TINJAUAN KRITIS PRAKTEK MUDHARABAH
PADA PERBANKAN SYARIAH
Abstrak-Perkembangan bank syariah
yang pesat menunjukan menggambarkan adanya potensi pasar yang besar di
Indonesia. Negara Indonesia yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia dan
gencarnya para da’i menyampaikan risalah atas keharamannyanya transaksi riba
yang didukung fatwa MUI soal itu mendorong masyarakat dan pebisnis muslim
mencari alternatif solusi. Berbagai produk yang ditawarkan oleh bank syariah
nampak berbeda dengan bank konvensional, selain menjanjikan nilai plus dalam
hal berbagi keuntungan dalam akad mudharabah yang menjadi fundamental utama
muamalahnya, perbankan syariah juga memberi angin segar spiritual dengan
mengklaim perbankan yang bebas riba dan bebas dari pelanggaran syariah. Produk
perbankan syariah dalam bentuk tabungan umumnya menggunakan akad mudharabah dan
sebagiannya ada juga yang berakad wadi’ah. Dari gembar gembor yang di publikasikan
oleh bank syariah atas produk dan proses kerja bank syariah, maka jika kita
cermati lebih mendalam dan seksama dengan mencocokan penerapan peraktek
perbankan syariah saat ini dengan instrumen undang-undangnya maupun berbagai
ketentuan syariah baik yang sudah diakomodir dalam kompilasi fatwa Dewan
syariah Nasional maupun ketentuan yang terdapat dalam kitab kajian fikih
muamalah para ulama salaf ternyata bisa kita temukan berbagai kesamaan konsep
dengan bank konvensional yang membuatnya memang tidak bisa selaras denga
ketentuan syariah serta banyaknya penyimpangan dalam peraktek perbankan syariah
diantaranya yang berhubungan dengan akad mudharabah.Dalam
penyimpangan-penyimpangan tersebut yang mana bank syariah melakukan pelanggaran
terhadap syariah yang bisa menyeretnya pula pada transaksi ribawi. Maka hal ini
tidak boleh dibiarkan berlarut, karena apa yang dilakukan dalam hal ini sama
juga melakukan rekayasa syariah (produk riba kemasan syariah) sehingga
persis menyerupai apa yang dilakukan oleh bangsa yahudi (Israel) yang
menyebabkan menjadi terlaknat karena merubah ketentuan ajaran syariah mengikuti
hawa nafsunya. Di zaman modern ini, bagaimanapun peran perbankan atau apapun
yang bisa menjadi alternatif serupa dengannya sangatlah dibutuhkan. Maka dengan
tulisan ini dan juga berbagai solusi yang akan menyempurnakan prinsip dan cara
kerja bank syariah untuk benar-benar bebas dan bersih dari riba diharapkan bisa
menjadi wacana yang bisa dipahami dan segera di aplikasikan dalam
realisasi perbankan yang benar-benar sesuai syariah diwaktu mendatang.
Kata kunci: Mudharabah, Perbankan
Syari’ah, Islamic Banking
I.
PENDAHULUAN
Maraknya perkembangan munculnya
bank-bank syariah belakangan ini bisa menggambarkan adanya potensi pasar
perbankan syariah di Indonesia. Hal ini yang seolah bisa menjadi indikator
telah munculnya kesadaran sebagian umat Islam di Indonesia terhadap penerapan
syariah Islam dalam kehidupan bermuamalah yang bebas dari riba dan meninggalkan
aktifitas bisnis haram lainnya. Bank-bank konvensional yang lebih dahulu hadir
dianggap tidak mampu mengakomodir tuntutan perubahan sistem yang diharapkan
umat Islam selain masih rentan menggunakan sistem ribawi, bank konvensional
juga nyata-nyata masih tidak memperdulikan pemutaran uang nasabah apakah untuk
investasi dalam bisnis yang di halalkan atau di haramkan menurut ketentuan
syariat Islam. Di saat umat Islam mulai menyadari dengan kebutuhan tersebut
maka saat itulah mulai muncul perbankan syariah yang berupaya menyelaraskan
peraktek perbankan dengan ajaran Islam serta meninggalkan berbagai aktifitas
yang lazim dilakukan oleh bank-bank ribawi (bank konvensional) yang sarat
dengan peraktek riba dan aktifitas investasi pada objek yang diharamkan agama.
Jika ditelusuri kebelakang mengapa
bank syariah atau bank Islam itu diperlukan, maka hal itu lebih kepada adanya
kebutuhan umat Islam dalam mengikuti perkembangan zaman dan pesatnya laju
perekonomian yang banyak bergantung dengan aktifitas perbankan. Maka para
konseptor perbankan syariah (Islamic Bank) berupaya melakukan penyelarasan
sistem perbankan agar akad dan pelaksanaannya
bersesuaian dengan hukum Islam (syariah). Sistem yang digunakan dalam bank
konvensional telah terbukti secara nyata tidak mengindahkan berbagai larangan
dalam ketentuan syariah Islam semisal meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba),
padahal telah diketahui bersama berdasar kesepakatan para ahli ilmu (agama)
/ahli fikih bahwa dalam akad muamalah pinjam meminjam didalam ketentuan syariat
Islam tidak dibolehkan didalamnya dimasukan unsur komersil atau pengambilan
keuntungan, hal ini disebabkan bahwa keuntungan dari transaksi pinjam meminjam
adalah riba. Oleh karena itu para ulama menegaskan hal tersebut dalam sebuah
kaidah yang sangat masyur dalam ilmu fikih yaitu “Setiap piutang yang
mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” (baca al-Muhadzdzab oleh
asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 &
213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun
al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan
lain-lain)
Selain sarat dengan aktifitas riba,
aktifitas bank konvensional pun tak lepas dari berbagai aktifitas transaksi
yang melanggar larangan agama Islam. Bank konvensional masih berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang
(haram) serta belum terverifikasi akan
kehalalan bisnisnya karena memang tidak ada institusi maupun unsur dalam bank
konvensional yang melakukan verifikasi halal haramnya suatu objek bisnis. Maka
pada aktifitas bank konvensional tidak luput pula dari hal-hal sebagai berikut
seperti bisnis yang mengandung unsur perjudian (maisir), unsur ketidakpastian
(ghoror), minuman keras, industri/produksi makanan/minuman haram, usaha media
atau hiburan yang tidak Islami dan lain-lain yang dilarang dalam syariah Islam.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin
lenyapnya hal-hal tersebut dalam semua jalur investasinya, maka berbisnis pada
sesuatu yang diharamkan maka penghasilannya juga merupakan keharaman dan sudah
sepatutnya sebagai muslim wajib untuk menjauhinya, maka bermuamalah dengan bank
konvensional bisa dipahami berarti baik sengaja ataupun tidak berarti kita
menolong sistem yang tidak mematuhi nilai-nilai Islam. Fatwa ulama Islam pun
melarang bermuamalah dengan bank konvensional terkecuali pada hal-hal tertentu
yang tidak mengandung riba dan belum ada solusi dari lembaga keuangan lain yang
lebih islami yang bisa menggantikan kebutuhan umat akan hal kepentingannya saat
ini semisal penggunaan jasa transfer antar bank, jasa penitipan barang berharga
(safe deposit box) dan lain-lain.
Jika dilihat dari tujuan dan latar
belakang kemunculan bank-bank syariah tentu sangat pantaslah bank syariah itu
untuk menuai pujian dan dukungan sebagai institusi perbankan alternatif bagi
umat Islam yang membutuhkan jasa perbankan tanpa dihantui dosa riba dan
aktifitas terlarang lainnya, namun seiring waktu berjalan, saat
terjadinya interaksi diantara peraktisi perbankan, pengguna perbankan (nasabah)
dengan para ahli ilmu (para ulama) serta kajian-kajian yang mendalam maka
sedikit demi sedikit mulai bermunculan temuan berbagai penyimpangan yang
terjadi baik pada proses akad muamalah berlaku yang diterapkan oleh bank
syariah maupun konsep dasarnya yang melandasi berdirinya perbankan syariah baik
dalam produk pendanaan maupun produk pembiayaannya. Dalam konteks tema ini
penulis hanya mengangkat seputar akad mudharabah yang di terapkan oleh bank
syariah untuk memberi gambaran dan penegasan mengenai kebenaran ada tidaknya
penyimpangan peraktek akad mudharabah yang di lakukan oleh bank syariah,
mengingat akad mudharabah merupakan akad muamalah paling utama yang melandasi
produk perbankan syariah.
Salah satu permasalahan pokok yang
menjadi fokus perhatian penulis dan juga merupakan pembatasan penelitian akan
difokuskan pada masalah-masalah tertentu seputar akad mudharabah. Karena akad
mudharabah yang mendasari produk utama yang ditawarkan oleh bank syariah, akad
inilah yang mendasari berbagai transaksi perbankan syariah dalam pendanaan
maupun inti bisnis bank syariah. Penting bagi kita untuk mengatahui
apakah penerapan akad mudharabah pada bank syariah sudah sesuai dengan syariah
yang benar pada proses dan bagi hasilnya serta selamat dari unsur-unsur
ribawiyah.
Tujuan penulisan di dalam tulisan
ini, penulis berupaya untuk mengurai adanya benang merah yang dapat
membuktikan bahwa benar masih terdapatnya kesamaan konsep, fungsi maupun
implementasi antara praktek perbankan syariah dengan perbankan konvensional
yang tentu akan menjadi bumerang ketika bank syariah juga ingin menjalankan
akad-akad syariah dalam waktu yang bersamaan.
Jenis Penelitian yang digunakan
ialah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna
lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan
sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan sedang
literatur yang digunakan merujuk kepada fikih muamalah islam, praktek perbankan
syariah, peraturan perbankan syariah serta wawancara dan observasi langsung.
Bank konvensional yang akad
bisnisnya menerapkan akad utang piutang dan pengambilan keuntungan
atasnya yang lazim dinamai bunga bank, Sedangkan pada bank syariah menggunakan
akad mudharabah yang berpola investasi dan pengambilan keuntungannya lazim
disebut bagi hasil. Perbedaan akad yang sebenarnya jauh berbeda namun
dengan aturan dan aturan main perbankan syariah itu sendiri yang masih terkesan
memplagiasi dan belum keluar dari kotak aturan yang sama dengan peraturan
perbankan konvensional hanya dengan sedikit modifikasi dan kamuflase perubahan
pada istilah, penamaan yang menggunakan bahasa arab dan istilah akad-akad dalam
fikih islam supaya terkesan sudah sesuai dengan syari’ah
II.
LANDASAN TEORI
2.1. Memahami
konsep dasar seputar riba
Penyebab utama umat Islam
meninggalkan bermuamalah dengan bank konvensional serta beralih menuju kepada
perbankan syariah (Islamic banking) adalah dikarenakan alasan peraktek riba
yang masih merajalela dan diterapkan oleh bank konvensional dalam sebagian
besar transaksinya. Umat Islam mulai memahami bahwa konsep yang digunakan dalam
pembagian bunga bank baik dalam konteks pendanaan maupun pembiayaan bank
konvensional mengadopsi cara dan konsep riba. Berkat peran ulama dan
proses pembelajaran kepada pemahaman syariah yang benar membuat umat dapat
mengetahui bahwa bunga bank merupakan implementasi dari transaksi riba. Maka di
sinilah perlunya pengetahuan mengenai hakekat dari sesuatu hal agar tidak tertipu
dari penamaan-penamaan lain yang kelihatannya baik namanya, namun
sebenarnya tetap buruk hakekatnya, sekedar penamaan saja yang berbeda agar bisa
menipu banyak orang, diantara contohnya sebutan bunga bank untuk transaksi
bunga uang atau riba, sebutan sake, bir, sampanye untuk minuman khomar,
sebutan prostitusi, pekerja seks komersial untuk praktek pelacuran, sebutan
undian untuk peraktek perjudian, sebutan kawin kontrak untuk peraktek
perzinahan dan sebagainya. Oleh sebab itu agar tidak tertipu dengan
penamaan-penamaan, slogan-slogan yang ganti berganti, penting bagi kita untuk
mengenal hakekat yang sebenarnya dari sesuatu keburukan tersebut. Karena aneka
penamaan tidaklah merubah hakekat, sesuatu itu tetaplah buruk jika hakekatnya
buruk meskipun diberi nama atau label yang baik.
Agar bisa menjauhi riba maka kita
pun perlu bekal pengetahuan mengenai apa itu yang dimaksud dengan riba. Menurut
Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya (2003:37) “Riba secara bahasa bisa
bermakna ziyadah atau tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba
juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada
beberapa penjelasan dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam. Menurut Muhammad Arifin Badri dalam
bukunya (2009:2) Riba ialah suatu “akad/transaksi atas barang tertentu yang
ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat
atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad atau salah
satunya”. Dari definisi tersebut diketahui jika riba bisa muncul pada jual
beli, pinjam meminjam, hal tersebut bisa terjadi karena melanggar ketentuan
yang dibenarkan syariat. Semisal contoh dari yang diatur syariat ialah tidak
dibolehkannya mengambil keuntungan dari utang piutang, karena akad transaksi utang
piutang dalam ketentuan prinsip muamalah Islam haruslah berakad sosial dan
tidak boleh di komersilkan. “Setiap piutang yang mendatangkan
kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzab oleh
asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 &
213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun
al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan
lain-lain). Namun pada sisi akad tujuan transaksi yang lain adapula akad yang
dibenarkan syariat untuk mengambil keuntungan semisal jual beli, sewa menyewa
dan lain-lain, agar lebih memahami konteks ini untuk lebih jelasnya kita coba
memahami terlebih keterkaitan antara tujuan berbagai tranksaksi yang dilakukan
oleh manusia sesuai dengan porsi yang dikehendaki oleh ketentuan syariat Islam.
Hukum riba adalah haram menurut
kesepakatan ulama Islam, dan riba masuk salah satu diantara dosa besar maka
umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya, banyak sekali dalil baik
dari Alqur’an maupun hadist nabi Shalallahu’alaihi wasallam yang menyatakan
haramnya dan terlarangnya riba. Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahulloh
dalam buku Muhammad Arifin badri (2009: 19) mengatakan “Keharaman riba telah
disepakati oleh ulama, oleh karena itu barangsiapa yang mengingkari
keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia telah
murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang telah
jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati” Besarnya dosa
riba jika dibandingkan dengan dosa lain bisa tergambar dari hadist berikut ini:
“(Dosa) riba itu memiliki tujuh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal
dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya
riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan /harga diri
saudaranya.” (HR Ath-Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh
Al-Albani). Keharaman riba ini juga mengenai kepada setiap orang yang
terlibat dalam proses perbuatan riba tersebut baik langsung maupun tidak
langsung. Dari sahabat Jabir radhiaAllohuanhu ia berkata, “ Rosululloh
Shalallahu’alaihi wasallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang
yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya(sekretarisnya), dan juga
dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda, “ Mereka itu sama dalam hal
dosanya.” (HR. Muslim)
2.2. Macam-macam
riba
Para Ulama ada yang membagi riba
atas tiga jenis dan adapula yang membagi riba atas empat jenis, namun jika di
teliti lebih seksama ada kesamaan subtansi jenis riba namun hanya berbeda nama
saja bagi pendapat yang membagi riba atas tiga atau empat jenis tersebut
diatas. Maka secara umum pengelompokan riba yang lebih tepat ialah terbagi atas
dua jenis yaitu:
- Riba Nasi’ah/Penundaan (Riba Jahiliyyah)
Yakni riba (tambahan) yang
disebabkan oleh pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang
yang termasuk dalam komoditi riba, baik satu jenis atau berlainan jenis dengan
menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya. Para
Ulama menyepakati bahwa termasuk komoditi riba berdasarkan nama jenis komoditi
yang tersebut dalam hadist nabi Shalallahu’alaihi wasallam itu diantaranya ada
enam jenis yaitu emas, perak, gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma,
dan garam. Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan bahwa hukum riba juga bisa berlaku
pada komoditi lain yang semakna dengan keenam komoditi tersebut. Alasan
berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah emas dan perak baik
sebagai alat untuk berjual beli (nilai ekstrinsik dinar dan dirham bersifat
fluktuatif layaknya nilai mata uang kertas zaman sekarang) atau tidak (nilai
intrinsik sebagai alat ukur kekayaan), demikian di analogikan (qiyas) dengan
keduanya setiap alat jual beli yang dikenal dengan meluas oleh umat manusia
saat ini yaitu uang kertas dan logam yang merupakan pengganti dinar dan dirham
maka berlaku pula padanya hukum dinar dan dirham. Keempat komoditi lainnya
seperti gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma, dan garam merupakan
komoditi bahan makanan yang ditimbang dan ditakar. Dengan demikian setiap bahan
makanan yang diperjual belikan dengan cara ditimbang dan ditakar berlaku pula
padanya hukum sebagai komoditi riba.
a. Contoh riba
nasi’ah dalam perniagaan: Ali menukarkan uang kertas pecahan Rp 10.000 dengan
uang logam pecahan Rp 1000 kepada Budi, namun Budi pada waktu akad penukaran
hanya membawa 5 buah uang logam Rp 1000 (hanya membawa Rp 5000), kemudian
keduanya menyepakati jika Budi menyerahkan sisa uangnya 5 buah uang logam lagi
yang senilai Rp 1000 (jadi Rp 5000 lagi) dua jam kemudian dari saat
terjadinya akad penukaran maka perbuatan mereka berdua tersebut masuk perkara
riba nasi’ah.
b. Contoh
riba nasi’ah dalam akad hutang piutang: Wati menggunakan kartu kredit Bank XYZ
untuk belanja barang keperluan rumah tangga senilai Rp 1000.000 yang
jatuh tempo penagihan hingga akhir bulan, namun setelah akhir bulan saat jatuh
tempo ternyata Wati belum bisa melunasi tagihan dari kartu kredit Bank XYZ,
maka karena telah lewat jatuh tempo Bank XYZ mengenakan tambahan bunga 3%
setiap bulan dari jumlah saldo piutangnya yang belum terbayar.
- Riba Fadhl (Riba penambahan)/Riba perniaagaan
Yakni riba (tambahan) yang
disebabkan oleh pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis komoditi
ribawi sebagimana tersebut diatas. Maka bisa dipahami barang dengan jenis
komoditi riba tidak boleh diperjualbelikan dengan cara barter (tukar menukar
barang) kecuali dengan memenuhi ketentuan transaksi dilakukan secara kontan,
penyerahan barang barter harus dilakukan saat akad transaksi terjadi dan tidak
boleh ditunda, kemudian barang yang menjadi obyek barter harus sama jumlah dan
takarannya meski terjadi perbedaan mutu diantara kedua barang. Contoh riba
Fadhl dalam akad transaksi barter: Lisa memiliki 5 gram cincin emas yang telah
lama dipakai dengan kadar emas 22 karat hendak ia tukarkan ke toko emas ABC
dengan cincin baru dengan berat yang sama 5 gram namun dengan kadar 24 karat,
maka toko emas ABC mengenakan biaya tambahan atas selisih kadar 2 karat emasnya
tersebut kepada Lisa, jika keduanya menyepakati transaksi itu maka jatuhlah
pada riba fadhl.
2.3. Mengenal
akad mudharabah
Menurut Ahmad asy syarbasyi dalam
buku syafii Antonio ( 2003:95) al mudharabah adalah akad kerja sama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
(100%) modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola. Sedangkan kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut. Menurut Sa’ad bin Gharir as silmi dalam buku muhamad
arifin badri( 2010: 131) mudharabah adalah suatu akad dagang antara dua pihak,
pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha,
dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam prosentase yang
telah disepakati antara keduanya. (arifin badri). Sedangkan rukun-rukun
mudharabah itu antara lain:
1. Ijab dan
qobul
Ijab ialah perkataan yang diucapkan
oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah, Sedangkan
qobul merupakan jawaban yang mengandng persetujuan yang di ucap pihak kedua
atau yang mewakilinya. Tidak ada kata-kata khusus dalam hal ini sebagaimana
amalan ibadah layaknya sholat, haji dan sebagainya namun mudharabah merupakan
wujud interaksi sesama manusia, sehingga teknisnya yang menunjukan kesepakatan
kedua belah pihak dapat diungkapkan apa saja sesuai kebiasaan yang berlaku baik
bisa berupa lisan maupun tulisan
2. Pemodal
dan pelaku usaha
Orang yang dibolehkan untuk menjalin
akad mudharabah harus memenuhi empat kriteria diantaranya orang yang merdeka
maka budak tidak dibenarkan untuk bertransaksi tanpa seijin tuannya, telah
baligh bagi laki-laki telah diketahui sampai mencapai umur lima belas tahun
atau telah bermimpi junub sedang pada wanita ditandai dengan mulainya siklus
datang bulan (haidh), atau hamil atau telah berumur lima belas tahun, berakal
sehat maka orang yang mengalami gangguan jiwa atau serupa tidak sah akad
perniagaanya, dan kriteria terakhir ialah mampu membelanjakan hartanya dengan
baik.
3. Modal
Modal ialah harta milik pihak
pertama (pemodal) kepada pihak kedua (pelaku usaha) guna membiayai usaha yang
dikerjakan oleh pihak kedua. Para ulama telah menyebutkan sejumlah persyaratan
bagi harta yang menjadi modal akad mudharabah diantaranya diketahui jumlah
modalnya oleh kedua belah pihak supaya tidak menimbulkan perselisihan dalam
pembagian keuntungan, hal ini karena konsekwensi akad mudharabah yang
mengembalikan modal kepada pemodal lalu kedua belah pihak berbagi keuntungan.
Persyaratan berikutnya ialah penyerahan modal kepada pelaku usaha dan pelaku
usaha tersebut sepenuhnya diberi kebebasan untuk menggunakan modal tersebut
untuk membiayai usaha yang dilakukannya.
4. Usaha
Dalam menjalin akad mudharabah
umumnya ulama membagi atas dua bagian yakni Mudharabah al
muthlaqah (mudharabah bebas). Adalah sistem mudharabah, yang dalam hal
ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal
kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan
siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudharib (pengelola
modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
Kemudian ada pula Mudharabah al muqayyadah (mudharabah terbatas).
Dalam hal ini, pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan
menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang dibolehkan
bertransaksi dengan mudharib.
5. Keuntungan
Tujuan utama diadakannya akad
mudharabah adalah memperoleh keuntungan kedua belah pihak, pemodal dananya berkembang
dengan keuntungan dan pengusaha menikmati laba usaha (keuntungan) hasil
operasi.
III. HASIL PEMBAHASAN
Dengan mengkaji, membandingkan,
meneliti maka penulis melakukan tinjauan berdasar berbagai literatur fikih
muamalah syari’ah, peraturan perbankan syariah serta praktek dan aktualisasi
yang terjadi berdasar literatur yang mengambil objek riset pada bank syari’ah
maupun melakukan observasi dan wawancara kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
aktualisasi perbankan syariah maka penulis dapati ketidaksesuaian akad
Mudharabah bank dengan akad mudharabah yang syar’i. Hal ini bisa di tinjau dari
hal-hal sebagai berikut:
- Status ganda perbankan syariah menyalahi ketentuan akad mudharabah sesuai syar’i menurut yang dipahami para ulama fikih islam.
Dalam menjalankan akad mudharabah
terhadap para nasabah pihak bank melakukan status ganda, pertama bank berlaku
sebagai pengelola usaha (mudharib) dan kemudian bank dalam waktu sekejap
berubah status menjelma menjadi investor (shahibul maal).
Berikut penjelasan skenario status
ganda bank: bank syariah menghimpun dana dari nasabah pertama yang datang
menabung dengan akad mudharabah, dalam hal ini bank memposisikan nasabah
sebagai pemilik modal dan bank syariah sendiri mengklaim sebagai pelaku
usahanya, ketika uang modal sudah dalam penguasaan bank, maka bank tidak
menjalankan dengan amanah apa yang semestinya dilakukan oleh pihak pelaku usaha
dalam akad mudharabah namun justru bank kembali mengikat diri lagi dengan
perjanjian mudharabah kepada pihak lain yakni nasabah kedua. Dalam konteks
kedua ini bank mengklaim sebagai pemilik modal dan nasabah yang datang kali ini
adalah pihak pelaku usaha sesungguhnya yang benar-benar membutuhkan curahan
bantuan modal untuk usahanya. Menyimak skenario status ganda bank syariah
tersebut maka diketahui dalam dua akad mudharabah yang dilakukan bank syariah
tersebut baik akad mudharabah dengan nasabah pertama ketika bank memposisikan
diri sebagi pelaku usaha maupun pada mudharabah dengan nasabah kedua ketika
bank kemudian memposisikan diri sebagi pemilik modal, maka seandainya bank
melakukan mudharabah dengan nasabah kedua atas ijin pemilik modal (nasabah
pertama) maka bank tidak berhak mendapat bagian keuntungan dan menentukan
nisbah bagi hasil karena statusnya hanya sebagai calo perantara atau makelar
dana saja. Para ulama menjelaskan bahwa hasil keuntungan dalam akad mudharabah
hanya milik pemodal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal
dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha maka tidaklah berhak untuk
mendapatkan bagian dari hasil keuntungan (bagi hasil). Para ulama melarang
peraktek mudharabah yang dilakukan bank syariah saat ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Nawawi yang di kutip dan dibenarkan dalam sejumlah
kitab-kitab fikih klasik para ulama salaf: Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk
menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian
mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar
dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi
pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia
tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan
yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua
bathil” Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali
rahimahullah, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan
modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian
penegasan Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah,
asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”
2.Bank syariah hakekatnya
menjalankan akad utang piutang dan bukan akad mudharabah dalam hubungannya
dengan nasabah.
Jika kita cermati lebih mendalam
pada status ganda perbankan maka akan kita dapati bahwa yang sesungguhnya
dilakukan oleh bank syariah sesungguhnya saat ini merupakan akad utang piutang
dan bukan mudharabah, kamuflase pada bentuk akad dan istilah syar’i tidaklah
merubah hakekat sebenarnya pada susbtansi akad utang piutang dalam skenario
status ganda bank. Berikut ini kita cermati skenario akad utang piutang yang
dijalankan oleh bank syariah meskipun mengelabui umat dan melabeli namanya
dengan akad mudharabah: Pihak bank yang dalam status pertama sebagai pelaku
usaha dan menerima modal dari nasabah pertama (di asumsikan sebagai kreditur)
kemudian tidak amanah untuk menjalankan perannya sebagai pelaku usaha sesuai
akad mudharabah dimaksud namun bank syariah malah kemudian menyalurkan kembali
dana tersebut kepada pihak nasabah lain (diasumsikan sebagai debitur) yang
hendak berlaku sebagai pelaku usaha, pada kali ini bank memposisikan diri
sebagai pemodal yang pada hakekatnya uang modal yang ada pada bank merupakan
uang milik nasabah pada akad mudharabah pertama. Jadi subtansi dari skenario
status ganda perbankan ini ialah bank berupaya mengalokasikan dana terhimpun
dari pihak lain yang dijanjikan akan kembali dananya oleh bank seiring waktu
berjalan beserta bagi hasilnya (bunga uang). Hal ini berjalan dari suatu usaha
kosong yang pada hakekatnya tidak pernah bank lakukan kecuali hanya menerima
dan menyalurkan dana serta mengambil keuntungan atasnya (menyerupai pinjaman
bank terhadap uang nasabah pada bank konvensional yang disertai bunga
pinjaman). Aliran uang nasabah pertama tadi kemudian di alokasikan oleh bank
dalam bentuk penyaluran dana kepada pihak lainnya (bank syariah pada hakekatnya
bukan pemilik uang yang sebenarnya), dimana bank kali ini menuntut pengembalian
dana seiring waktu berjalan beserta bagi hasilnya (bunga uang) atas modal yang
hakekatnya bukan milik bank namun milik nasabah pertama yang berperan sebagai
kreditur, dalam kedua proses tadi diisyaratkan adanya keuntungan atasnya,
sebagaimana telah kita ketahui bahwa pengambilan keuntungan dari utang piutang
adalah riba.
3. Kegiatan usaha bank syariah yang
masih memplagiasi pada aturan main pada kegiatan bank konvensional maka akan
bermasalah dalam implementasi akad mudharabahnya.
Penjelasan Bank Indonesia dalam
Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan
bahwa “Bank Syariah yang terdiri dari BUS dan BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada
dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu
melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa
keuangan lainnya.” Jadi pada dasarnya setiap bank baik itu yang masih
konvensional maupun bank yang melabeli diri dengan label syari’ah adalah
lembaga perantara (intermediary) antara sektor yang kelebihan dana (surplus)
dan sektor yang kekurangan dana (minus). Bank menerima simpanan berupa giro,
tabungan dan deposito dari pihak kelebihan dana. Dana yang terhimpun lalu
disalurkan ke pihak-pihak yang memerlukan dalam bentuk
kredit/pinjaman/pembiayaan. Pihak yang kelebihan dana mendapatkan imbalan atas
dana yang ditempatkan di bank yaitu berupa bunga/bagi hasil. Pada sisi lain
pihak yang minus atau memanfaatkan kredit / pinjaman/pembiayaan dari bank harus
membayar imbalan kepada bank berupa bunga/bagi hasil/margin. Biaya operasional
dan laba bank diperoleh dari selisih imbalan yang diberikan oleh pihak yang
memanfaatkan dana (debitur) dengan imbalan yang diberikan bank kepada nasabah
deposan. Maka demikian tampaklah jika fungsi bank syariah sama dengan bank
konvensional. Bank syariah menghimpun dana dari masyarakat lalu disalurkan
kepada pihak yang membutuhkan (fungsi intermediary), mekanisme fungsi
intermediary penghimpunan dana nasabah dan penerapan akad mudharabah dua pihak
oleh bank baik pertama terhadap posisi nasabah sebagai investor kemudian
melakukan penyaluran pada nasabah lain yang diposisikan sebagai pelaku usaha,
maka pada hakekatnya bank hanya melakukan instrumen pendanaan utang piutang
kemudian mengambil keuntungan atas transaksi tersebut maka jatuhlah pada riba.
Dari sini semakin jelas jika instrumen yang mengacu pada undang-undang
perbankan syariah tidak bisa kompatibel dengan akad mudharabah yang sesuai
dengan prinsip syari’ah.
4. Undang-undang
Perbankan syariah tidak mengisyaratkan bank syariah untuk memiliki usaha real
dan terjun langsung dalam dunia usaha, maka dengan hal ini sesuatu yang musykil
bagi bank syariah dalam menjalankan akad mudharabah pada usaha riil yang
hakekatnya memang tidak pernah dimiliki.
Mengacu pada UU No 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah Pasal 4 ayat 1 dan 2 menyebutkan:
(1) Bank Syariah dan UUS wajib
menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Sedangkan Pasal 19 UU No 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pada ayat (1) Kegiatan usaha Bank Umum
Syariah dan ayat (2) Kegiatan usaha UUS pada poin a,b, c dan d dengan
pernyataan isi poin yang sama yakni meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk
Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk
Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
c.menyalurkan Pembiayaan bagi hasil
berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan
berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Maka jelaslah semua jenis produk
perbankan syari’ah hanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian,
pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur
dana nasabah. Hal ini menjadikan kita sulit untuk mendapatkan perbedaan antara
perbankan syari’ah dan perbankan konvensional
Karena bank syariah hakekatnya tidak
mempunyai usaha riil, selain memudharabahkan kembali dana nasabah maka
kemungkinan lain dana nasabah pertama disalurkan dalam bisnis pembiayaan bank.
Sebagai pihak yang beritikad baik dan berinvestasi dalam usaha yang dikelola
bank syariah maka perlu pula bagi kita untuk mengetahui apakah bisnis yang
dijalankan oleh bank benar dan sesuai syar’i. Dalam menjalankan produk usaha
pembiayaan (bai’al murabahah) maka bank syariah memposisikan diri sebagai
penjual barang (skenario ini agar terpenuhinya akad syar’i, bank harus membeli
dahulu barang yang akan dijual kepada konsumen) untuk sejumlah barang-barang
konsumtif yang dibutuhkan seperti kendaraaan bermotor, rumah dan lainnya sesuai
DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank
membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI ).
Namun adakah bank syariah yang
benar-benar mempraktekan ini, dalam praktek sistem murabahah yang dilakukan
bank syariah tidak bersesuaian dengan fatwa DSN seperti contoh kasus proses
pembiayaan murabahah di Bank BNI syariah cabang Medan dimana nasabah diharuskan
membayar uang muka (urbun) sebesar 20% dari nilai kredit yang diajukan kepada
pihak developer terlebih dahulu untuk mengambil KPR dengan angsuran 10 tahun,
dengan margin keuntungan sebesar 9,5% (margin biasa ditentukan terlebih dahulu
oleh bank sesuai lamanya waktu angsuran). Bahkan pada kasus skema murabahah
bank syariah lainnya kondisi rumah KPR tersebut saat akad belum selesai
dibangun oleh developer. Dari kasus-kasus tersebut terdapat kritikan buat bank
syariah yakni bank memberikan piutang buktinya nasabah membayarkan urbun ke
developer dan bukan kepada bank maka ini tidak tepat dikatakan hubungan jual
beli antara bank dengan konsumen, jika pun diasumsikan bahwa bank melakukan
aktifitas penjualan maka bank menjual sesuatu yang sepenuhnya belum diserah
terimakan kepadanya, demikian pula dengan kasus akad KPR pada skema murabahah
yang diadakan sebelum rumah selesai dibangun oleh developer, maka sejumlah
larangan hadist yang dilanggar bank syariah dalam kasus tersebut:
1). Dari Hakim bin Hizam, “Beliau
berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku.
Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang
belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di
pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?’ Kemudian, Nabi bersabda,
‘Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.’” (HR. Abu Daud, no. 3505;
dinilai sahih oleh Al-Albani)
2). Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama
dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3). Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin
‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membeli
bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya hingga menyempurnakannya dan
selesai menerimanya.” (HR. Muslim)
4). Ibnu ‘Umar mengatakan, “Kami
biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui
ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami
menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya.”
(HR. Muslim)
5). Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar
juga mengatakan, “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh
untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi
ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)
Dari hadits-hadits di atas
menunjukkan beberapa hal:
1) . Terlarangnya menjual barang
yang belum selesai diserahterimakan.
2). Larangan menjual barang yang
belum selesai diserahterimakan ini berlaku bagi bahan makanan dan barang
lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.
3). Barang yang sudah dibeli harus
berpindah tempat terlebih dahulu sebelum dijual kembali kepada pihak lain.
Secara garis besarnya praktek akad
pembiayaan murabahah baik untuk pembiayaan renovasi rumah, pembelian kendaraan
bermotor, pembelian rumah KPR, pengadaan modal kerja maupun pengadaan barang
lain pada umumnya berjalan dengan skema bank (Ba`i al-Murabahah)
membelikan terlebih dahulu barang tersebut dari supplier kemudian penjual
(ba’i) menjual barang tersebut pada konsumen ( musytari) melalui akad murabahah
dengan harga sebesar harga pokok ditambah keuntungan yang telah disepakati
antara ba’i dan musytari;
Secara teknis urutan kronologis
proses berjalannya akad bermula dengan kejadian sebagai berikut:
(1) calon musytari membutuhkan
barang namun tidak/belum mempunyai dana tunai kemudian mengajukan pembiayaan
murabahah pada bank syariah, setelah musytari memenuhi persyaratan pengajuan
permohonan, terjadi negosiasi margin antara musytari dengan ba’i; (2) setelah
proses negosiasi dan terjadi kesepakatan bersama maka terjadi akad murabahah;
(3) ba’i membeli barang sesuai yang diinginkan oleh musytari sebagaimana yang
telah menjadi kesepakatan dalam akad murabahah; (4) ketika terjadi akad maka
kepemilikan barang langsung berpindah dari ba’i kepada musytari; (5) penyerahan
atau pengiriman barang dari supplier kepada musytari, dalam hal ini tidak perlu
harus melalui ba’i tetapi langsung kepada musytari kecuali diperjanjikan lain;
(6) pihak musytari telah menerima barang dan sesuai dengan yang telah
disepakati; (7) musytari akan membayar/mengembalikan dana berupa harga pokok
ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati baik secara sekaligus
saat jatuh tempo maupun secara angsuran. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
peran bank selaku ba’i dalam pembiayaan murabahah lebih tepat digambarkan
sebagai pembiaya dan bukan penjual barang, karena bank tidak memegang barang,
tidak pula mengambil risiko atasnya. Kerja bank (ba’i) hampir semuanya hanya
terkait dengan penanganan dokumen-dokumen. Kontrak murabahah umumnya
ditanda-tangani sebelum ba’i mendapatkan barang yang dipesan oleh musytari,
dalam kontrak tersebut musytari lah yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum
dan aturan yang terkait dengan pengiriman barang, rasio laba, dan spesifikasi
yang benar. Musytari sendirilah yang menanggung semua tanggungjawab atas denda
atau sanksi hukum yang diakibatkan dari pelanggaran hukum tersebut. Ba’i tidak
berkeinginan memikul tanggungjawab yang terkait dengan barang, karena itu
segala risiko yang terkait dengannya yang secara teoritis harus ditanggung
ba’i, secara efektif telah terhindarkan. Musytari menyelesaikan kerugian
tersebut bukan dengan ba’i akan tetapi dengan pihak supplier. Dari proses ini
merupakan keniscayaan penyimpangan yang dilakukan oleh bank syariah terhadap
fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah dan tentu saja juga terhadap
ketentuan syariat seperti sebelum mengadakan barang dimaksud bank telah membuat
kesepakatan jual beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah seperti
melemparkan konswekensi resiko jual beli kepada konsumen, dengan demikian bank
menjual barang yang belum dimiliki, serah terima barang dari supplier belum
sempurna terhadap bank namun bank sudah menjualnya bahkan adakalanya barang
langsung dikirim ke konsumen (musytari) baik pada fisik barang maupun berkas
dokumen yang seolah menyebutkan proses kepemilikan beralih langsung dari
supplier ke musytari, ini pun menyalahi ketentuan hadist tersebut diatas
seputar transaksi jual beli, penyimpangan syariah dalam proses serah terima ini
akan terus berlangsung selama bank tidak memiliki gudang sendiri buat
barang-barang yang akan dijualnya, bahkan lebih aneh lagi dalam proses
pembiayaan renovasi rumah dimana pihak bank memberikan dana yang kemudian
dengan sebuah surat kuasa dari ba’i (bank), konsumen (musytari) diberi amanah
untuk membeli bahan-bahan bangunan yang dibutuhkannya kemudian musytari
menunjukan bukti pembelian berupa nota ataupun faktur, kejadian ini makin
menjelaskan posis bank dengan konsumen lebih kepada pembiaya dan bukan hubungan
penjual kepada pembeli.
Dalam konsep pembiayaan murabahah
secara syar’i bank memposisikan sebagai penjual dan bukan pemberi piutang,
namun tidak lazimnya dalam sebuah perusahaan yang memiliki aktifitas jual beli
dengan segenap stok dan mutasi persediannya, bank syari’ah
tidak memiliki dan mengakui
mempunyai stok dalam laporan keuangannya sebagaimana terdapat pada laporan
keuangan bank maumalat dan bank syariah mandiri berikut ini :
5. Bank tidak siap menanggung
kerugian
Akad Mudharabah adalah akad yang
oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini
dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah
menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi
praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi, praktek bank syariah perlu ditinjau
ulang. Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan
Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI).
Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh
DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya
masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah.
Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan
konvensional. Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah
yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga
pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih
diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian
usaha. Para ulama dari berbagai madzah telah menegaskan bahwa pemilik modal
tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan
seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan
syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal
dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil. Dalam
ilmu fikih bila suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka akad
persyaratan tersebut tidak sah sehingga masing-masing harus mengembalikan
seluruh hak-hak lawan akadnya atau akad tetap dilanjutkan dengan meninggalkan
persyaratan tersebut.
6. Nasabah Tidak siap menanggung
kerugian
Ketidakpahaman atau kebodohan
terhadap ilmu syar’i serta mengikuti hawa nafsu mengejar keuntungan bisa jadi
masih merupakan domain tersendiri pada kelompok nasabah bank syariah,
berbekal uang yang akan disetorkan ke bank dapat kita lakukan uji mentalitas,
apakah benar berkehendak sesungguhnya sebagai pemodal dalam konsep mudharabah
ataukah pemberi piutang kepada bank. Perhatikan bagaimana sikap mental nasabah
jika operator bank syariah menyatakan usaha yang dikelola bank merugi sehingga
dana nasabah yang disetorkan berkurang atau bahkan hangus tak bersisa. Maka
bisa hampir bisa dipastikan umumnya nasabah akan dengan tegas menolak keadaan
tersebut dan menginginkan dana yang pernah disetor itu harus aman bila tidak
ada bagi hasil maka setidaknya kembali utuh seperti semula. Pernyataan tersebut
membuktikan bahwa sebenarnya mereka adalah pemberi piutang kepada bank syariah,
bukan pemodal. Maka keutungan yang mereka peroleh dari bank dan sebelumnya
telah disepakati adalah riba.
7. Semua nasabah mendapatkan bagi
hasil
Bank syariah mencampur adukan
seluruh dana yang masuk kepadanya tanpa dipilah mana yang sudah disalurkan ke
usaha bank maupun yang masih beku belum tersalur dibank. Namun demikian pada
setiap akhir bulan seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.
Karena pertimbangan bank dalam membagi keuntungan adalah total modal bukan
keuntungan yang diperoleh dari dana masing-masing nasabah. Pembagian keuntungan
tersebut menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar islami.
Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelaslah akan
merugikan nasabah yang dananya telah tersalurkan. Dalam konteks ini menjadi
fakta perbankan syariah sebagaimana dilansir dalam majalah modal bahwa telah
terjadi over likuiditas dimana bank syariah kebanjiran dana nasabah sebesar
6,62 triliun sementara yang berhasil digulirkan hanya 5,86 triliun sehingga
tidak mampu menyalurkannya sisanya yang kemudian di simpan di Bank Indonesia
dalam sertifikat Wadiah.
8. Metode bagi hasil yang
berbelit-belit
Metode hitung dan contoh kasus
diambil dari buku Muhammad Arifin Badri (2010: 173-175). Berikut metode bagi
hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syari’ah di Indonesia:
E=Pendapatan rata-rata investasi dari
setiap 1000 rupiah dari nasabah
Maka jelaslah diketahui dalam
perhitungan skema diatas adalah total modal (dana) nasabah. Jika kita
bandingkan dengan metode perhitungan hasil mudharabah yang benar-benar
syar’i dengan rumus hitung nya:
Bagi hasil nasabah=keuntungan bersih
x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank
Perbedaan antara dua metode tersebut
bisa diketahui dari contoh kasus berikut. Pak ahmad menginventasikan modal
sebesar Rp 100.000.000, dengan perjanjian 50% untuk pemodal dan 50% untuk
pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank berjumlah Rp
10.000.000.000 (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1% dari
keseluruhan dana yang dikelola bank. Pada akhir bulan bank berhasil membukukan
laba bersih sebesar Rp 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank setelah melalui
perhitungan yang berbelit belit menentukan bahwa pendapatan investasi dari
setiap Rp 1000 adalah Rp 11,61. Bila menggunakan metode perbankan syariah maka
hasilnya:
100.000.000
x 11,61 x 50 = Rp 580.500
1000
100
Pak Ahmad hanya mendapat Rp 580.500,
sedangkan jika menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya maka hasilnya
sebagai berikut:
100.000.000
x 50 x . 1 . = Rp 5.000.000
100
100
Dengan metode perhitungan mudharabah
yang benar Pak Ahmad mendapatkan bagi hasil yang lebih menguntungkan.
9. Bagi hasil yang tidak riil
Menurut sumber Bank Indonesia dalam
situsnya menyatakan bahwa keuntungan perbankan syariah dihitung menggunakan performa
kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, berbagai
indikator ekonomi dan keuangan yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral
tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return investasi, historis (track
record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang
tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini
telah diberikan ke sektor riil. Estimasi maupun prakiraan dan prediksi yang
dijadikan dasar perhitungan keuntungan bukan dari usaha riil memiliki
keserupaan dengan perhitungan bunga bank atas modal yang jauh-jauh hari bisa
diketahui kisaran pasti besaran nilainya.
10. Dana Nasabah perbankan syariah
pasti aman meski bank merugi
Menurut sumber Bank Indonesia dalam
situsnya menyatakan bahwa dana nasabah yang disimpan di bank syariah tidak akan
berkurang atau hilang meskipun investasi yang dilakukan bank syariah mengalami
kerugian. Di samping itu, Tabungan iB (Islamic Banking) dengan skema titipan
maupun investasi juga dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai
dengan Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Tabungan iB, baik dengan skema titipan maupun skema investasi termasuk yang
dijamin oleh LPS hingga nilai maksimal Rp 2 miliar. Menjadi jelaslah bahwa akad
mudharabah yang diperaktekan bank syariah merupakan sekedar pelabelan tanpa
makna, jika dana nasabah pasti aman tak akan merugi sementara jika laba pasti
juga terbagi maka apa yang membedakannya dengan riba (bunga uang) pada bank konvensional.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data, tinjauan dan
pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
- Undang-undang perbankan syariah masih memplagiasi kepada aturan perundang-undangan perbankan konvensional.
- Status ganda bank dengan mudharabah dua pihak dalam mengakomodir peraturan undang-undang perbankan syariah yang saat ini diterapkan tidak sesuai dengan fikih mudharabah yang dikenal para ulama.
- Bank syariah dan nasabah sama-sama tidak siap menanggung kerugian maka sesuatu yang musykil dalam menjalani sunatullah menjalankan usaha yang bisa untung dan rugi.
- Selama Perbankan syariah tidak terjun langsung dalam dunia usaha dan hanya mencukupkan diri sebagai penyalur dana nasabah maka tidak akan pernah terhindar dari riba.
- Semua nasabah pasti mendapat bagi hasil, jaminan uang nasabah tidak akan mengalami kerugian dan perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit tidak sesuai akad mudharabah murni yang diajarkan islam
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
saran yang dapat diberikan adalah:
- Diperlukan Political will dari pemerintah untuk merivisi undang-undang perbankan syariah
- Pemilahan Nasabah berdasarkan tujuan masing-masing baik yang sekedar mengamankan hartanya bank syariah bisa menerapkan akad utang piutang tanpa bunga dan nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan investasi melalui perbankan.
- Perbankan syariah langsung terjun ke sektor riil serta memiliki berbagai unit usaha yang nyata dan menguntungkan, maka dengan ini pula bank akan membuka lowongan kerja baru untuk melengkapi potensi sumber daya manusia bagi bisnis bank
- Perbankan menerapkan mudharabah sepihak dengan menerima investasi untuk kemudian membiayai unit usaha riil bank dan tidak menyalurkan lagi ke nasabah dengan skema mudharabah kedua.
- Memilah pos-pos investasi dari setiap pos-pos investasi para nasabah, masing-masing pos berbeda dari pos-pos lain dalam segenap operasional dan pembukuannya.
- Melakukan edukasi yang sistematis dan kontinyu terhadap bahaya riba dan menanamkan spirit muamalah islami baik terhadap masyarakat maupun pihak yang ingin bekerja pada institusi keuangan islami
0 komentar:
Posting Komentar