Selasa, 23 April 2013

TINJAUAN KRITIS PRAKTEK MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH


TINJAUAN KRITIS PRAKTEK MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH

Abstrak-Perkembangan bank syariah yang pesat menunjukan menggambarkan adanya potensi pasar yang besar di Indonesia. Negara Indonesia yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia dan gencarnya para da’i menyampaikan risalah atas keharamannyanya transaksi riba yang didukung fatwa MUI soal itu mendorong masyarakat dan pebisnis muslim mencari alternatif solusi. Berbagai produk yang ditawarkan oleh bank syariah nampak berbeda dengan bank konvensional, selain menjanjikan nilai plus dalam hal berbagi keuntungan dalam akad mudharabah yang menjadi fundamental utama muamalahnya, perbankan syariah juga memberi angin segar spiritual dengan mengklaim perbankan yang bebas riba dan bebas dari pelanggaran syariah. Produk perbankan syariah dalam bentuk tabungan umumnya menggunakan akad mudharabah dan sebagiannya ada juga yang berakad wadi’ah. Dari gembar gembor yang di publikasikan oleh bank syariah atas produk dan proses kerja bank syariah, maka jika kita cermati lebih mendalam dan seksama dengan mencocokan penerapan peraktek perbankan syariah saat ini dengan instrumen undang-undangnya maupun berbagai ketentuan syariah baik yang sudah diakomodir dalam kompilasi fatwa Dewan syariah Nasional maupun ketentuan yang terdapat dalam kitab kajian fikih muamalah para ulama salaf ternyata bisa kita temukan berbagai kesamaan konsep dengan bank konvensional yang membuatnya memang tidak bisa selaras denga ketentuan syariah serta banyaknya penyimpangan dalam peraktek perbankan syariah diantaranya yang berhubungan dengan akad mudharabah.Dalam penyimpangan-penyimpangan tersebut yang mana bank syariah melakukan pelanggaran terhadap syariah yang bisa menyeretnya pula pada transaksi ribawi. Maka hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut, karena apa yang dilakukan dalam hal ini sama juga melakukan rekayasa syariah (produk riba kemasan syariah)  sehingga persis menyerupai apa yang dilakukan oleh bangsa yahudi (Israel) yang menyebabkan menjadi terlaknat karena merubah ketentuan ajaran syariah mengikuti hawa nafsunya. Di zaman modern ini, bagaimanapun peran perbankan atau apapun yang bisa menjadi alternatif serupa dengannya sangatlah dibutuhkan. Maka dengan tulisan ini dan juga berbagai solusi yang akan menyempurnakan prinsip dan cara kerja bank syariah untuk benar-benar bebas dan bersih dari riba diharapkan bisa menjadi wacana yang bisa dipahami dan segera di aplikasikan dalam  realisasi perbankan yang benar-benar sesuai syariah diwaktu mendatang.
Kata kunci: Mudharabah, Perbankan Syari’ah, Islamic Banking

I.                   PENDAHULUAN

Maraknya perkembangan munculnya bank-bank syariah belakangan ini bisa menggambarkan adanya potensi pasar perbankan syariah di Indonesia. Hal ini yang seolah bisa menjadi indikator telah munculnya kesadaran sebagian umat Islam di Indonesia terhadap penerapan syariah Islam dalam kehidupan bermuamalah yang bebas dari riba dan meninggalkan aktifitas bisnis haram lainnya. Bank-bank konvensional yang lebih dahulu hadir dianggap tidak mampu mengakomodir tuntutan perubahan sistem yang diharapkan umat Islam selain masih rentan menggunakan sistem ribawi, bank konvensional juga nyata-nyata masih tidak memperdulikan pemutaran uang nasabah apakah untuk investasi dalam bisnis yang di halalkan atau di haramkan menurut ketentuan syariat Islam. Di saat umat Islam mulai menyadari dengan kebutuhan tersebut maka saat itulah mulai muncul perbankan syariah yang berupaya menyelaraskan peraktek perbankan dengan ajaran Islam serta meninggalkan berbagai aktifitas yang lazim dilakukan oleh bank-bank ribawi (bank konvensional) yang sarat dengan peraktek riba dan aktifitas investasi pada objek yang diharamkan agama.
Jika ditelusuri kebelakang mengapa bank syariah atau bank Islam itu diperlukan, maka hal itu lebih kepada adanya kebutuhan umat Islam dalam mengikuti perkembangan zaman dan pesatnya laju perekonomian yang banyak bergantung dengan aktifitas perbankan. Maka para konseptor perbankan syariah (Islamic Bank) berupaya melakukan penyelarasan sistem perbankan agar akad dan pelaksanaannya bersesuaian dengan hukum Islam (syariah). Sistem yang digunakan dalam bank konvensional telah terbukti secara nyata tidak mengindahkan berbagai larangan dalam ketentuan syariah Islam semisal meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), padahal telah diketahui bersama berdasar kesepakatan para ahli ilmu (agama) /ahli fikih bahwa dalam akad muamalah pinjam meminjam didalam ketentuan syariat Islam tidak dibolehkan didalamnya dimasukan unsur komersil atau pengambilan keuntungan, hal ini disebabkan bahwa keuntungan dari transaksi pinjam meminjam adalah riba. Oleh karena itu para ulama menegaskan hal tersebut dalam sebuah kaidah yang sangat masyur dalam ilmu fikih yaitu “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” (baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)
Selain sarat dengan aktifitas riba, aktifitas bank konvensional pun tak lepas dari berbagai aktifitas transaksi yang melanggar larangan agama Islam. Bank konvensional masih berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram) serta belum terverifikasi akan kehalalan bisnisnya karena memang tidak ada institusi maupun unsur dalam bank konvensional yang melakukan verifikasi halal haramnya suatu objek bisnis. Maka pada aktifitas bank konvensional tidak luput pula dari hal-hal sebagai berikut seperti bisnis yang mengandung unsur perjudian (maisir), unsur ketidakpastian (ghoror), minuman keras, industri/produksi makanan/minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami dan lain-lain yang dilarang dalam syariah Islam. Sebagaimana telah kita pahami bahwa sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin lenyapnya hal-hal tersebut dalam semua jalur investasinya, maka berbisnis pada sesuatu yang diharamkan maka penghasilannya juga merupakan keharaman dan sudah sepatutnya sebagai muslim wajib untuk menjauhinya, maka bermuamalah dengan bank konvensional bisa dipahami berarti baik sengaja ataupun tidak berarti kita menolong sistem yang tidak mematuhi nilai-nilai Islam. Fatwa ulama Islam pun melarang bermuamalah dengan bank konvensional terkecuali pada hal-hal tertentu yang tidak mengandung riba dan belum ada solusi dari lembaga keuangan lain yang lebih islami yang bisa menggantikan kebutuhan umat akan hal kepentingannya saat ini semisal penggunaan jasa transfer antar bank, jasa penitipan barang berharga (safe deposit box) dan lain-lain.
Jika dilihat dari tujuan dan latar belakang kemunculan bank-bank syariah tentu sangat pantaslah bank syariah itu untuk menuai pujian dan dukungan sebagai institusi perbankan alternatif bagi umat Islam yang membutuhkan jasa perbankan tanpa dihantui dosa riba dan aktifitas terlarang lainnya, namun seiring waktu berjalan,  saat terjadinya interaksi diantara peraktisi perbankan, pengguna perbankan (nasabah) dengan para ahli ilmu (para ulama) serta kajian-kajian yang mendalam maka sedikit demi sedikit mulai bermunculan temuan berbagai penyimpangan yang terjadi baik pada proses akad muamalah berlaku yang diterapkan oleh bank syariah maupun konsep dasarnya yang melandasi berdirinya perbankan syariah baik dalam produk pendanaan maupun produk pembiayaannya. Dalam konteks tema ini penulis hanya mengangkat seputar akad mudharabah yang di terapkan oleh bank syariah untuk memberi gambaran dan penegasan mengenai kebenaran ada tidaknya penyimpangan peraktek akad mudharabah yang di lakukan oleh bank syariah, mengingat akad mudharabah merupakan akad muamalah paling utama yang melandasi produk perbankan syariah.
Salah satu permasalahan pokok yang menjadi fokus perhatian penulis dan juga merupakan pembatasan penelitian akan difokuskan pada masalah-masalah tertentu seputar akad mudharabah. Karena akad mudharabah yang mendasari produk utama yang ditawarkan oleh bank syariah, akad inilah yang mendasari berbagai transaksi perbankan syariah dalam pendanaan maupun inti bisnis bank syariah. Penting bagi kita untuk  mengatahui apakah penerapan akad mudharabah pada bank syariah sudah sesuai dengan syariah yang benar pada proses dan bagi hasilnya serta selamat dari unsur-unsur ribawiyah.
Tujuan penulisan di dalam tulisan ini,  penulis berupaya untuk mengurai adanya benang merah yang dapat membuktikan bahwa benar masih terdapatnya kesamaan konsep, fungsi maupun implementasi antara praktek perbankan syariah dengan perbankan konvensional yang tentu akan menjadi bumerang ketika bank syariah juga ingin menjalankan akad-akad syariah dalam waktu yang bersamaan.
Jenis Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan sedang literatur yang digunakan merujuk kepada fikih muamalah islam, praktek perbankan syariah, peraturan perbankan syariah serta wawancara dan observasi langsung.
Bank konvensional yang akad bisnisnya menerapkan akad  utang piutang dan pengambilan keuntungan atasnya yang lazim dinamai bunga bank, Sedangkan pada bank syariah menggunakan akad mudharabah yang berpola investasi dan pengambilan keuntungannya lazim disebut bagi hasil.  Perbedaan akad yang sebenarnya jauh berbeda namun dengan aturan dan aturan main perbankan syariah itu sendiri yang masih terkesan memplagiasi dan belum keluar dari kotak aturan yang sama dengan peraturan perbankan konvensional hanya dengan sedikit modifikasi dan kamuflase perubahan pada istilah, penamaan yang menggunakan bahasa arab dan istilah akad-akad dalam fikih islam supaya terkesan sudah sesuai dengan syari’ah

II.                LANDASAN TEORI

2.1.  Memahami konsep dasar seputar riba

Penyebab utama umat Islam meninggalkan bermuamalah dengan bank konvensional serta beralih menuju kepada perbankan syariah (Islamic banking) adalah dikarenakan alasan peraktek riba yang masih merajalela dan diterapkan oleh bank konvensional dalam sebagian besar transaksinya. Umat Islam mulai memahami bahwa konsep yang digunakan dalam pembagian bunga bank baik dalam konteks pendanaan maupun pembiayaan bank konvensional mengadopsi cara dan konsep riba.  Berkat peran ulama dan proses pembelajaran kepada pemahaman syariah yang benar membuat umat dapat mengetahui bahwa bunga bank merupakan implementasi dari transaksi riba. Maka di sinilah perlunya pengetahuan mengenai hakekat dari sesuatu hal agar tidak tertipu dari penamaan-penamaan lain yang kelihatannya baik namanya,  namun sebenarnya tetap buruk hakekatnya, sekedar penamaan saja yang berbeda agar bisa menipu banyak orang, diantara contohnya sebutan bunga bank untuk transaksi bunga uang atau riba,  sebutan sake, bir, sampanye untuk minuman khomar, sebutan prostitusi, pekerja seks komersial untuk praktek pelacuran, sebutan undian untuk peraktek perjudian, sebutan kawin kontrak untuk peraktek perzinahan dan sebagainya. Oleh sebab itu agar tidak tertipu dengan penamaan-penamaan, slogan-slogan yang ganti berganti, penting bagi kita untuk mengenal hakekat yang sebenarnya dari sesuatu keburukan tersebut. Karena aneka penamaan tidaklah merubah hakekat, sesuatu itu tetaplah buruk jika hakekatnya buruk meskipun diberi nama atau label yang baik.
Agar bisa menjauhi riba maka kita pun perlu bekal pengetahuan mengenai apa itu yang dimaksud dengan riba. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya (2003:37) “Riba secara bahasa bisa bermakna ziyadah atau tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.  Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa penjelasan dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Menurut Muhammad Arifin Badri dalam bukunya (2009:2) Riba ialah suatu “akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad atau salah satunya”. Dari definisi tersebut diketahui jika riba bisa muncul pada jual beli, pinjam meminjam, hal tersebut bisa terjadi karena melanggar ketentuan yang dibenarkan syariat. Semisal contoh dari yang diatur syariat ialah tidak dibolehkannya mengambil keuntungan dari utang piutang, karena akad transaksi utang piutang dalam ketentuan prinsip muamalah Islam haruslah berakad sosial dan tidak boleh di komersilkan. Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain). Namun pada sisi akad tujuan transaksi yang lain adapula akad yang dibenarkan syariat untuk mengambil keuntungan semisal jual beli, sewa menyewa dan lain-lain, agar lebih memahami konteks ini untuk lebih jelasnya kita coba memahami terlebih keterkaitan antara tujuan berbagai tranksaksi yang dilakukan oleh manusia sesuai dengan porsi yang dikehendaki oleh ketentuan syariat Islam.
Hukum riba adalah haram menurut kesepakatan ulama Islam, dan riba masuk salah satu diantara dosa besar maka umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya, banyak sekali dalil baik dari Alqur’an maupun hadist nabi Shalallahu’alaihi wasallam yang menyatakan haramnya dan terlarangnya riba. Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahulloh dalam buku Muhammad Arifin badri (2009: 19) mengatakan “Keharaman riba telah disepakati oleh ulama, oleh karena itu barangsiapa yang mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia telah murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati” Besarnya dosa riba jika dibandingkan dengan dosa lain bisa tergambar dari hadist berikut ini: “(Dosa) riba itu memiliki tujuh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan /harga diri saudaranya.” (HR Ath-Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh Al-Albani).  Keharaman riba ini juga mengenai kepada setiap orang yang terlibat dalam proses perbuatan riba tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Dari sahabat Jabir radhiaAllohuanhu ia berkata, “ Rosululloh Shalallahu’alaihi wasallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda, “ Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)

2.2.  Macam-macam riba

Para Ulama ada yang membagi riba atas tiga jenis dan adapula yang membagi riba atas empat jenis, namun jika di teliti lebih seksama ada kesamaan subtansi jenis riba namun hanya berbeda nama saja bagi pendapat yang membagi riba atas tiga atau empat jenis tersebut diatas. Maka secara umum pengelompokan riba yang lebih tepat ialah terbagi atas dua jenis yaitu:

  1. Riba Nasi’ah/Penundaan (Riba Jahiliyyah)

Yakni riba (tambahan) yang disebabkan oleh pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang termasuk dalam komoditi riba, baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya. Para Ulama menyepakati bahwa termasuk komoditi riba berdasarkan nama jenis komoditi yang tersebut dalam hadist nabi Shalallahu’alaihi wasallam itu diantaranya ada enam jenis yaitu emas, perak, gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma, dan garam. Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan bahwa hukum riba juga bisa berlaku pada komoditi lain yang semakna dengan keenam komoditi tersebut. Alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah emas dan perak baik sebagai alat untuk berjual beli (nilai ekstrinsik dinar dan dirham bersifat fluktuatif layaknya nilai mata uang kertas zaman sekarang) atau tidak (nilai intrinsik sebagai alat ukur kekayaan), demikian di analogikan (qiyas) dengan keduanya setiap alat jual beli yang dikenal dengan meluas oleh umat manusia saat ini yaitu uang kertas dan logam yang merupakan pengganti dinar dan dirham maka berlaku pula padanya hukum dinar dan dirham. Keempat komoditi lainnya seperti gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma, dan garam merupakan komoditi bahan makanan yang ditimbang dan ditakar. Dengan demikian setiap bahan makanan yang diperjual belikan dengan cara ditimbang dan ditakar berlaku pula padanya hukum sebagai komoditi riba.
a.     Contoh riba nasi’ah dalam perniagaan: Ali menukarkan uang kertas pecahan Rp 10.000 dengan uang logam pecahan Rp 1000 kepada Budi, namun Budi pada waktu akad penukaran hanya membawa 5 buah uang logam Rp 1000 (hanya membawa Rp 5000), kemudian keduanya menyepakati jika Budi menyerahkan sisa uangnya 5 buah uang logam lagi yang senilai Rp 1000  (jadi Rp 5000 lagi) dua jam kemudian dari saat terjadinya akad penukaran maka perbuatan mereka berdua tersebut masuk perkara riba nasi’ah.
b.     Contoh riba nasi’ah dalam akad hutang piutang: Wati menggunakan kartu kredit Bank XYZ untuk belanja barang keperluan rumah tangga senilai  Rp 1000.000 yang jatuh tempo penagihan hingga akhir bulan, namun setelah akhir bulan saat jatuh tempo ternyata Wati belum bisa melunasi tagihan dari kartu kredit Bank XYZ, maka karena telah lewat jatuh tempo Bank XYZ mengenakan tambahan bunga 3%  setiap bulan dari jumlah saldo piutangnya yang belum terbayar.

  1. Riba Fadhl (Riba penambahan)/Riba perniaagaan

Yakni riba (tambahan) yang disebabkan oleh pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis komoditi ribawi sebagimana tersebut diatas. Maka bisa dipahami barang dengan jenis komoditi riba tidak boleh diperjualbelikan dengan cara barter (tukar menukar barang) kecuali dengan memenuhi ketentuan transaksi dilakukan secara kontan, penyerahan barang barter harus dilakukan saat akad transaksi terjadi dan tidak boleh ditunda, kemudian barang yang menjadi obyek barter harus sama jumlah dan takarannya meski terjadi perbedaan mutu diantara kedua barang. Contoh riba Fadhl dalam akad transaksi barter: Lisa memiliki 5 gram cincin emas yang telah lama dipakai dengan kadar emas 22 karat hendak ia tukarkan ke toko emas ABC dengan cincin baru dengan berat yang sama 5 gram namun dengan kadar 24 karat, maka toko emas ABC mengenakan biaya tambahan atas selisih kadar 2 karat emasnya tersebut kepada Lisa, jika keduanya menyepakati transaksi itu maka jatuhlah pada riba fadhl.

2.3.  Mengenal akad mudharabah

Menurut Ahmad asy syarbasyi dalam buku syafii Antonio ( 2003:95) al mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Sedangkan kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Menurut Sa’ad bin Gharir as silmi dalam buku muhamad arifin badri( 2010: 131) mudharabah adalah suatu akad dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam prosentase yang telah disepakati antara keduanya. (arifin badri). Sedangkan rukun-rukun mudharabah itu antara lain:
1.     Ijab dan qobul
Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah, Sedangkan qobul merupakan jawaban yang mengandng persetujuan yang di ucap pihak kedua atau yang mewakilinya. Tidak ada kata-kata khusus dalam hal ini sebagaimana amalan ibadah layaknya sholat, haji dan sebagainya namun mudharabah merupakan wujud interaksi sesama manusia, sehingga teknisnya yang menunjukan kesepakatan kedua belah pihak dapat diungkapkan apa saja sesuai kebiasaan yang berlaku baik bisa berupa lisan maupun tulisan
2.     Pemodal dan pelaku usaha
Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah harus memenuhi empat kriteria diantaranya orang yang merdeka maka budak tidak dibenarkan untuk bertransaksi tanpa seijin tuannya, telah baligh bagi laki-laki telah diketahui sampai mencapai umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub sedang pada wanita ditandai dengan mulainya siklus datang bulan (haidh), atau hamil atau telah berumur lima belas tahun, berakal sehat maka orang yang mengalami gangguan jiwa  atau serupa tidak sah akad perniagaanya, dan kriteria terakhir ialah mampu membelanjakan hartanya dengan baik.
3.     Modal
Modal ialah harta milik pihak pertama (pemodal) kepada pihak kedua (pelaku usaha) guna membiayai usaha yang dikerjakan oleh pihak kedua. Para ulama telah menyebutkan sejumlah persyaratan bagi harta yang menjadi modal akad mudharabah diantaranya diketahui jumlah modalnya oleh kedua belah pihak supaya tidak menimbulkan perselisihan dalam pembagian keuntungan, hal ini karena konsekwensi akad mudharabah yang mengembalikan modal kepada pemodal lalu kedua belah pihak berbagi keuntungan. Persyaratan berikutnya ialah penyerahan modal kepada pelaku usaha dan pelaku usaha tersebut sepenuhnya diberi kebebasan untuk menggunakan modal tersebut untuk membiayai usaha yang dilakukannya.
4.     Usaha
Dalam menjalin akad mudharabah umumnya ulama membagi atas dua bagian yakni  Mudharabah al muthlaqah (mudharabah bebas). Adalah sistem mudharabah, yang dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudharib (pengelola modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan. Kemudian ada pula Mudharabah al muqayyadah (mudharabah terbatas). Dalam hal ini, pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang dibolehkan bertransaksi dengan mudharib.
5. Keuntungan
Tujuan utama diadakannya akad  mudharabah adalah memperoleh keuntungan kedua belah pihak, pemodal dananya berkembang dengan keuntungan dan pengusaha menikmati laba usaha (keuntungan) hasil operasi.
III. HASIL PEMBAHASAN
Dengan mengkaji, membandingkan, meneliti maka penulis melakukan tinjauan berdasar berbagai literatur fikih muamalah syari’ah, peraturan perbankan syariah serta praktek dan aktualisasi yang terjadi berdasar literatur yang mengambil objek riset pada bank syari’ah maupun melakukan observasi dan wawancara kepada pihak-pihak yang terlibat dalam aktualisasi perbankan syariah maka penulis dapati ketidaksesuaian akad  Mudharabah bank dengan akad mudharabah yang syar’i. Hal ini bisa di tinjau dari hal-hal sebagai berikut:
  1. Status ganda perbankan syariah menyalahi ketentuan akad mudharabah sesuai syar’i menurut yang dipahami para ulama fikih islam.
Dalam menjalankan akad mudharabah terhadap para nasabah pihak bank melakukan status ganda, pertama bank berlaku sebagai pengelola usaha (mudharib) dan kemudian bank dalam waktu sekejap berubah status menjelma menjadi investor (shahibul maal).
 Status ganda bank
Berikut penjelasan skenario status ganda bank: bank syariah menghimpun dana dari nasabah pertama yang datang menabung dengan akad mudharabah, dalam hal ini bank memposisikan nasabah sebagai pemilik modal dan bank syariah sendiri mengklaim sebagai pelaku usahanya, ketika uang modal sudah dalam penguasaan bank, maka bank tidak menjalankan dengan amanah apa yang semestinya dilakukan oleh pihak pelaku usaha dalam akad mudharabah namun justru bank kembali mengikat diri lagi dengan perjanjian mudharabah kepada pihak lain yakni nasabah kedua. Dalam konteks kedua ini bank mengklaim sebagai pemilik modal dan nasabah yang datang kali ini adalah pihak pelaku usaha sesungguhnya yang benar-benar membutuhkan curahan bantuan modal untuk usahanya. Menyimak skenario status ganda bank syariah tersebut maka diketahui dalam dua akad mudharabah yang dilakukan bank syariah tersebut baik akad mudharabah dengan nasabah pertama ketika bank memposisikan diri sebagi pelaku usaha maupun pada mudharabah dengan nasabah kedua ketika bank kemudian memposisikan diri sebagi pemilik modal, maka seandainya bank melakukan mudharabah dengan nasabah kedua atas ijin pemilik modal (nasabah pertama) maka bank tidak berhak mendapat bagian keuntungan dan menentukan nisbah bagi hasil karena statusnya hanya sebagai calo perantara atau makelar dana saja. Para ulama menjelaskan bahwa hasil keuntungan dalam akad mudharabah hanya milik pemodal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha maka tidaklah berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil keuntungan (bagi hasil). Para ulama melarang peraktek mudharabah yang dilakukan bank syariah saat ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nawawi yang di kutip dan dibenarkan dalam sejumlah kitab-kitab fikih klasik para ulama salaf: Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil” Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”
2.Bank syariah hakekatnya menjalankan akad utang piutang dan bukan akad mudharabah dalam hubungannya dengan nasabah.
Jika kita cermati lebih mendalam pada status ganda perbankan maka akan kita dapati bahwa yang sesungguhnya dilakukan oleh bank syariah sesungguhnya saat ini merupakan akad utang piutang dan bukan mudharabah, kamuflase pada bentuk akad dan istilah syar’i tidaklah merubah hakekat sebenarnya pada susbtansi akad utang piutang dalam skenario status ganda bank. Berikut ini kita cermati skenario akad utang piutang yang dijalankan oleh bank syariah meskipun mengelabui umat dan melabeli namanya dengan akad mudharabah: Pihak bank yang dalam status pertama sebagai pelaku usaha dan menerima modal dari nasabah pertama (di asumsikan sebagai kreditur) kemudian tidak amanah untuk menjalankan perannya sebagai pelaku usaha sesuai akad mudharabah dimaksud namun bank syariah malah kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada pihak nasabah lain (diasumsikan sebagai debitur) yang hendak berlaku sebagai pelaku usaha, pada kali ini bank memposisikan diri sebagai pemodal yang pada hakekatnya uang modal yang ada pada bank merupakan uang milik nasabah pada akad mudharabah pertama. Jadi subtansi dari skenario status ganda perbankan ini ialah bank berupaya mengalokasikan dana terhimpun dari pihak lain yang dijanjikan akan kembali dananya oleh bank seiring waktu berjalan beserta bagi hasilnya (bunga uang). Hal ini berjalan dari suatu usaha kosong yang pada hakekatnya tidak pernah bank lakukan kecuali hanya menerima dan menyalurkan dana serta mengambil keuntungan atasnya (menyerupai pinjaman bank terhadap uang nasabah pada bank konvensional yang disertai bunga pinjaman). Aliran uang nasabah pertama tadi kemudian di alokasikan oleh bank dalam bentuk penyaluran dana kepada pihak lainnya (bank syariah pada hakekatnya bukan pemilik uang yang sebenarnya), dimana bank kali ini menuntut pengembalian dana seiring waktu berjalan beserta bagi hasilnya (bunga uang) atas modal yang hakekatnya bukan milik bank namun milik nasabah pertama yang berperan sebagai kreditur, dalam kedua proses tadi diisyaratkan adanya keuntungan atasnya, sebagaimana telah kita ketahui bahwa pengambilan keuntungan dari utang piutang adalah riba.
3. Kegiatan usaha bank syariah yang masih memplagiasi pada aturan main pada kegiatan bank konvensional maka akan bermasalah dalam implementasi akad mudharabahnya.
Penjelasan Bank Indonesia dalam Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa “Bank Syariah yang terdiri dari BUS dan BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya.” Jadi pada dasarnya setiap bank baik itu yang masih konvensional maupun bank yang melabeli diri dengan label syari’ah adalah lembaga perantara (intermediary) antara sektor yang kelebihan dana (surplus) dan sektor yang kekurangan dana (minus). Bank menerima simpanan berupa giro, tabungan dan deposito dari pihak kelebihan dana. Dana yang terhimpun lalu disalurkan ke pihak-pihak yang memerlukan dalam bentuk kredit/pinjaman/pembiayaan. Pihak yang kelebihan dana mendapatkan imbalan atas dana yang ditempatkan di bank yaitu berupa bunga/bagi hasil. Pada sisi lain pihak yang minus atau memanfaatkan kredit / pinjaman/pembiayaan dari bank harus membayar imbalan kepada bank berupa bunga/bagi hasil/margin. Biaya operasional dan laba bank diperoleh dari selisih imbalan yang diberikan oleh pihak yang memanfaatkan dana (debitur) dengan imbalan yang diberikan bank kepada nasabah deposan. Maka demikian tampaklah jika fungsi bank syariah sama dengan bank konvensional. Bank syariah menghimpun dana dari masyarakat lalu disalurkan kepada pihak yang membutuhkan (fungsi intermediary), mekanisme fungsi intermediary penghimpunan dana nasabah dan penerapan akad mudharabah dua pihak oleh bank baik pertama terhadap posisi nasabah sebagai investor kemudian melakukan penyaluran pada nasabah lain yang diposisikan sebagai pelaku usaha, maka pada hakekatnya bank hanya melakukan instrumen pendanaan utang piutang kemudian mengambil keuntungan atas transaksi tersebut maka jatuhlah pada riba. Dari sini semakin jelas jika instrumen yang mengacu pada undang-undang perbankan syariah tidak bisa kompatibel dengan akad mudharabah yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
 4. Undang-undang Perbankan syariah tidak mengisyaratkan bank syariah untuk memiliki usaha real dan terjun langsung dalam dunia usaha, maka dengan hal ini sesuatu yang musykil bagi bank syariah dalam menjalankan akad mudharabah pada usaha riil yang hakekatnya memang tidak pernah dimiliki.
Mengacu pada UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 4 ayat 1 dan 2 menyebutkan:
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Sedangkan Pasal 19  UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pada ayat (1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan ayat (2) Kegiatan usaha UUS pada poin a,b, c dan d dengan pernyataan isi poin yang sama yakni meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Maka jelaslah semua jenis produk perbankan syari’ah hanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini menjadikan kita sulit untuk mendapatkan perbedaan antara perbankan syari’ah dan perbankan konvensional
Karena bank syariah hakekatnya tidak mempunyai usaha riil, selain memudharabahkan kembali dana nasabah maka kemungkinan lain dana nasabah pertama disalurkan dalam bisnis pembiayaan bank. Sebagai pihak yang beritikad baik dan berinvestasi dalam usaha yang dikelola bank syariah maka perlu pula bagi kita untuk mengetahui apakah bisnis yang dijalankan oleh bank benar dan sesuai syar’i. Dalam menjalankan produk usaha pembiayaan (bai’al murabahah) maka bank syariah memposisikan diri sebagai penjual barang (skenario ini agar terpenuhinya akad syar’i, bank harus membeli dahulu barang yang akan dijual kepada konsumen) untuk sejumlah barang-barang konsumtif yang dibutuhkan seperti kendaraaan bermotor, rumah dan lainnya sesuai DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI ).
Namun adakah bank syariah yang benar-benar mempraktekan ini, dalam praktek sistem murabahah yang dilakukan bank syariah tidak bersesuaian dengan fatwa DSN seperti contoh kasus proses pembiayaan murabahah di Bank BNI syariah cabang Medan dimana nasabah diharuskan membayar uang muka (urbun) sebesar 20% dari nilai kredit yang diajukan kepada pihak developer terlebih dahulu untuk mengambil KPR dengan angsuran 10 tahun, dengan margin keuntungan sebesar 9,5% (margin biasa ditentukan terlebih dahulu oleh bank sesuai lamanya waktu angsuran). Bahkan pada kasus skema murabahah bank syariah lainnya kondisi rumah KPR tersebut saat akad belum selesai dibangun oleh developer. Dari kasus-kasus tersebut terdapat kritikan buat bank syariah yakni bank memberikan piutang buktinya nasabah membayarkan urbun ke developer dan bukan kepada bank maka ini tidak tepat dikatakan hubungan jual beli antara bank dengan konsumen, jika pun diasumsikan bahwa bank melakukan aktifitas penjualan maka bank menjual sesuatu yang sepenuhnya belum diserah terimakan kepadanya, demikian pula dengan kasus akad KPR pada skema murabahah yang diadakan sebelum rumah selesai dibangun oleh developer, maka sejumlah larangan hadist yang dilanggar bank syariah dalam kasus tersebut:
1). Dari Hakim bin Hizam, “Beliau berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?’ Kemudian, Nabi bersabda, ‘Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.’” (HR. Abu Daud, no. 3505; dinilai sahih oleh Al-Albani)
2). Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3). Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya hingga menyempurnakannya dan selesai menerimanya.” (HR. Muslim)
4). Ibnu ‘Umar mengatakan, “Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim)
5). Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,  “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)
Dari hadits-hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
1) . Terlarangnya menjual barang yang belum  selesai diserahterimakan.
2). Larangan menjual barang yang belum selesai diserahterimakan ini berlaku bagi bahan makanan dan barang lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.
3). Barang yang sudah dibeli harus berpindah tempat terlebih dahulu sebelum dijual kembali kepada pihak lain.
Secara garis besarnya praktek akad pembiayaan murabahah baik untuk pembiayaan renovasi rumah, pembelian kendaraan bermotor, pembelian rumah KPR, pengadaan modal kerja maupun pengadaan barang lain pada umumnya berjalan dengan skema bank (Ba`i al-Murabahah) membelikan terlebih dahulu barang tersebut dari supplier kemudian penjual (ba’i) menjual barang tersebut pada konsumen ( musytari) melalui akad murabahah dengan harga sebesar harga pokok ditambah keuntungan yang telah disepakati antara ba’i dan musytari;
Secara teknis urutan kronologis proses berjalannya akad bermula dengan kejadian sebagai berikut:
(1) calon musytari membutuhkan barang namun tidak/belum mempunyai dana tunai kemudian mengajukan pembiayaan murabahah pada bank syariah, setelah musytari memenuhi persyaratan pengajuan permohonan, terjadi negosiasi margin antara musytari dengan ba’i; (2) setelah proses negosiasi dan terjadi kesepakatan bersama maka terjadi akad murabahah; (3) ba’i membeli barang sesuai yang diinginkan oleh musytari sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dalam akad murabahah; (4) ketika terjadi akad maka kepemilikan barang langsung berpindah dari ba’i kepada musytari; (5) penyerahan atau pengiriman barang dari supplier kepada musytari, dalam hal ini tidak perlu harus melalui ba’i tetapi langsung kepada musytari kecuali diperjanjikan lain; (6) pihak musytari telah menerima barang dan sesuai dengan yang telah disepakati; (7) musytari akan membayar/mengembalikan dana berupa harga pokok ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati baik secara sekaligus saat jatuh tempo maupun secara angsuran. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peran bank selaku ba’i dalam pembiayaan murabahah lebih tepat digambarkan sebagai pembiaya dan bukan penjual barang, karena bank tidak memegang barang, tidak pula mengambil risiko atasnya. Kerja bank (ba’i) hampir semuanya hanya terkait dengan penanganan dokumen-dokumen. Kontrak murabahah umumnya ditanda-tangani sebelum ba’i mendapatkan barang yang dipesan oleh musytari, dalam kontrak tersebut musytari lah yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan pengiriman barang, rasio laba, dan spesifikasi yang benar. Musytari sendirilah yang menanggung semua tanggungjawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan dari pelanggaran hukum tersebut. Ba’i tidak berkeinginan memikul tanggungjawab yang terkait dengan barang, karena itu segala risiko yang terkait dengannya yang secara teoritis harus ditanggung ba’i, secara efektif telah terhindarkan. Musytari menyelesaikan kerugian tersebut bukan dengan ba’i akan tetapi dengan pihak supplier. Dari proses ini merupakan keniscayaan penyimpangan yang dilakukan oleh bank syariah terhadap fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah dan tentu saja juga terhadap ketentuan syariat seperti sebelum mengadakan barang dimaksud bank telah membuat kesepakatan jual beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah seperti melemparkan konswekensi resiko jual beli kepada konsumen, dengan demikian bank menjual barang yang belum dimiliki, serah terima barang dari supplier belum sempurna terhadap bank namun bank sudah menjualnya bahkan adakalanya barang langsung dikirim ke konsumen (musytari) baik pada fisik barang maupun berkas dokumen yang seolah menyebutkan proses kepemilikan beralih langsung dari supplier ke musytari, ini pun menyalahi ketentuan hadist tersebut diatas seputar transaksi jual beli, penyimpangan syariah dalam proses serah terima ini akan terus berlangsung selama bank tidak memiliki gudang sendiri buat barang-barang yang akan dijualnya, bahkan lebih aneh lagi dalam proses pembiayaan renovasi rumah dimana pihak bank memberikan dana yang kemudian dengan sebuah surat kuasa dari ba’i (bank), konsumen (musytari) diberi amanah untuk membeli bahan-bahan bangunan yang dibutuhkannya kemudian musytari menunjukan bukti pembelian berupa nota ataupun faktur, kejadian ini makin menjelaskan posis bank dengan konsumen lebih kepada pembiaya dan bukan hubungan penjual kepada pembeli.
Dalam konsep pembiayaan murabahah secara syar’i bank memposisikan sebagai penjual dan bukan pemberi piutang, namun tidak lazimnya dalam sebuah perusahaan yang memiliki aktifitas jual beli dengan segenap stok dan mutasi persediannya, bank syari’ah
tidak memiliki dan mengakui mempunyai stok dalam laporan keuangannya sebagaimana terdapat pada laporan keuangan bank maumalat dan bank syariah mandiri berikut ini :

5. Bank tidak siap menanggung kerugian
Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi, praktek bank syariah perlu ditinjau ulang. Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI). Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Para ulama dari berbagai madzah telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil. Dalam ilmu fikih bila suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka akad persyaratan tersebut tidak sah sehingga masing-masing harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya atau akad tetap dilanjutkan dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
6. Nasabah Tidak siap menanggung kerugian
Ketidakpahaman atau kebodohan terhadap ilmu syar’i serta mengikuti hawa nafsu mengejar keuntungan bisa jadi masih merupakan domain tersendiri pada kelompok nasabah bank syariah,  berbekal uang yang akan disetorkan ke bank dapat kita lakukan uji mentalitas, apakah benar berkehendak sesungguhnya sebagai pemodal dalam konsep mudharabah ataukah pemberi piutang kepada bank. Perhatikan bagaimana sikap mental nasabah jika operator bank syariah menyatakan usaha yang dikelola bank merugi sehingga dana nasabah yang disetorkan berkurang atau bahkan hangus tak bersisa. Maka bisa hampir bisa dipastikan umumnya nasabah akan dengan tegas menolak keadaan tersebut dan menginginkan dana yang pernah disetor itu harus aman bila tidak ada bagi hasil maka setidaknya kembali utuh seperti semula. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa sebenarnya mereka adalah pemberi piutang kepada bank syariah, bukan pemodal. Maka keutungan yang mereka peroleh dari bank dan sebelumnya telah disepakati adalah riba.
7. Semua nasabah mendapatkan bagi hasil
Bank syariah mencampur adukan seluruh dana yang masuk kepadanya tanpa dipilah mana yang sudah disalurkan ke usaha bank maupun yang masih beku belum tersalur dibank. Namun demikian pada setiap akhir bulan seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Karena pertimbangan bank dalam membagi keuntungan adalah total modal bukan keuntungan yang diperoleh dari dana masing-masing nasabah. Pembagian keuntungan tersebut menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar islami. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelaslah akan merugikan nasabah yang dananya telah tersalurkan. Dalam konteks ini menjadi fakta perbankan syariah sebagaimana dilansir dalam majalah modal bahwa telah terjadi over likuiditas dimana bank syariah kebanjiran dana nasabah sebesar 6,62 triliun sementara yang berhasil digulirkan hanya 5,86 triliun sehingga tidak mampu menyalurkannya sisanya yang kemudian di simpan di Bank Indonesia dalam sertifikat Wadiah.
8. Metode bagi hasil yang berbelit-belit
Metode hitung dan contoh kasus diambil dari buku Muhammad Arifin Badri (2010: 173-175). Berikut metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syari’ah di Indonesia:
E=Pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari   nasabah
Maka jelaslah diketahui dalam perhitungan skema diatas adalah total modal (dana) nasabah. Jika kita bandingkan  dengan metode perhitungan hasil mudharabah yang benar-benar syar’i dengan rumus hitung nya:
Bagi hasil nasabah=keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank
Perbedaan antara dua metode tersebut bisa diketahui dari contoh kasus berikut. Pak ahmad menginventasikan modal sebesar Rp 100.000.000, dengan perjanjian 50% untuk pemodal dan 50% untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank berjumlah Rp 10.000.000.000 (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1% dari keseluruhan dana yang dikelola bank. Pada akhir bulan bank berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank setelah melalui perhitungan yang berbelit belit menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp 1000 adalah Rp 11,61. Bila menggunakan metode perbankan syariah maka hasilnya:
100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp 580.500
     1000                    100
Pak Ahmad hanya mendapat Rp 580.500, sedangkan jika menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya maka hasilnya sebagai berikut:
100.000.000 x 50 x . 1 . = Rp 5.000.000
      100                  100
Dengan metode perhitungan mudharabah yang benar Pak Ahmad mendapatkan bagi hasil yang lebih menguntungkan.
9. Bagi hasil yang tidak riil
Menurut sumber Bank Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa keuntungan perbankan syariah dihitung menggunakan performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return investasi, historis (track record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan ke sektor riil. Estimasi maupun prakiraan dan prediksi yang dijadikan dasar perhitungan keuntungan bukan dari usaha riil memiliki keserupaan dengan perhitungan bunga bank atas modal yang jauh-jauh hari bisa diketahui kisaran pasti besaran nilainya.
10. Dana Nasabah perbankan syariah pasti aman meski bank merugi
Menurut sumber Bank Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa dana nasabah yang disimpan di bank syariah tidak akan berkurang atau hilang meskipun investasi yang dilakukan bank syariah mengalami kerugian. Di samping itu, Tabungan iB (Islamic Banking) dengan skema titipan maupun investasi juga dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai dengan Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tabungan iB, baik dengan skema titipan maupun skema investasi termasuk yang dijamin oleh LPS hingga nilai maksimal Rp 2 miliar. Menjadi jelaslah bahwa akad mudharabah yang diperaktekan bank syariah merupakan sekedar pelabelan tanpa makna, jika dana nasabah pasti aman tak akan merugi sementara jika laba pasti juga terbagi maka apa yang membedakannya dengan riba (bunga uang) pada bank konvensional.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data, tinjauan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Undang-undang perbankan syariah masih  memplagiasi kepada aturan perundang-undangan perbankan konvensional.
  2. Status ganda bank dengan mudharabah dua pihak dalam mengakomodir peraturan undang-undang perbankan syariah yang saat ini diterapkan tidak sesuai dengan fikih mudharabah yang dikenal para ulama.
  3. Bank syariah dan nasabah sama-sama tidak siap menanggung kerugian maka sesuatu yang musykil dalam menjalani sunatullah menjalankan usaha yang bisa untung dan rugi.
  4. Selama Perbankan syariah tidak terjun langsung dalam dunia usaha dan hanya mencukupkan diri sebagai penyalur dana nasabah maka tidak akan pernah terhindar dari riba.
  5. Semua nasabah pasti mendapat bagi hasil, jaminan uang nasabah tidak akan mengalami kerugian dan perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit tidak sesuai akad mudharabah murni yang diajarkan islam
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, saran yang dapat diberikan adalah:
  1. Diperlukan Political will dari pemerintah untuk merivisi undang-undang perbankan syariah
  2. Pemilahan Nasabah berdasarkan tujuan masing-masing baik yang sekedar mengamankan hartanya bank syariah bisa menerapkan akad utang piutang tanpa bunga dan nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan investasi melalui perbankan.
  3. Perbankan syariah langsung terjun ke sektor riil serta memiliki berbagai unit usaha yang nyata dan menguntungkan, maka dengan ini pula bank akan membuka lowongan kerja baru untuk melengkapi potensi sumber daya manusia bagi bisnis bank
  4. Perbankan menerapkan mudharabah sepihak dengan menerima investasi untuk kemudian membiayai unit usaha riil bank dan tidak menyalurkan lagi ke nasabah dengan skema mudharabah kedua.
  5. Memilah pos-pos investasi dari setiap pos-pos investasi para nasabah, masing-masing pos berbeda dari pos-pos lain dalam segenap operasional dan pembukuannya.
  6. Melakukan edukasi yang sistematis dan kontinyu terhadap bahaya riba dan menanamkan spirit muamalah islami baik terhadap masyarakat maupun pihak yang ingin bekerja pada institusi  keuangan islami


Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu