Kamis, 11 April 2013

Hukum Syariah Seputar Leasing Atau Sewa Beli



Pengertian Leasing

Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Leasing ini ada dua katagori global, yaitu operating lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengan konsep ijarah di dalam syariah Islam yang secara hukum Islam diperbolehkan dan tidak ada masalah.


Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli. Leasing dalam tulisan ini dikhususkan pada pembahasan financial leasing atau sewa-beli ini.

Terdapat ciri-ciri dalam mengenal financial lease, yaitu :
a. Objek leasing tetap menjadi milik lessor sampai dilakukannya hak opsi
b. Barang modal bisa dalam bentuk benda bergerak ataupun tidak bergerak
c. Masa sewa barang modal sama dengan umur ekonomis barang tersebut
d. Lessor tidak bisa mengakhiri kontak secara sepihak
e. Risiko ekonomis yang terjadi ditanggung oleh pihak lesee
f. Full pay out dan juga transaksi keuangan
g. Disertai dengan hak opsi beli yang sesuai dengan nilai sisa dari barang yang disewagunausahakan
h. Lessor tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal
Dan ada beberapa transaksi yang dimiliki oleh financial lease, antara lain :
1. Direct financial lease : merupakan suatu transaksi leasing dimana pihak lessor membeli barang atas permintaan pihak lease dan sekaligus melakukan sewa guna usaha barang tersebut kepada lease yang bersangkutan
2. Sale and lease back : pihak lessee sengaja menjual barang modalnya kepada pihak lessor untuk kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha barang tersebut antara lessor dengan lessee dimana lessee adalah pihak yang menjual barang selama masa leasing tersebut
3. Leveraged lease : merupakan salah satu tekhnik pembiayaan dalam financing lease yang digunakan oleh pihak lessor
4. Syndicated lease : merupakan pembiayaan leasing yang dilakukan oleh lebih dari satu lessor atas suatu objek leasing
5. Cross border lease : merupakan transaksi leasing yang dilakukan diluar batas negara yaitu adanya perbedaan negara dimana lessor berada dengan negara dimna lease berada
Dalam operating lease terdapat perjanjian antara pihak lessee dengan pihak lessor, yaitu :
1. Lessor sebagai pemilik objek leasing menyerahkan pada pihak lessee untuk digunakan dalam jangka waktu yang relative pendek
2. Lessee membayar biaya sewa secara berskala kepada lessor yang jumlahnya tidak meliputi jumlah keseluruhan biaya perolehan barang tersebut
3. Lessor menanggung segala risiko ekonomis dan juga pemeliharaan atas barang tersebut
4. Pada akhir kontrak, lessee mengembalikan objek lease pada lessor (Siamat, 2004)
Setelah kita banyak menyimak penjelasan diatas, maka dapat kita ambil 4 pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing ini, diantaranya adalah :
1. Lessor, adalah perusahaan sewa guna usaha atau pihak yang memilki hak kepemilikan atas barang. Pihak lessor bertujuan mendapatkan keuntungan dalam transaksi operating lease maupun financial lease, akan tetapi dalam financial lease, lessor mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka penyedian barang modal ditambah keuntungan.
2. Lessee, adalah perusahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir mas perjanjian leasing. Dalam financial lease lessee bertujuan untuk mendapatkan pembiayaan berupa barang yang pembayarannya dilakukan berskala. Di masa akhir kontrak, lessee membeli barang yang di sewa gunausahakan. Sementara dalam operating lease lessee dapat memenuhi kebutuhan peralatannya disamping adanya perawatan tanpa adnya resiko bagi lessee terhadap kerusakan
3. Supplier, yaitu penjual barang yang disewagunausahakan. Dalam financial lease, supplier langsung menyerahkan barang kepada lessee. Sedangkan dalam operating lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor dengan pembayaran sesuai dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
4. Bank, memegang peranan penting dalam hal penyedian dana kepada pihak lessor, terutama dalam hal mekanisme leverage lease dimana dalam mekanisme tersebut sumber dana pembiyaan lessor diperoleh melalui kredit dari pihak bank.
Beberapa Persoalan dalam Sewa-Beli
Merujuk pada kenyataan di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentuk muamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai di sini terdapat minimal dua persoalan yang memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli, serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah.
Pertama, perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara sewa dengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu manfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hak milik pihak pemberi sewa.
Hal ini berbeda sekali dengan jual beli. Secara syar’iy, jual-beli (al bai’) merupakan mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan ‘ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi. Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada jual-beli.
Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang, sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan barang tersebut selama masa penyewaan. Sedangkan akad jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual ke pembeli dan dari pembeli ke penjual.
Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu aktivitas muamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu proses akad tertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang larangan Rasulullah SAW.
Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua akad berbeda dalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya, seseorang menyatakan ‘Saya menjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda yang di Puncak pada saya’, ‘Saya menjual perusahaan ini pada Anda dengan catatan Anda menikahkan putri Anda kepada saya’, atau ‘Saya menjual barang ini dengan harga 10 juta rupiah pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.’ Di dalam muamalah tadi terdapat dua akad sekaligus, menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembeli rumahnya dalam satu akad, menjual perusahaan sekaligus menikahi putri pembeli perusahaannya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akad tertentu. Semua ini bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi.
Berdasarkan hal ini nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secara umum dikenal dengan istilah ‘leasing’ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu proses muamalah tertentu. Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah SAW. Padahal, dalam syariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai batas akhir waktu penyewaan. Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai jual beli. Andaikan jual-beli itu dilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utang pembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat dialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkan pemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa. Terlebih-lebih bila pihak pembeli merasa mencicil barang dengan harga ‘pembelian’. Di tegah jalan, karena sesuatu hal, ia tidak mampu melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk dimilikinya pada akhir cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa saja. Padahal, tentu saja, harga sewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan harga beli dengan cicilan.
Satu hal lagi, persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itu melibatkan riba (bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).
Alternatif
Allah SWT telah menurunkan aturan yang memenuhi rasa keadilan manusia. Kaitannya dengan jual-beli dengan kredit, syariat Islam telah menggariskan apa yang disebut dengan Bai’ Bitsaman Ajil (BBA). Bai’ Bitsaman Ajil merupakan suatu proses perjanjian jual untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkan barang seketika, sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama. Secara ringkas, penjual dan pembeli menyepakati total harga barang tersebut, lama waktu pembayarannya, dan pembayaran tiap bulannya tanpa disertai bunga. Sejak terjadi transaksi, barang tersebut resmi menjadi milik pembeli, hanya saja ia menanggung hutang seharga barang tersebut kepada pihak penjual. Untuk berjaga-jaga, dapat ditentukan adanya barang jaminan, termasuk barang yang diperjualbelikan tersebut. Bila pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya dalam waktu yang disepakati tidak dilakukan penentuan harga ulang (repricing) ataupun pemberian sanksi. Salah satu jalan yang ditempuh adalah barang tadi (bila sebagai jaminan) dijual. Hasilnya, sebagian digunakan untuk melunasi sisa hutangnya dan, bila ada, sisanya diberikan kepada pihak pembeli.
BBA sebenarnya merupakan salah satu bentuk jual-beli dengan cicilan/kredit (Al Bai’ bid Dain wa bit Tqsith). Jual beli dengan hutang ini dibenarkan secara syar’iy.
Beberapa aturan Allah SWT menegaskan hal ini, diantaranya :
1. Firman Allah SWT : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275). Dalam ayat ini kata Al Bai’ bersifat umum. Artinya semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash yang menjelaskan keharamannya.
2. Imam Bukhari, Muslim, dan Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan.
Jadi, ringkasnya, muamalah ada beberapa hal dalam leasing yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, perlu ada muamalah alternatif yang manfaat dan kegunaannya sama, serta legal menurut syari’at Islam. Alternatif dimaksud adalah al bai’ bid dain (jual-beli dengan hutang) yang salah satu turunannya adalah bai’ bitsaman ajil.


Referensi
http://sewabeli.info/hukum-syariah-seputar-leasing-atau-sewa-beli

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Daftar Menu