskan “makna isthithā’ah tidak hanya terbatas pada bekal dan kendaraan. Sebab, seseorang yang sedang sakit keras, orang tua yang tidak mampu lagi menempuh perjalanan (الشيخ لا يثبت علعى الراحلة), az-zamin, dan semua orang yang kesulitan melakukan ibadah haji haji termasuk dalam kategori orang yang tidak mempunyai isthithā’ah, meskipun ia memiliki bekal dan kendaraan”. Sehingga, bekal dan kendaraan bukan merupakan syarat mutlak tanpa mempertimbangkan hal-hal lainnya.
Mengenai makna Istithā’ah ini para pengikut madzhab yang empat juga berpendapat :
Hanafiyah berpendapat bahwa Istithā’ah itu ada tiga, yaitu memiliki badan (tubuh) yang sehat, memiliki bekal dan biaya perjalanan, dan memiliki jaminan keamanan (az-Zuhaily: 2006: 2082).
Malikiyah berpendapat bahwa Istithā’ah adalah memungkinkannya seseorang sampai di Makkah, baik dengan berjalan atau dengan berkendara. Pengikut Imam Malik (Malikiyah) juga mensyaratkan Istithā’ah dengan terpenuhinya tiga hal, yaitu memiliki badan yang kuat, adanya bekal yang dimampui oleh seseorang, dan banyaknya jalan yang bisa dilalui untuk pergi ke Makkah, baik melalui darat, laut maupun udara (az-Zuhaily: 2006: III: 2050).
Mengenai Istithā’ah ini Syafi’iyah sependapat dengan Malikiyah, yaitu memiliki badan yang mampu (sehat), memiliki harta, baik bekal dan biaya perjalanan, dan adanya kendaraan untuk melakukan perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2087)
Hanabilah (pengikut Imam Ahmad ibn Hambal) berpendapat bahwa Istithā’ah itu hanya disyaratkan memiliki bekal dan biaya perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2089)
Dari semua pendapat di atas, maka dapat kita rangkum makna istitha’ah ke dalam 3 cakupan makna :
Pertama, Kesehatan jasmani, berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Abbas r.a :
أﻥَّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻣِﻦْ ﺧَﺜْﻌَﻢَ ﻗَﺎﻟَﺖْ:ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻥَّ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺘْﻪُ ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔُ ﺍﻟْﺤَﺞِّ ﺷَﻴْﺨًﺎ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ﻻَ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻴْﻊُ ﺃَﻥْ ﻳَﺴْﺘَﻮِﻯَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻠَﺔِ ﺃَﻓَﺄَﺣُﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ؟ ﻗَﺎﻝَ:ﺣُﺠِّﻰ ﻋَﻨْﻪُ
 “Bahwasanya seorang wanita dari Khats’am berkata: ‘Wahai Rasulullah , sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji disaat dia telah tua renta, dia tidak mampu untuk tetap bertahan diatas kendaraan, apakah aku melaksanakan haji untuk mewakilinya? “ (al-Baihaqy: 1991: VII: 14)
Kedua, Memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta mencukupi segala hajat atau kebutuhanya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya dalam hal nafkah. Hal ini berdasarkan hadits nabi saw :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “
“Dari Abdullah bin Umar, Nabi saw bersabda : Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) dia menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya” ( Abu Dawud: ttb: II: 59).
Ketiga, Keamanan dalam perjalanan, hal ini disebabkan karena mewajibkan ibadah haji yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan merupakan sesuatu yang berbahaya (dharar), padahal menurut ketentuan syari’at bahwa الضرر يزال (sesuatu yang berbahaya harus dihindari).  Jika ketiga syarat diatas telah terpenuhi maka telah wajib bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji bagi laki-laki maupun perempuan.
Mengingat bahwa haji sebagai sebuah kewajiban (rukun Islam yang kelima), maka hendaknya setiap orang Islam yang diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha untuk dapat menunaikan ibadah haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat memiliki bekalnya sebagai sarana dapat dilakukan ibadah haji itu. Dalam qaidah ushuliyah ditegaskan:
لِلوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ
Artinya : “Hukum bagi sarana sama dengan hukum tujuannya.”
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan bahwa bagi orang Islam yang diberi keluasan rizki wajib untuk berusaha agar memiliki bekal guna dapat menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, menabung dan mengikrarkan untuk biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), merupakan perbuatan bijak dan terpuji. Penabungnya dapat dikatakan sebagai hamba Allah yang sungguh-sungguh berupaya untuk dapat melaksanakan ibadah haji. Uang tabungan haji ini hendaknya dijaga sedemikian rupa agar tidak digunakan untuk keperluan lain, sehingga maksud dari menabung dapat menjadi kenyataan. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki tabungan tapi berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dari sinilah muncul salah satu produk Lembaga Keuangan Syariah yang disebut dengan Dana Talangan Haji guna membantu mereka yang berkeinginan menunaikan ibadah haji tapi mempunyai kendala keuangan. Sepintas tujuan dari adanya dana talangan haji ini baik, tapi ternyata dengan adanya program tersebut menimbulkan banyak permasalahan, baik dari tinjauan status hukum dan manfaatnya secara syar’i. untuk lebih rincinya akan dibahas dalam pembahasan mengenai manfaat dan mudharat program dana talangan haji pada penjelasan dibawah ini.

C.    Manfaat dan mudharat dari program dana talangan haji

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah produk tentu memiliki sisi positif dan negatif. Manfaat utama dari produk ini adalah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk melaksanakan salah rukun Islam yakni berhaji ke Baitullah. Sehingga ia bisa saja dianggap sebagai bagian dari fath al-dzari’ah. Di samping itu produk ini memiliki peminat yang cukup banyak sehingga berpotensi memajukan Lembaga Keuangan Syari’ah sebagai instrument ekonomi umat Islam.
Namun demikian ada banyak mudarat yang timbul dari praktek dana talangan haji ini, baik ditinjau dari aspek syariah yakni keabsahan akadnya yang sangat riskan menjatuhkan kepada riba tersembunyi, karena dalam akad ini terjadi penggabungan antara akad al-qardh dan al-ijarah dengan mensyaratkan adanya tambahan imbalan sebagai jasa, bahkan tambahan tersebut besarnya tergantung pada masa pinjaman (Riba an-Nasi’ah), sebagaimana firman Allah swt :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (al-Baqarah : 275 ).
Juga hadist :
حدثنا عبد الله بن سعيد . حدثنا عبد الله بن إدريس عن أبي معشر عن سعيد المقبري عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( الربا سبعون حوبا . أيسرها أن ينكح الرجل أمه )
 “Menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa’id, menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Abi Ma’syar dari Sa’id al-Muqbiri dari Abi Hurairah berkata. bersabda Rasulullah saw: “Riba ada tujuh puluh dosa, yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” ( HR. Ibnu Majah)
عن جابر رضي الله عنه قال ” لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء” رواه مسلم
 “ Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: “Mereka itu sama.” ( HR. Muslim, Subulus Salam, Juz 3, hal. 36)
Hal ini tidak diperbolehkan, karena selain hukum dari riba itu sendiri haram juga setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan termasuk riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Jika dilihat dari aspek sosial, sebuah media lokal yakni Kabar Cirebon pada hari Rabu, 05 Oktober 2011 menurunkan berita berjudul “Dana Talangan Haji Harus Dihentikan”, yang intinya menyatakan bahwa adanya dana talangan haji menyebabkan berbondong-bondongnya masyarakat untuk mendaftarkan diri guna mendapatkan seat haji dengan bantuan dari dana talangan haji meskipun sebenarnya mereka belum sanggup membayarnya. Hal ini menyebabkan membengkaknya peserta tunggu sehingga banyak orang yang sebenarnya sudah mampu namun “diserobot” antriannya oleh mereka yang memakai jasa talangan haji dan antriannya mundur bahkan sampai tahun 2017. Jika berita itu dimuat pada tahun 2011, maka kita dapat membayangkan apa yang terjadi jika produk ini tetap dijalankan oleh LKS  pada tahun-tahun yang akan datang. Di media lain yakni situs Media Islam (www.media-islam.or.id) ada pengunjung situs tersebut yang mengeluhkan tentang orang tuanya yang tidak mendapatkan lagi jatah seat hingga bertahun-tahun yang akan datang padahal orang tuanya itu sudah tergolong mampu, penyebabnya adalah membludaknya pendaftar sebab banyak orang yang memakai dana talangan haji. Kedua fakta ini bisa saja merupakan fenomena gunung es, yang muncul dipermukaan hanya beberapa kasus padahal di lapangan hal ini telah terjadi cukup banyak. Dalam ushul fikih kita mengenal kaidah yang berbunyi ;
درأالمفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menolak kemudaratan lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.

 V.      KESIMPULAN DAN SARAN

  1.  Dana talangan haji dibolehkan oleh DSN atas dasar kebolehan akad qardh dan ijarah yang menjadi komponen akadnya.
  2. Status akad gabungan qardh dan ijarah dalam produk ini sangat rentan terjatuh pada praktek riba terselubung. Padahal riba sangat dicela oleh agama, atau setidaknya masih berupa hal syubhat yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk dijauhi dalam sabdanya :
حدّثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ : حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللّهِ يَقُولُ: وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إلَىٰ أُذُنَيْهِ «إنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
Artinya : Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas dan  yang harampun telah jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara mutasyabihat yang tidak diketahui sebagian besar manusia. Maka barang siapa yang berhati-hati terhadap perkara-perkara mutasyabihat maka ia sugguh telah menjaga agama serta kehormatannya. Dan barang siapa yang terjatuh ke dalam perkara yang syubhat, maka ia telah terjatuh ke dalam hal yang haram. (HR. Muslim).
  1. Jika melihat pengertian isthita’ah yang merupakan syarat kewajiban haji, sebenarnya orang yang memakai jasa talangan haji belum bisa dikatakan memenuhi syarat tersebut, sehingga ia belum dikenai kewajiban berhaji. Justru jika ia memaksakan diri dengan berhutang kepada LKS, maka ada kemungkinan ia akan menyusahkan dirinya sendiri padahal Allah sendiri memberikan beban (taklif) kepada hamba-Nya sesuai kesanggupan hamba tersebut, Allah swt berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang kecuali yang sesuai kemampuannya” (Al-Baqarah : 268).
  1. Meskipun memiliki manfaat bagi sebagian umat Islam, dana talangan haji ternyata mengandung mudarat yang tidak sedikit, baik ditinjau dari aspek syar’i maupun dari aspek kemaslahatan sosial. Maka dalam keadaan seperti ini mencegah kemudaratan harus diutamakan dari pada mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan kaidah :
دراالمفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menolak kemudaratan lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.
  1. Lebih jauh lagi, dengan memakai metode sadd al-dzari’ah  dana talangan haji sangat mungkin diharamkan untuk mencegah kemudaratan yang dikandungnya.
  2. Jika kita menerima argument mereka yang membolehkannya, tetap saja pendapat ulama-ulama yang melarang praktek ini tidak bisa diabaikan, sehingga dapat dikatakan bahwa telah terjadi ikhtilaf seputar hukum talangan haji ini. Maka yang perlu dilakukan adalah mecari khuruj (jalan keluar) dari perselisihan ini, sesuai kaidah :
الخروج من الخلاف مستحب
Artinya : keluar dari suatu perselisihan pendapat itu disukai.
  1. Jika ada pendapat yang membolehkan namun yang lain mengharamkan, maka jalan keluar yang paling aman dan menentramkan adalah mengikuti pendapat yang melarangnya. Dalam kitab  al-Asybah wa an-Nazhair al-Sayuti menyebutkan sebuah kaidah fikih :
إذا اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
Artinya : jika berkumpul haram dan halal, maka keharaman dimenangkan.(al-Sayuti, 1983 : 209).
As-Sayuti juga menukil perkataan para Imam :
قال الأئمة : و إنما كان التحريم أحب لأن فيه ترك مباح لاجتناب محرم و ذلك أولى من عكسه
Artinya : para Imam berkata : mengharamkan lebih disukai dari membolehkan, karena pada pengharaman kita meninggalkan yang mubah untuk menjauhi yang haram dan itu lebih utama daripada melakukan hal yang sebaliknya. (al-Sayuti, 1983 : 209).
  1. Bagi umat Islam untuk memenuhi perintah Allah swt kepada kita yakni melaksanakan ibadah haji, selain dana talangan haji ini kita masih bisa menabung untuk haji. Dengan cara seperti itu hati lebih tentram dan ketika melaksanakannya, juga kita memang telah termasuk hamba-Nya yang mampu.
  VI.       PENUTUP

Demikianlah paparan singkat seputar permasalahan dana talangan haji yang akhir-akhir ini sedang menjadi trend dan marak dilakukan oleh banyak kalangan. Dari pemaparan diatas kami berpendapat bahwa dana talangan haji tidak boleh digunakan karena beberapa pertimbangan yang telah dipaparkan diatas.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya ada banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca, ustadz dan para guru sangat diperlukan guna membantu memperbaiki dan memperkaya khazanah keilmuan dalam studi ini.



[1]harta yang mempunyai persamaan atau padanan dengan tidak mempertimbangkan adanya  perbedaan antara satu  dengan lainnya dalam kesatuan jenisnya Biasanya berupa harta benda yang dapat  ditimbang,  ditakar, diukur atau dihitung  kuantitasnya.
[2] Pinjaman tanpa bunga
[3] Jika pada masa sekarang, maka seseorang bisa membayar suatu benda dengan memakai uang.
[4] Sewa menyewa

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Text Widget

Daftar Menu