Mudharabah
Bank Syariah, berbagi riba berkedok syariah
Pengusaha Muslim
- Dalam praktik produk mudharabah di bank syariah terdapat persyaratan
kontroversial, yaitu pihak mudharib (pengelola dana) diharuskan menjamin
dana yang diberikan bank dari segala bentuk kerugian. Produk ini dianggap
sebagai ijtihad baru dalam mudharabah yang tidak ada sebelumnya. Produk ini
diberi nama mudharabah musytarakah.
Mudharabah Musytarakah
adalah gabungan dari dua kata mudharabah dan musytarakah.
Yang dimaksud dengan mudharabah
adalah: transaksi penanaman dana oleh pemilik dana (shahibul mal) kepada
pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian
hasil berdasarkan nisbah yang disepakati oleh kedua pihak, sedangkan kerugian
modal hanya ditanggung oleh pemilik dana.
Musytarakah
berarti: serikat, gabungan atau perkumpulan. Maka Mudharabah musytarakah
hakikatnya mudharabah biasa, yang dimodifikasi untuk dijadikan produk
perbankan syariah sebagai ganti dari tabungan/deposito berbunga pada bank
konvensional.
Selanjutnya penulis menyebutkan
definisi dan ketentuan mudharabah musytarakah yang dinyatakan oleh Majma'
Al-Fiqh Al-Islami (divisi fikih OKI) dalam keputusan muktamar No. 123
(5/13) 2001.
Hubungan Antara Mudharabah
Musytarakah dan Riba Dayn
Pada dasarnya hukum mudharabah
musytarakah adalah mubah (boleh). Akan tetapi setelah mudharabah
musytarakah diakui sebagai produk bank syariah, beberapa peneliti
ekonomi syariah menambahkan persyaratan bahwa dana yang diserahkan oleh nasabah
kepada bank syariah yang dikembangkan dalam akad mudharabah,
mendapatkan jaminan dari pihak mudharib (bank sebagai pengelola dana
nasabah), sebagaimana halnya yang diterapkan oleh bank konvensional. Bahkan
bukan hanya pokok dana tabungan yang dijamin, termasuk juga bunga atau bonusnya.
(Dr. Yusuf As-Syubaily, Khadamat Ististmariyyah fil Masharif, jilid I,
hal 270. Dr. Iyadh Al-Anzy, Asy-Syuruth At-Ta'widhiyyah, jilid II, hal
761).
Para peneliti tersebut berdalih
dengan mengqiyaskan mudharabah musytarakah dengan ajir musytarak
(orang upahan yang bekerja memberikan jasa untuk orang banyak, seperti penjahit
yang menerima jahitan dari banyak orang).
Ajir
musytarak berbeda hukumnya dengan ajir khas (orang upahan yang
bekerja memberikan jasanya untuk orang tertentu, seperti sopir pribadi). Ajir
khas tidak diwajibkan mengganti kerugian pada barang yang digunakannya,
jika terjadi kerusakan/lenyap tanpa ada unsur kelalaiannya. Seperti kerusakan
mobil ketika kecelakaan lalu-lintas yang terjadi di luar kehendak sopir
pribadi. Berbeda halnya dengan Ajir musytarak, dia diharuskan
menjamin semua barang para pengguna jasanya dalam kondisi bagaimanapun juga.
Kecuali jika terjadi musibah umum, seperti kebakaran yang menimpa toko penjahit
akibat jalaran api dari toko yang lain. Ini pendapat dalam mazhab Hanbali. (Al
Buhuty, Kasysyaful Qina', jilid IV, hal 26)
Akan tetapi dalil yang digunakan
tidaklah kuat, karena tidak memenuhi persyaratan qiyas. Qiyas semacam ini
dinamakan qiyas ma'al fariq (analogi dua kasus yang hakekatnya berbeda),
karena ajir musytarak berbeda dengan mudharabah musytarakah. Ajir
musytarak mendapat imbalan yang disepakati dari awal, sedangkan mudharabah
musytarakah, pengelola mungkin mendapat laba dan mungkin tidak.
Dengan demikian, persyaratan bahwa
mudharib wajib menjamin dana nasabah pada kontrak mudharabah musytarakah
ditentang keras oleh para ulama sehingga Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi
fikih OKI) mengeluarkan keputusan dalam muktamar ke XIII di Kuwait, No. 123
(5/3) 2001, yang menyatakan,
"Mudharib (pengelola) adalah
pihak yang menerima amanah, ia tidak menjamin dana bila terjadi kerugian, atau
dana hilang, kecuali ia melalaikan amanah, atau ia melanggar peraturan syariah
atau peraturan investasi. Hukum ini berlaku untuk mudharabah fardiyyah
(perorangan) ataupun mudharabah musytarakah. Dan hukum ini tidak berubah dengan
dalih mengqiyaskannya dengan ajir musytarak". (Journal
Islamic Fiqh Council, edisi XIII, jilid III, hal 291)
Dalil para ulama yang mengharamkan
persyaratan; mudharib wajib menjamin dana pihak investor dari kerugian
adalah sebagai berikut:
1. Ijma', kesepakatan para ulama
sejak abad pertama hingga sekarang, bahwa jika disyaratkan agar pihak pengelola
menjamin modal dari kerugian maka persyaratan ini batal dan tidak berlaku.
Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali,
wafat: 682H) mengatakan, "Bila disyaratkan bahwa mudharib (pengelola)
menjamin dana dari kerugian, maka persyaratannya batal, tidak ada perbedaan
pendapat ulama dalam hal ini". (Al Mughni, jilid VII, hal 176)
2. Perbedaan yang mendasar antara mudharabah
dan qardh (kredit) adalah dana yang diterima oleh mudharib tidak
dijamin dari kerugian, sedangkan dana yang diterima dari kreditur wajib dijamin
oleh pihak debitur.
Jika mudharib disyaratkan
menjamin dana yang diterimanya dari kerugian, akad mudharabah berubah menjadi
qardh. Dan ketika pihak pemberi dana menerima bagi hasil sesungguhnya ia
menerima bunga (riba). Karena akad mudharabahnya telah berubah menjadi
akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati keharamannya oleh para
ulama karena termasuk riba dayn. (Dr. Iyadh Al Anzy, Asy
Syuruth At Ta'widhiyyah, jilid II, hal 762 )
Keterangan di atas adalah sinopsis
artikel yang ditulis Dr. Erwandi Tarmidzi – Alumni pascasarjana univ. Muhammad
Su'ud jur. Fiqh – di majalah Pengusaha Muslim edisi 25, yang terbit pada bulan
maret.
0 komentar:
Posting Komentar