A.
Pengertian
etika bisnis
Pengertian
Etika dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
·
Etika sebagai praktis: nilai-nilai dan
norma-norma moral (apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan
nilai dan norma moral).
·
Etika sebagai refleksi: pemikiran moral.
Berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. (dalam hal ini adalah menyoroti dan
menilai baik-buruknya perilaku seseorang)
Sedangkan,
pengertian Etika Bisnis dapat dibedakan menjadi:
·
Secara makro: etika bisnis mempelajari
aspek-aspek moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan.
·
Secara meso: etika bisnis mempelajari
masalah-masalah etis di bidang organisasi
·
Secara mikro: etika bisnis difokuskan pada
hubungan individu dengan ekonomi dan bisnis. Sehingga etika bisnis adalah studi
tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. (etika dalam
berbisnis). Menurut Zimmerer, etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku
pengusaha berdasarkan nilai-nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam
membuat keputusan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi.
Ahli
pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis
dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun
sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket
berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi
rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu
berupa senyum sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak
menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri,
toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket
bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling
menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan
perusahaan.
Sedangkan
berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai
etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial,
hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara
umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral
dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan
pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat,
maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita
mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan
cara peka dan toleransi.
Menurut
K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai dalam etika bisnis, yaitu
:
1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan
adanya dimensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu
tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan
ragu. Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa
etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan
perhatian serius.
2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya
dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis atau calon pebisnis dalam
menyusun argumentasi moral yang tepat. Dalam etika sebagai ilmu, adanya
norma-norma moral sangatlah penting namun yang tidak kalah penting adalah
alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku
bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang
menyangkut ekonomi dan bisnis.
3. Membantu pebisnis atau calon pebisnis, untuk
menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak). Hal ketiga ini
memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi
etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu
pihak, harus dikatakan bahwa etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain,
studi dan pengajaran tentang etikabisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak
atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi
logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang
benar.
Selain itu, dalam etika bisnis juga tidak terlepas dari adanya
masalah-masalah. Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam
lima kategori yaitu:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima atau
meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang
pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk
memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan
baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun pembayaran kembali'
setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian
cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap,
tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap,
tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan,
dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion
dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau
penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception), adalah tindakan
memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah merupakan
tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik
orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa
property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap
orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan,
atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa
adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak.
B.
Prinsip
Etika Bisnis
Perubahan
perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi
dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh? Di dalam bisnis tidak
jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan, tindakan yang
berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah
demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah
menjadi ‘binatang’ ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis
tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin
meningkat. Tindakan mark up, ingkar
janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber
daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh
pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Sebagai bagian dari
masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata
hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta
etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama
pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung
maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola
hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika
bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini
tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang
terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah
berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya
etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh
tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan di bidang ekonomi.
Untuk mengatasi ‘keliaran’ dunia bisnis tersebut,
diperlukan suatu etika yang berfungsi sebagai pagar pembatas. Etika bisnis
memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh
dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki kemampuan untuk menciptakan
nilai (value creation) yang tinggi
pula. Von der Embse dan R.A. Wagley dalam publikasi yang berjudul Management Journal pada tahun 1988
mengungkapkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pendekatan dalam merumuskan
prinsip etika bisnis, yaitu:
1. Pendekatan
Utilitarian (Utilitarian Approach)
Menurut pendekatan ini, setiap tindakan dalam
dunia bisnis harus didasarkan pada konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan
tersebut. Oleh karena itu, dalam bertindak, seseorang seharusnya mengikuti
cara-cara yang dapat memberi manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan
dengan biaya yang serendah-rendahnya.
2. Pendekatan
Hak Individu (Individual Rights Approach)
Menurut pendekatan ini, setiap orang dalam
tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun,
tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan
akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
3. Pendekatan
Keadilan (Justice Approach)
Menurut pendekatan ini, para pembuat
keputusan mempunyai kedudukan yang sama dan bertindak adil dalam memberikan
pelayanan kepada pelanggan, baik secara perseorangan maupun secara kelompok.
Standar
moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian
dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan
daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi
etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
(1)
Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist)
Adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi
pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan
konsekuensi (dampak) keputusan tersebut.
(2)
Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist)
Adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang
digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan
alas an bukan akibat, antara lain:
a)
Prinsip Hak, yaitu
menjamin hak asasi manusia yang
berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain.
b)
Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak,
kejujuran,dan kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Keadilan
distributive, yaitu keadilan
yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota
kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit
terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu
luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social.
2. Keadilan
retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution
(ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab
atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut
dilakukan atas paksaan pihak lain.
3. Keadilan
kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi
bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan
medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila
kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.
Sementara
itu, menurut Muslich (1998 : 31-33) prinsip-prinsip etika bisnis terdiri dari:
1. Prinsip
Otonomi
Prinsip otonomi memandang bahwa perusahaan
secara bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan
pelaksanaannya sesuai dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang
diambil perusahaan harus diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan
yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya.
2. Prinsip
Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai yang paling
mendasar dalam mendukung keberhasilan suatu perusahaan. Kejujuran harus
diarahkan pada semua pihak, baik internal maupun eksternal perusahaan. Jika
prinsip kejujuran ini dapat dipegang teguh oleh perusahaan, maka akan dapat
meningkatkan kepercayaan dari lingkungan perusahaan tersebut.
3. Prinsip
Tidak Berniat Jahat
Prinsip ini memiliki hubungan erat dengan
prinsip kejujuran. Penerapan prinsip kejujuran yang ketat akan mampu meredam
niat jahat perusahaan itu.
4. Prinsip
Keadilan
Perusahaan harus bersikap adil kepada
pihak-pihak yang terkait dengan sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada
karyawan sesuai kontribusinya, pelayanan yang sama kepada konsumen, dan
lain-lain.
5. Prinsip
Hormat Pada Diri Sendiri
Perlunya menjaga citra baik perusahaan
tersebut melalui prinsip kejujuran, tidak berniat jahat dan prinsip keadilan.
Tidak jauh berbeda dengan Muslich, Adiwarman
Karim merumuskan prinsip-prinsip etika yang harus dianut dalam dunia bisnis.
Prinsip-prinsip itu terdiri dari:
1. Kejujuran
Banyak orang beranggapan bahwa bisnis merupakan kegiatan tipu-menipu demi
mendapatkan keuntungan. Hal ini jelas keliru. Sesungguhnya kejujuran merupakan
salah satu kunci keberhasilan berbisnis bahkan termasuk unsur penting untuk
bertahan di tengah persaingan bisnis.
2. Keadilan
Perlakukanlah setiap orang sesuai dengan
haknya. Misalnya, berikan upah kepada karyawan sesuai standar yang ada serta
janganlah pelit untuk memberikan bonus saat perusahaan mendapatkan keuntungan
lebih. Terapkan juga keadilan saat menentukan harga, misalnya dengan tidak
mengambil untung yang merugikan konsumen.
3. Rendah
Hati
Jangan lakukan bisnis dengan kesombongan.
Misalnya, dalam mempromosikan produk dengan cara berlebihan, apalagi sampai
menjatuhkan produk pesaing, entah melalui gambar maupun tulisan. Pada akhirnya,
konsumen memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian atas kredibilitas sebuah
produk/ jasa. Apalagi, tidak sedikit masyarakat yang percaya bahwa sesuatu yang
terlihat atau terdengar terlalu sempurna pada kenyataannya justru sering kali
terbukti buruk.
4. Simpatik
Kelolalah emosi. Tampilkan wajah ramah dan
simpatik. Bukan hanya di depan klien atau konsumen anda, tetapi juga di hadapan
orang-orang yang mendukung bisnis anda, seperti karyawan, sekretaris dan
lain-lain.
5. Kecerdasan
Diperlukan kecerdasan atau kepandaian untuk
menjalankan strategi bisnis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku
sehingga menghasilkan keuntungan yang memadai. Dengan kecerdasan pula seorang
pebisnis mampu mewaspadai dan menghindari berbagai macam bentuk kejahatan
non-etis yang mungkin dilancarkan oleh lawan-lawan bisnisnya.
6. Lakukan
dengan Cara yang Baik, Lebih Baik, atau Dipandang Baik
Sebagai pebisnis, anda jangan mematok diri
pada aturan-aturan yang berlaku. Perhatikan juga norma, budaya atau agama di
tempat anda membuka bisnis. Suatu cara yang dianggap baik di suatu negara atau
daerah, belum tentu cocok dan sesuai untuk di terapkan di negara atau daerah
lain. Hal ini penting kalau ingin usaha berjalan tanpa ada gangguan.
Selain berbagai prinsip-prinsip etika bisnis tersebut,
terdapat beberapa hal pokok yang harus selalu dipegang teguh dalam rangka
menciptakan praktik bisnis yang beretika, baik oleh kalangan pengusaha sendiri
sebagai pelaku utama dunia bisnis maupun oleh pemerintah itu sendiri. Hal-hal
pokok tersebut antara lain:
1. Pengendalian
Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu
mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari
siapapun dan dalam bentuk apapun. Di samping itu, pelaku bisnis sendiri tidak
mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan
menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak
bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi
masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang ‘etik’.
2. Pengembangan
Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli
dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk ‘uang’ dengan jalan
memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya, sebagai contoh
kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga
yang tinggi sewaktu terjadinya excess
demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan
tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.
Jadi, dalam keadaan excess demand
pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung
jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk
kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan,
kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan
Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah
terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah
salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika
bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan
teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan
yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi
informasi dan teknologi.
4. Menciptakan
Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan
yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku
bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan
sekitarnya. Untuk itu, dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan
yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan
Konsep ‘Pembangunan Berkelanjutan’
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan
keuntungan hanya pada saat sekarang tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan
keadaan di masa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak
mengeksploitasi lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa
mempertimbangkan lingkungan dan keadaan di masa datang walaupun saat sekarang
merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari
Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari
sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan
korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis
ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu
Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak
wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa
dipenuhi, jangan menggunakan ‘katabelece’ dari ‘koneksi’ serta melakukan
‘kongkalikong’ dengan data yang salah juga jangan memaksa diri untuk mengadakan
‘kolusi’ serta memberikan ‘komisi’ kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan
Sikap Saling Percaya Antar Golongan Pengusaha
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
kondusif harus ada sikap saling percaya (trust)
antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga
pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah
besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak
golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak
menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen
dan Konsisten dengan Aturan Main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah
ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen
dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis
telah disepakati, sementara ada ‘oknum’, baik pengusaha sendiri maupun pihak
yang lain mencoba untuk melakukan ‘kecurangan’ demi kepentingan pribadi, jelas
semua konsep etika bisnis itu akan ‘gugur’ satu semi satu.
10. Memelihara
Kesepakakatan
Memelihara kesepakatan atau
menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini
telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan
kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkannya
ke Dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan
dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan
untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti ‘proteksi’
terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan
beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak
apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak
untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.
C.
Isu-isu etika bisnis
Isu-isu yang dicakup
oleh etika bisnis meliputi topik-topik yang luas. Isu-isu ini dapat
dikelompokkan ke dalam 3 dimensi atau jenjang, yaitu:
(1)
Isu sistemik yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul mengenai
lingkungan dan sistem yang menjadi tempat beroperasinya suatu bisnis atau
perusahaan: ekonomi, politik, hukum, dan sistem-sistem sosial lainnya.
(2)
Isu organisasi yang berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan etika tentang perusahaan tertentu.
(3)
Isu individu yang menyangkut tentang pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul dalam kaitannya dengan individu
tertentu di dalam suatu perusahaan.
Manajemen
beretika, yakni bertindak secara etis sebagai seorang manajer dengan melakukan
tindakan yang benar (doing right thing).
Manajemen etika adalah bertindak secara efektif dalam situasi yang memiliki
aspek-aspek etis. Situasi seperti ini terjadi di dalam dan di luar organisasi
bisnis. Agar dapat menjalankan baik manajemen beretika maupun manajemen etika,
para manajer perlu memiliki beberapa pengetahuan khusus.
Banyak
eksekutif bisnis menganggap kultur korporat yang mereka pimpin, adalah sesuatu
yang mereka inginkan. Mereka membuat lokakarya untuk mendefinisikan nilai-nilai
dan proses-proses, menuliskan misi dan tujuan perusahaan pada poster,
menyediakan sesi-sesi orientasi untuk pegawai baru, guna menjelaskan tujuan
perusahaan dan lain-lain. Bahkan, ada yang mencetak statement nilai-nilai
perusahaan di balik kartu identitas sebagai pengingat bagi para pegawai.
1.
Isu-isu utama etika bisnis
di Indonesia
a.
Masalah Etika Klasik
Di
zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia
ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom
kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith.
Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial
dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung
jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di
Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia,
sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang
kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan
lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat,
adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang
terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di
Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para
konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan
apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya
penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa
ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis
sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas,
akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu
obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral”
Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan
ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya.
b.
Pemalsuan atau Pembajakan
Hak Cipta
Keuntungan usaha yang besar yang dapat
diperoleh dari tumpangan gratis atas upaya kreatif dan investasi pihak lain
dengan memperguankan tiruan dari produk-produk yang diinginkan dengan biaya
lebih rendah dari yang ditimbulkan oleh produsen produk yang asli. Hal ini
menyebabkan kerugian kompetitif dari tumpangan gratis terhadap biaya penelitian
dan pengembangan serta pemasaran dari badan usaha yang sah. Sehingga dengan
biaya produksi yang minim dengan menggunakan hak cipta atau kekayaan
intelektual milik orang lain seorang pemalsu dan pembajak berharap dapat
memperoleh untung yang besar.
Dari sudut pandang etika bisnis hal ini
jelas-jelas melanggar dan parahnya pemalsuan serta pembajakan hak cipta marak
terjadi di Indonesia. Di negara kita ini hampir 5 juta lagu dibajak tiap
harinya, belum lagi pembajakan film dan buku. Bukan hanya itu produk-produk
esensial bagi masyarakat seperti obat dan bahan makanan pun sering menjadi
sasaran pemalsuan dan pembajakan demi mendapatkan keuntungan yang besar. Bukan
hanya melanggar etika bisnis, pemalsuan dan pembajakan merupakan tuntutan hukum
pidana maupun perdata bagi pelakunya.
c.
Diskriminasi dan Perbedaan
Gender
Gender adalah perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang
dikontruksisecara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan dari Tuhan
melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang
panjang dan gender sebagai seperangkat peran yang dimainkan
untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang tersebut feminim atau
maskulin.Penampilan, sikap, kepribadian, tanggung jawab keluarga adalah
perilaku yang akanmembentuk peran gender. Peran gender ini akan berubah seiring
waktu dan berbedaantara satu kultur dengan kultur yang lainnya. Peran ini juga
berpengaruh oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis
Dalam etika bisnis juga harus memandang tentang kesetaraan serta
prioritas. Tidak dalam semua hal kesetaraan gender diterapkan. Akibat adanya
perbedaan sifat dari gender yang berbeda tidak bisa dipungkiri adanya prioritas
terhadap wanita dan anak-anak tanpa menghalangkan kewajiban dan hak-hak mereka.
d.
Konflik Sosial dan Masalah
Lingkungan
Perusahaan
yang tidak memperhatikan kepentingan umum dan menimbulkan gangguan lingkungan
akan dianggap sebagai bisnis yang tidak etis. Dorongan pelaksanaan etika bisnis
dating dari luar yaitu lingkungan masyarakat. Dorongan tidak selalu datang dari
luar, akan tetapi sering muncul dari bisnis itu sendiri. Hal ini disebabkan
karena bisnisman adalah juga manusia yang lengkap dengan rasa, karsa dan karya.
Dengan demikian maka secara intern pelaksanaanya akan terbentur pada
pertimbangan untung dan rugi yang pada umumnya mendominasi dan menjadi ciri
dari suatu bisnis. Oleh karena itu mereka juga sering terdorong rasa
kemanusiannya untuk menerapkan etika bisnis secara jujur.
Bisnisman
dituntut untuk lebih banyak memperhatikan aspek-aspek sosial dan menerapkan
etika bisnis secara jujur. Konflik kepentingan bisnis dengan masyarakat akan
selalu muncul dan kadang sulit untuk menyelesaikannya. Apabila konflik mencapai
jalan buntu maka biasanya masyarakat akan menggunakan tangan pemerintah sebagai
penengah. Hal itu yang melatarbelakangi ketentuan pemerintah untuk mewajibkan
pengusaha yang akan mendirikan pabrik harus mendapatkan Izin HO (Hinder
Orgonasie) agar dapat dicegah adanya konflik dikemudian hari.
Pada umumnya, paling tidak
semenjak jaman modern, orang lebih suka menggunakan pendekatan etika human-centered
dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui pendekatan etika ini, terjadilah
ketidakseimbangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan
praktis, alam kemudian dijadikan “obyek” yang dapat dieksploitasi sedemikian
rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan manusia. Sangat disayangkan bahwa
pendekatan etika tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha yang memadai untuk
mengembalikan fungsi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk lain yang ada di
dalamnya. Dengan latar belakang seperti itulah kerusakan lingkungan hidup
terus-menerus terjadi hingga saat ini. Pertanyaanya sekarang adalah apakah
pendekatan etika human-centered tersebut tetap masih relevan diterapkan
untuk jaman ini?
Menghadapi realitas kerusakan
lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan etika human-centered
tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya, kita perlu menentukan
pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih “ramah” terhadap lingkungan
hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika
life-centered yang tadi sudah kita sebutkan. Pendekatan etika ini
dianggap lebih memadai sebab dalam praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup
dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu
saja dapat dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh
menghargai mereka sebagai “subyek” yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka
memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai
mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia.
Mereka memiliki nilai kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya,
oleh karena itu mereka juga layak diperlakukan dengan respect seperti
kita melakukanya terhadap manusia
2.
Etika Bisnis dari sudut pandang kasus dan peristiwa
Mengapa etika bisnis dalam
perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu
perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai
kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu
landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi
yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang
andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
a.
Kasus Enron
Kasus Enron yang
selain menghancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik
Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih
dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika
perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya
kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut,
kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu
perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu
emas.
Haruslah diyakini bahwa pada
dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik
untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena:
- Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
- Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
- Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
- Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan
memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra
produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan
beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai
perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada
umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula,
terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya
diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang
berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu
semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika
perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika
bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
- Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
- Memperkuat sistem pengawasan
- Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut seharusnya
diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana
dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE (antara lain PT. TELKOM dan PT.
INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat
ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan
maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis
yang bermoral dan beretika saat ini sudah sangat diharapkan semua pihak apalagi
dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini. Dengan
adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk
melaksanakannya, kita yakin dapat menjadikan perusahaan menjadi kokoh.
b. Etika bisnis dalam
periklanan
Berbicara
mengenai etika bisnis, kita akan masuk pada pembicaraan yang sifatnya abstrak.
Ada dua hal yang perlu dimengerti mengenai etika bisnis, yaitu pemahaman
tentang kata etika dan bisnis. Etika, merupakan seperangkat kesepakatan umum
yang mengatur hubungan antar individu, individu dengan masyarakat dan
masyarakat dengan masyarakat. Etika diperlukan untuk menciptakan hubungan yang
tidak saling merugikan.
Semua
bentuk masyarakat atau kelompok masyarakat memilliki perangkat aturan, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Perangkat aturan tersebut bertujuan
menjamin berlangsungnya hubungan baik antar anggotanya. Hal yang sama juga
terjadi dalam dunia bisnis. Di dunia bisnis terdapat pula seperangkat aturan
yang mengatur relasi antar pelaku bisnis. Perangkat aturan ini dibutuhkan agar
hubungan bisnis yang terjalin berlangsung fair.
Perangkat
aturan tersebut bisa berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden, peraturan perusahaan, dan lain sebagainya. Aturan itu mengatur
hubungan internal dalam dunia bisnis, seperti bagaimana melakukan bisnis,
berhubungan dengan sesama pelaku bisnis. Dalam kerangka yang lebih luas kita
juga mengenal istilah code of conduct, ISO (International Organization for
Standarization), dan sebagainya.
Dalam
beberapa tahun terakhir juga dikenal istilah Global Compact, Decent Works,
Corporate Social Responsibility, yang bertujuan mengatur pelaku bisnis agar
menjalankan bisnisnya dengan fair dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan
sekitar. Lingkungan tersebut adalah masyarakat sekitar, lingkungan alam, dan
hak asasi manusia.
Jadi,
secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan
individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup
bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum
yang berlaku (legal), dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun
perusahaan di masyarakat.
Menurut
Dawam Rahardjo, etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat yaitu individu,
organisasi, dan sistem. Pada tingkat individu, etika bisnis mempengaruhi
pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran
sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang
sudah terikat pada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang
tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban
atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku
bisnis terkadang sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras
dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan,
emosi atau religiusitas, seringkali kalah dalam upaya maksimalisasi laba
melalui sikap yang individualistis melalui konflik dan persaingan yang tidak
sehat.
Hal
ini tidak hanya terjadi di Dunia Barat, tetapi juga dilakukan oleh para
pebisnis di Dunia Timur. Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan
menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi
pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi penggerak
motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan
tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi
sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak
mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumberdaya alam maupun
tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha
terhadap etika bisnis.
Perubahan
perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi
dunia semakin membaik. Salah satunya adalah melalui iklan. Promosi dan iklan
dinilai efektif menarik calon pembeli, namun belakangan banyak promosi dan
iklan yang tidak lagi sesuai dengan penawaran yang sebenarnya dilakukan
produsen atau penjual, bahkan cenderung membohongi publik. Salah satu modus
yang sering dijadikan alat ‘pembohongan publik’ adalah penawaran khusus yang
disertai dengan sejumlah pembatasan yang dikenal dengan terminologi terms and
condition apply atau “syarat dan ketentuan berlaku”. Entah disengaja atau
tidak, perusahaan ritel, sering kali tidak menjelaskan secara rinci
batasan-batasan yang menyertai penawaran khusus tersebut. Iklan yang mengandung
penawaran khusus dengan syarat-syarat tertentu biasanya hanya diberikan tanda *
(asterik) untuk menandakan “syarat dan ketentuan berlaku”, yang ditulis dengan
huruf yang sangat kecil dan diletakkan di bawah iklan tersebut. Sementara itu,
keterangan lengkap tentang batasan-batasan yang berlaku hanya dapat diperoleh
di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini banyak dijumpai pada sejumlah iklan yang
beredar di tanah air, baik yang dipublikasikan melalui media cetak maupun
elektronik. Kasus ini banyak terjadi pada iklan-iklan perusahaan ritel, produk
dan layanan telepon seluler, kartu kredit, dan perusahaan penerbangan.
Menurut
etika formal dan informal, praktik-praktik semacam ini jelas melanggar etika
terutama berkaitan dengan kejujuran. Transaksi jual beli seharusnya menjunjung tinggi
norma-norma baik yang berlaku di masyarakat, seperti pelayanan yang baik dan
ramah, kejujuran, menghindari praktik-praktik penipuan maupun kebohongan
public.
Dari sisi legal formal, praktek-praktek tersebut jelas melanggar Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; kegunaan suatu barang dan/atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Dari sisi legal formal, praktek-praktek tersebut jelas melanggar Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; kegunaan suatu barang dan/atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Selain
itu, pasal 12 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau
tarif khusus dalam waktu atau jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak
bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan. Pelanggaran terhadap isi pasal-pasal tersebut
menimbulkan konsekuensi sanksi berupa hukuman penjara maksimal 2 (dua) tahun
dan denda sebesar Rp. 500.000.000,-.
Ketentuan
hukum tentang pelanggaran etika bisnis dalam beriklan sebenarnya sudah disusun,
meskipun masih terbuka celah-celah untuk melakukan penyimpangan. Tapi intinya
adalah pada moral pebisnis itu sendiri, karena pembohongan atau penipuan
terhadap publik atau konsumen tidak hanya merugikan produk atau layanan yang
dihasilkan perusahaan itu sendiri, tetapi juga akan melemahkan daya saing di
tingkat internasional. Pengabaian etika bisnis akan membawa kerugian, tidak
saja pada masyarakat, tetapi juga tatanan ekonomi nasional.
c. Pelanggaran etika bisnis dalam bisnis kartel
Dari
prinsip-prinsip yang telah dijabarkan diatas, kasus kartel sms yang
terjadi belakangan ini, jika dicermati,
telah melanggar prinsip-prinsip etika bisnis. Yang pertama, prinsip otonomi. Setiap perusahaan
yang terdiri dari individu-individu dalam
perusahaan telekomunikasi yang terlibat dalam kasus kartel ini, tidak
memiliki prinsip otonomi yang baik.
Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya
tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Maksudnya masing- masing
perusahaan yang terlibat tidak mempunyai sifat otonomi karena kesepakatan yang
antar mereka buat tidak memungkinkan mereka untuk menurunkan harga sms sesuai
dengan harga riil sms yang seharusnya mereka jual pada konsumen, sesuatu yang
seharusnya mereka lakukan. Kongsi yang antar perusahaan telekomunikasi buat
membuat mereka tidak lagi independent dalam menjalankan bisnis mereka, termasuk
dalam penentuan tarif sms. Seharusnya, sesuai dengan prinsip etika bisnis,
setiap perusahan atau bentuk usaha harus mempunyai otonominya sendiri dan
mempunyai kemampuan untuk memilih hal yang mereka anggap patut dan baik untuk
dilakukan.
Kedua,
kasus kartel tersebut menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip
kejujuran. Setiap bisnis seharusnya mempunyai itikad bisnis yang baik yang
direpresentasikan dalam sebuah kejujuran. Baik dalam hal mutu produk, harga
produk, pemberian informasi kepada konsumen atau rekan bisnisnya. Dalam kasus
kartel ini, terdapat penipuan tariff sms yang ditawarkan kepada para konsumen,
berarti perusahaan memang mempunyai intensi untuk tidak berlaku jujurpada
konsumennya.
Ketiga,
terdapat prinsip keadilan yang tidak ditegakkan. Dalam sebuah bisnis prinsip
keadilan harus dapat dijalankan. Jika beberapa perusahaan telekomunikasi
melakukan penawaran tariff sms tidak sesaui dengan yang seharusnya mereka
tawarkan, maka prinsip keadilan khususnya kepada konsumen tidak terjadi.
Masalah ketidakadilan ini terjadi ketiga terdapat provider-provider lain yang
menawarkan tariff sms dengan harga jauh dibawah tariff yang selama ini
ditawarkan. Konsumen merasa, mereka tidak diperlakukan secara adil dan tidak
memperoleh bagian yang wajar dari beban (tariff penggunaan sms) yang
ditanggungnya.
Keempat,
kasus ini juga telah melanggar prinsip saling menguntungkan. Kongsi perusahaan
telekomunikasi yang dengan semena-mena mematok tariff sms jauh di atas harga
yang seharusnya sama sekali tidak menguntungkan bagi para konsumen. Dalam
sebuah bisnis seharusnya bukan hanya produsen yang diuntungkan, tetapi konsumen
juga harus merasakan keuntungan yang sama akibat pembelian barang atau
penggunaan jasa mereka.
Kelima,
prinsip integritas moral. Dilakukannya persekongkolan untuk menetapkan tariff
sms diluar tariff sewajarnya, tentunya berpotensi untk mencoreng nama baik dan
integritas moral sebuah perusahaan. Kartel sms yang dilakukan beberapa
perusahaan telekomunikasi menunjukkan adanya integrasi moral yang
rendahkarenatidak bertujuan melakukan bisnis yang berpedoman pada prinsip-
prinsip etika bisnis pada umunya. Yang paling terlihat dalam kasus ini hanyalah
penggunaan prinsip utilitarianisme dalam menjalankan bisnisnya.
Utilitarianisme
merupakan suatu bentuk etika teleological yang lebih dikenal oleh pelaku-pelaku
bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”.
Keputusan- keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada
akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di
antara keputusan- keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang
hal atau keputusan yang terbaik bagi perusahaan. Jika pelaku bisnis, yang
merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana
agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah
merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal
sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit). Perusahaan
telekomunikasi hanya berorientasi pada kegunaan yang ditawarkan dari adanya
fasilitas sms yang ditawarkan pada konsumen dan menitikberatkan fokusnya pada
pencapaian laba yang setinggi-tingginya.
0 komentar:
Posting Komentar