Selasa, 27 Desember 2011

AL - QURAN DAN KAJIAN ORIENTALIS BARAT


AL QURAN DAN KAJIAN ORIENTALIS BARAT
Dari Mingana Hingga Luxenberg
Pendahuluan
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang ilam yang dilakukan oleh Barat sudah dimulai sejak beberapa abad lalu. Namun, gerakan yang memang benar-benar fokus mengkaji masalah ini  yang kemudian diberi nama Oreintalisme baru dimuai pada abad ke-18.
Dalam pengertian umum, Orientalisme adalah suatu ilmu kajian wilayah yang komprehensif, dengan relatif meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat yang ditelitinya, yakni masyarakat Timur. Sementara, yang disebut Timur atau the Orient meliputi suatu kawasan yang sangat luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia terjauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab). Akan tetapi, bagi Said, Orientalisme lebih dari sekadar kajian wilayah semacam itu. Orientalisme juga merupakan "sebuah gaya berpikir berdasarkan pemilahan epistemologis dan ontologis antara Timur (the Orient) dan (hampir selalu) Barat (the Occident) (Budiarto Danujaya, Obituari Edward W.Said).
Perjalanan oreintalisme telah sedemikian panjang dan dari berbagai studi mereka (Barat) telah berhasil membuat sebuah pemikiran, propaganda, dan sebagainya terhadap Islam yang bertujuan memberikan pencerminan dunia terhadap Barat dengan menggunakan metode pengkajian mereka yang jelas-jelas subjektif.
Ahli-ahli orientalisme di Barat sangat banyak jumlahnya, mereka mencoba membuat kritik terhadap Isla dengan berbagai metode yang dapat mereka gunakan dan ada beberapa yang diberi label pemikiran ilmiah. Orientalis yang akan kita kaji pemikirannya disini hanay kita batasi pada dua orang oreinalis yang mencoba mengkritik Al-Qur’an dari sudut pandang bahasa yaitu Mingana dan Luxenberg.
Pengertian Orientalisme
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme Edward W. Said menyatakan bahwa orientalisme adalah salah satu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.
Secara bahasa orientalis berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais­1, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orienstalis.
Kata isme menunjukkan suatu paham jadi orientalisme bermakna suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkiatan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.
Latar Belakang Munculnya Orientalisme
Munculnya orientalisme tidak terlepas  dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina. Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat Islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Kristen maka semangat membalas dendam tetap membara selama berabad-abad.
Faktor lainnya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. 
Tujuan Orientalisme
Merupakan suatu kenyataan bahwa para orientalis senantiasa menyajikan karya-karyanya didasarkan pada tujuan tertentu. Secara garis besar tujuan orientalisme antara lain :
a.      Untuk kepentingan penjajahan
Untuk kepentingan ini jelas tergambar dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan. Dalam kasus Indonesia kita mengenal Snouck Hurgronje yang memperkenalkan politik belah bambu (devide et impera) untuk melemahkan perlawanan umat Islam terhadap Belanda pada masa penjajahan Belanda.
b.     Untuk kepentingan agama mereka
Untuk kepentingan agama mereka juga jelas karena semua penjajah yang menguasai negara-negara Islam berlatar belakang agama Kristen jadikeinginana untuk menyebarkan agamanya juga ada.
c.      Untuk kepentingan ilmu pengetahuan
Untuk kepentingan ini memang sifatnya ilmiah ketika mereka melakukan kajian tentang Islam, diberbagai universitas di Barat banyak sekali program studi tentang Timur dan Islam.
Tujuan yang ketiga mungkin dapat memberikan gambaran secara objektif tentang Islam. Namun, untuk tujuan pertama dan kedua sangat mungkin apa yang dikaji oleh mereka menghasilkan sesuatu kesimpulan atau cara yang sangat tidak fair danm sangat subjektif dalam memandang Islam demi tercapainya keinginan mereka.
Garis Besar Pemikiran Mingana
Pada tahun 1927, alphone mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we  the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the greek of the Christian scriptures).
Seruan semacam ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Kenyataannya mayoritas cendikiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel. Mereka terpaksa harus menerima bahwa Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias aspal, sehingga sulit untuk membedakan mana yang wahyu dan yang bukan. Sebagimana yang ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland: “Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely. Even for later scribes, for example, the parralell passages of the Gospels were so familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively.
Mingana bukan yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu dan ia juga tidak sendirian. Tepat pada tahun 1834 di Leipzig, seorang orientalis jerman bernama Gustav Flugel menerbitkan mushaf hasil kajian filologinya bernama Corrany Textus Arabicus yang naskahnya itu sempat dipakai tadarrus oleh sejumlah anggota JIL. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery (orientalis asal Australia) yang ingin mendekonstruksikan Mushaf Uthmani dan membuat mushaf baru, konon ia ingin merekonstruksikan teks al-Quran berdasarkan kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawud as-Sajistani yang dianggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan.
Bagi para orientalis ini, isnad tidak penting dan karena itu, riwayat yang syadd bisa saja dianggap sohih, yang ahad dan ghoib bisa saja menjadi mutawatir dan masyhur, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Itu merupakan tehnik mereka yang utama untuk menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental, dan menonjolkan yang trivial. Yang mereka gembar-gemborkan adalah isu nasikh-mansukh, soal adanya surat tambahan versi kaum syi’ah, dan lain sebagainya.
Selain itu, ada isu klasik yang selalu diangkat yaitu soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dsb terhadap islam dan isi kandungan al-Qur’an, baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi teori pinjaman dan pengaruh tersebut, seperti dari literature dan tradisi Yahudi-Kristen, maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi, dan lain sebagainya. Mereka juga mengatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.
Para missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen mempertanyakan status kenabian Muhammad SAW, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif.. bahkan mereka sibuk untuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad SAW khususnya dan sejarah islam umumnya. Maka dari itu, Jeffery menulis artikel The Quest of the Historical Muhammad yang isinya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “kepala perampok”(rubber chief). Padahal missionaries-missionaris ini tidak sadar bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan kebusukan hati dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji
Teory evolusi juga berlaku untuk hadits, mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadist muncul beberapa ratus tahun sesudah nabi Muhammad SAW wafat, bahwa nabi mengalami beberapa tahp evolusi.. mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadist hanya sedikit saja yang otentik, sementara sisanya kebanyakan palsu.
Garis Besar Pemikiran Luxenberg
Misionaris-orientalis ibarat zombie patah tumbuh hilang berganti menyerang islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran “Christoper Luxenberg.” Ia mengklaim bahwa al-Qur,an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa arami dalam dialek Suryani). Dalam bukunya yang berjudul “Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syro Aramaic: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur,an” (Die syro-aramaische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschuesselung der Koransprache) itu, Luxenberg dengan nekat mengklaim:
¨             Bahwa bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa arab,karena menurutnya banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit difahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada bahasa syro Aramaic yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.
¨             Bahwa bukan hanya kosa-katanya berasal dari syro Aramaic, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syiria (Peshitta)
¨             Bahwa al-Qur,an yang ada tidak otentik perlu ditinjau kembali dan diedit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist eine kritisvhe Edition … sicherlich wuenschenwert).
Untuk meyakinkan pembaca bukunya Luxenberg menyebut sejumlah contoh dintaranya, kata-kata                         qaswaratin dalam (QS 74:51) mestinya dibaca                  qasuratin, lalu kata                            sayyi’at (QS 4:18) mestinya dibaca                                saniyyat, dari bahasa Syriac sanyata. Yang lebih parah lagi ia mengutak–atik surat al-Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya seperti surat al-Fatihah diklaim diambil dari liturgy Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir yesus. Tidak sulit untuk membantah dan menolak Luxenberg  sebab sekuruh uraiannya dibangun atas dasar asumsi-asumsi yang keliru diantaranya yaitu:
¨             Ia mengira bahwa al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya sehingga boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan.
¨             Ia menganggap tulisan adalah segalanya dan manuskrip sebagai patokan sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dan mengacu pada teks.
¨             Ia menyamakan al-Qur’an dengan Bibel dimana pembaca telah mengubahnya dan mengutak-atik teks yang dibacanya jika dirasa tidak masuk akal atau sulit difahami.
Ketiga asumsi ini dijadikan titik tolak dan pondasi argument-argumennya tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya.Menurut seorang pakar Semistik yang menjadi direktur Orientalisches Seminar di Universitas Frunkfurt, Prof.Hans Daiber dari sudut metodologi karya Luxenberg cukup bermasalah dank arena irtu tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dalam review-nya atas buku Luxenberg, Daiber mengemukakan beberapa point:
1               Semua ahli filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu kata yang ditulis gundul (tanpa baris/harakat) dapat dibaca macam-macam sehingga tulisan yang sama bisa dibaca.
2               Luxenberg bisa jadi keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya.
3               Jika memang sejumlah kosa-kata tersebut berasal dari bahasa syriac bukan tidak mungkin kata-kata itu telah diislamkan atau ditukar dengan makna baru (Zusatliche Bedeutungen) yang lebih luas dari makna asalnya.
4               Untuk mendukung analisis dan argument-argumennya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa sryiac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 M dan bukan menggunakan kamus bahasa chaldean abad ke-20
5               Bisa saja kosa-kata al-Qur’an memang bahasa arab asli tidak seperti yang dituduhkan Luxenbrg.
Apapun metodenya kajian Luxenberg sebenarnya tidak terlalu beda dengan para orientalis dan misionaris Kristen. Intinya mereka menggugat al-qur,an sebagai wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Menurutnya Al-Qur’an yang ada saat ini (Mushaf Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya melainkan akal-akalan Utsman Bin Affan karena naskah asli sudah dimusnahkan. Pada akhirnya Luxenberg menyimpulkan transmisi teks al-Qur’an dari Nabi Muhammad saw bukan secara oral sebagaimana keyakinan kaum muslim. Al-Qur’an tak lebih dari turunan Bible (perjanjian lama dan baru) dan liturgy Kristen Syria.
Hal-hal seperti ini bisa disimak pada buku karya Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di timur tengah yang berjudul “Islam: A Challenge to Faith” (terbit pertama thn 1907) didalamnya Ia memberikan resep untuk “menaklukan” dunia Islam. Zwmmer menyatakan tentang al-qur’an ini:
·               Penuh dengan kesalahan sejarah
·               Banyak mengandung cerita fiktif yang tidak normal
·               Mengajarkan hal yang salah tentang kosmogini
·               Mengabadikan perbudakan, poligami, perceraian, intoleransi keberagamaan, pengasingan dan degradasi wanita.
Disini sangat nampak bagaimana Orientalis-Misionaris sok tahu tentangal-qur’an dan ngotot meskipun sudah jelas dan keliru. Mereka juga membentuk suatu jaringan untuk salingmenyokongdan mendukungsatu sama lain dalam Islam. Setelah melakukan investigasi dan memperoleh data bahwa nama sebenarnya “Christoper Luxenberg” adalah Ephraem Malki asal Lebanon warga negara Jerman penganut fanatik Kristen (Syriac Orthodox), memperoleh M.A dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik, dengan alamat terakhir: August-Klein-Strasse 11, 66123 Saarbrucken, telp. 390-58-28.
Kritik Atas Pemikiran Mingana Dan Luxenberg
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dan senantiasa diingat tentang masalah otentitas kitab suci al-Qur’an diantaranya:
*             Pada prinsipnya al-Qur,an bukanlah tulisan (rasm atau writing) tetapi merupakan bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan.
Allah SWT berfirman,
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) di Qur’an karena hendak cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”(Qs. Al Qiyaamah (75):16-19)
Penjelasan dari ayat ini adalah, “Wahai Muhammad, utusan Allah yang mulia, janganlah kamu tergesa-gesa untuk membaca al-Qur’an ini ketika kamu mendengarkannya langsung dari Jibril. Akan tetapi, hendaklah kamu menunggu dan mengikutinya secara perlahan-lahan, hingga ia(Jibril) selesai membacanya kepadamu. Setelah itu bacalah olehmu (dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kamilah yang bertanggung jawab untuk mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya kepadamu dengan perantaraan wahyu dari kami. Oleh karena itu, selama malaikat Jibril membacakan al-Qur’an kepadamu, maka ikutilah bacannya dan janganlah kamu sampai tertinggal untuk mengikutinya. Kemudian setelah iyu, Kamilah yang akan menjelaskan segala arti dan keterangannya kepadamu.
Proses transmisi dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh malaikat jibril as kepada Nabi saw dan diteruskan kepada para sahabat hingga hari ini. Hal ini berbeda dengan Bible  dimana tulisan (manuscript evidence) memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel (ajaran). Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin misalnya memiliki asumsi keliru, menganggap al-Qur’an sebagai dokumen tertulis atau teks bukan sebagai hafalan yang dibaca alias recitatio. Dengan asumsi seperti ini mereka menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.
Akibatnya mereka menganggap al-Qur’ansebagai produk sejarah hasil interaksi orang arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya, karena itu lantas mereka mau membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.
*             Meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan dan juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan.
 Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, ‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu, sebagian sahabatpun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi: mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit, atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang binatang. Zaid bin Sabit berkata: “Kami menyusun Qur’an di hadapan rasulullah pada kulit binatang,:”
Pada masa kekholifaan Abu baker, ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini, 70  qori dari para sahabat gugur. Melihat kenyataan ini Umar bin Khottob khawatir Qur’an akan musnah, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an hingga al-Qur’an terkumpul dalam satu mushf, berdasarkan periwayatan langrung dan mutawatir dari Nabi.
Setelah wafatnya Abu baker ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‘Umar ra sampai ia wafat (23H/644H), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Kholifah ‘Utsman ra. Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang menyerbu kedua tempat itu, ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur’an. Sebagian bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing pempertahankan dan berpegang teguh pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaanya bahkan saling mengkafirkan. Meliahat kenyataan ini, Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan apa yang dilihat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu kan menimbulkan penyimpanagn dan perubahan. Mereka bersepakat  untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf dan bahas yang digunakan adalah bahasa Quraisy, Karen Qur’an turun dalam logat suku Quraisy.
*             Tidak tahu (jahil) atau tidak mau tahu dan mereka salah faham tentang rasm dan qira’at.
Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal islam, al-Qur’an ditulis gundul, tanpa tand baca sedikitpun. System vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Mekipun demikian, rasm Usmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Orientalis semacam Jeffery dan Puin salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings-sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel, serta keliru menyamakan qira’at dengan reading, padahal qira’at adalah recitation from memory bukan reading the text. Mereka tidak tahu bahwa hal ini kaedahnya adalah: tulisan hjarus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi SAW (…………………………..) dan bukan sebaliknya.

Penutup
Ulasan ringkas ini setidaknya mampu memberikan gambaran kepada kita, betapa Barat sangat kukuh dalam melakukan kajian untuk menyerang Islam dan barangkali ini tidak akan pernah berakhir. Ini adalah tantangan yang besar bagi umat Islam, mereka mengkaji Islam dengan berbagai pendekatan bahkan mereka mempelajari ilmu Kalam dalam mengkaji Islam.
Apa yang mereka lakukan mestinya menjadi spirit bagi kita para generasi Islam bahwa kita pun sanggup menghasilkan karya ilmiah yang dapat dijadikan counter atas pemikiran yang mereka ajukan tentang Islam.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu