DANA TALANGAN HAJI, PROBLEM DAN HUKUMNYA
Oleh : Mahasiswa Pendidikan Ulama’
Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta
`1(Sebagai makalah tamu pada seminar
nasional yang diadakan oleh Pimpinan Pusat muhammadiyah Yogakarta bekerjasama
dengan Mentri agama)
I.
PENDAHULUAN
Ibadah Haji adalah perjalanan rohani
menuju rahmat dan karunia Allah swt, ia merupakan salah satu dari kelima pilar
penyangga tegaknya agama islam di muka bumi yang disyariatkan oleh Allah swt
kepada hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus tetap menjaga supaya
ibadah haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi islam, bukan
sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun, syarat, dan
ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna dari Rukun
Islam. Bahkan as-Sayyid as-Sabiq mengatakan sekiranya ada orang yang
mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari agama
Islam (as-Sabiq: 2001: 460)
Allah swt telah berfirman dalam
Surat al-Baqarah ayat 196 :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ
حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى
مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan
‘umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena
sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
(Q.S. Al Baqarah (2): 196
Atas dasar inilah orang-orang Muslim
berusaha untuk menunaikan ibadah haji guna menyempurnakan rukun Islam yang
kelima. Ibadah haji termasuk ibadah yang membutuhkan biaya relatif tinggi,
setidaknya untuk muslim Indonesia. Kurang lebih untuk saat ini harta senilai
tiga puluh juta harus dipersiapkan untuk pembiayaan ibadah haji. Dana yang
sebesar itu tentu bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga tidak semua orang bisa
melaksanakannya, hanya orang-orang tertentu yang sudah dikatakan berkemampuan,
ironisnya pula bagi sebagian masyarakat di Indonesia masih ada anggapan bahwa
berhaji akan menaikan status sosial seseorang. Faktor-faktor ini mendorong
tingginya animo masyarakat untuk berusaha melaksanakan ibadah haji dalam
keadaan dan kondisi apapun tanpa melihat lagi beberapa pertimbangan yang
menjadi syarat wajib dan sahnya haji.
Dalam pada itu, perkembangan zaman
yang menjalar ke seluruh lini kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perbankan
syari’ah, membawa kemajuan yang sangat signifikan. Sehingga menuntut para
ekonom syari’ah untuk terus berpikir kreatif dan inovatif dalam merespon
kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Salah satu inovasi dunia perbankan
syariah baru-baru ini adalah mengeluarkan produk pembiayaan talangan haji yang
bagi sebagian besar orang merupakan terobosan positif yang menawarkan kemudahan
untuk membantu masyarakat muslim mewujudkan cita-cita mulianya dalam
menegakkan salah satu pilar islam, yaitu ibadah haji. Dalam perkembangannya,
masyarakat selama ini antusias dengan datangnya produk ini, bahkan secara
nasional produk ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Pembiayaan talangan haji sebagai hasil
dari pemikiran dan peradaban manusia tentu perlu kita kaji dengan seksama untuk
kemudian kita sebagai umat Islam bisa menentukan sikap terhadap keberadaan dana
talangan haji.
Untuk dapat menyikapi dan menentukan
pilihan mengenai permasalahan tersebut, kami akan memaparkan secara singkat
mengenai dana talangan haji, baik secara teoritis maupun secara praktis.
II.
PENGERTIAN DAN KEWAJIBAN HAJI
Secara lughawi, haji berarti
menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Kata haji mempunyai arti qashd
yaitu tujuan, maksud dan menyengaja. Sedangkan menurut istilah syara’, haji
ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan
amalan-amalan ibadah tertentu pada waktu tertentu ( az-Zuhaily: 2006: 2064).
Secara rinci as-Sayyid as-Sabiq mendefinisikan haji adalah menuju
ke Makkah untuk melaksanakan ibadah thawaf, sa’i, wukuf di arafah dan semua
manasik haji guna mengharapkan ridha Allah swt. (as-Sabiq: 2001:II: 460).
Wajibnya ibadah haji merupakan
perkara yang benar-benar telah diketahui dalam agama Islam (المعلوم من الدين بالضرورة) (Âlu Bassâm, 2002: II: 409) dan merupakan
salah satu dari rukun Islam yang lima (ash-Shanâniy, 2006: 189). Jika ada
diantara umat Islam yang mengingkari wajibnya haji, maka ia dihukumi murtad
dari agama Islam (as-Sayyid as-Sâbiq, 2001: 460).
Ibadah haji telah absah berdasarkan
al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ umat Islam (Âlu Bassâm, 2002: 409).
Masing-masing dalil tersebut adalah sebagai berikut.
1)
al-Qur’an
“Sesungguhnya rumah (ibadah)
pertama yang dibangun untuk manusia,
ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh
alam. Di sana terdapat
tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrâhim. Barang
siapa memasukinya (Baitullah)
amanlah dia. Dan (diantara) kewajiban
manusia terhadap Allah melaksanakan
ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi
orang-orang yang mampu mengadakan
perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari
(kewajiban) haji, maka ketahuilah banwa Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (Âli Imrân (3): 96-97)
Menurut Jumhur Ulama, inilah ayat
yang menunjukkan wajibnya haji (Ibnu Katsír, 2008: 348).
2)
as-Sunnah
إرواء
الغليل (3/ 248)
كتاب الزكاة
781 – حديث ” بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
وإقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت ) متفق عليه
“Islam dibangun atas lima
perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan berhaji ke
baitullah”. (H.R. Muttafaq ‘Alaih).
وعن
أبي هريرة قال خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا أيها الناس إن الله قد فرض
عليكم الحج فحجوا فقال رجل أكل عام يارسول الله فسكت حتى قالها ثلاثا فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لو قلت نعم لوجبت ولما استطعتم ثم قال ذروني ما تركتم رواه أحمد
ومسلم والنسائي
Dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah saw berkhutbah kepada kami, lalu ia bersabda”: “Wahai umat manusia,
sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah”. Lalu ada
seorang laki-laki yang bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah ?”
Rasul diam (belum menjawab) hingga laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya
sebanyak tiga kali. Setelah itu Rasulullah menjawab: “sekiranya aku berkata
‘ya’ maka ia akan diwajibkan (setiap tahun) dan kalian pasti tidak mampu
(melaksanakannya)”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ambillah apa yang aku
tinggalkan kepada kalian”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim,
dan an-Nasâi dan dishahihkan oleh al-Albâniy).
Dalam riwayat lain dikatakan
صحيح
وضعيف سنن النسائي (1/ 55)
( سنن النسائي
)
أخبرنا
محمد بن يحيى بن عبد الله النيسابوري قال حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أنبأنا موسى بن
سلمة قال حدثني عبد الجليل بن حميد عن ابن شهاب عن أبي سنان الدؤلي عن ابن عباس أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قام فقال إن الله تعالى كتب عليكم الحج فقال الأقرع بن
حابس التميمي كل عام يا رسول الله فسكت فقال لو قلت نعم لوجبت ثم إذا لا تسمعون ولا
تطيعون ولكنه حجة واحدة .
تحقيق
الألباني :
صحيح
، الإرواء ( 149 – 150 ) ، صحيح أبي داود ( 1514 )
Dalil-dalil di atas secara jelas
menggambarkan wajibnya ibadah haji dan secara pasti telah menjadi kesepakatan
umat Islam (Âlu Bassâm, 2008: 631)
Ibadah haji hanya diwajibkan sekali
seumur hidup. Hal ini telah disepakati, sebagaimana yang dikatakan oleh imam
an-Nawawiy, al-Hâfidz, dan ulama lainnya (asy-Syaukâniy, 1973: 3). Ini
merupakan pendapat Jumhur Ulama. Mereka beralasan bahwa di dalam ayat tersebut
(Âli Imrân (3): 97) tidak terdapat qarínah yang menunjukkan perintah
untuk melakukan haji berkali-kali (tikrâr) (ash-Shâbuniy, 2007: 296).
Selain itu, secara eksplisit, kedua hadits di atas menunjukkan haji hanya
diwajibkan sekali. Kaidah ushul fikih mengatakan :
لأن
الأصل في الأمر للوجوب, فإن أريد به الندب أوالإباحة فلا بد من قرينة تدل على ذلك…
… Karena hukum pokok dari
perintah adalah wajib. Jika yang dimaksud dari perintah tersebut adalah anjuran
(an-nadb) atau kebolehan (al-ibâhah), maka harus ada qarínah yang menunjukkan
pada hal tersebut (Ibnu Najâr, 1997: 19).
III.
SEPUTAR DANA TALANGAN HAJI
A. PENGERTIAN
Sebelum kita melangkah pada analisis
dan pengambilan hukum, maka sebaiknya kita mengetahui dana talangan haji itu
sendiri. Sebagaimana yang ditulis dalam website bank Syariah Mandiri, bahwa
Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (Qardh) dari bank Syariah
kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat)
haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini
dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib
mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas
jasa peminjaman dana talangan ini, bank Syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah)
yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
B. DASAR
HUKUM.
Pihak perbankan mendasarkan produk
ini kepada fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor No.
29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang pembiayaan pengurusan
haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah). Di dalam fatwa tersebut
DSN MUI mengemukakan dalil-dalil umum mengenai kebolehan akad al-qardh
dan al-ijārah sebagai akad yang menjadi komponen produk ini.
Serta menyertakan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
- Dalam pengurusan haji bagi
nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
9/DSN-MUI/IV/2000.
- Apabila diperlukan, LKS dapat
membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan
prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
19/DSN-MUI/IV/2001.
- Jasa pengurusan haji yang
dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
- Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak
boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan
LKS kepada nasabah (FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 29/DSN-MUI/VI/2002
Tentang PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH)
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai
prinsip dan ketentuan akad al-qard dan al-Ijarah :
- Prinsip al-Qard
Ketentuan Umum al-Qardh
- Al-Qardh adalah pinjaman yang
diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
- Nasabah al-Qardh wajib
mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati
bersama.
- Biaya administrasi dibebankan
kepada nasabah (FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 19/DSN-MUI/IV/2001
Tentang AL-QARDH)
- Prinsip Ijarah
- Rukun dan Syarat Ijarah:
1)
Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2)
Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
3)
Obyek akad ijarah adalah :
- manfaat barang dan sewa; atau
- manfaat jasa dan upah.
2)
Ketentuan Obyek Ijarah:
- Obyek ijarah adalah manfaat
dari penggunaan barang dan/atau jasa.
- Manfaat barang atau jasa harus
bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
- Manfaat barang atau jasa harus
yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
- Kesanggupan memenuhi manfaat
harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
- Manfaat harus dikenali secara
spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang
akan mengakibatkan sengketa.
- Spesifikasi manfaat harus
dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
- Sewa atau upah adalah sesuatu
yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat.
Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan
sewa atau upah dalam ijarah.
- Pembayaran sewa atau upah boleh
berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
- Kelenturan (flexibility) dalam
menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan
jarak.
3)
Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :
- Kewajiban LKS sebagai pemberi
manfaat barang atau jasa:
a)
Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b)
Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c)
Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
- Kewajiban nasabah sebagai
penerima manfaat barang atau jasa:
a)
Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang
serta menggunakannya sesuai kontrak.
b)
Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c)
Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang
dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam
menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut (FATWA DSN MUI
No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN IJARAH)
C. AKAD AL-QARD DAN
IJARA
1.
AL-QARD
Al-Qardh
secara etimologis merupakan bentuk masdar dari قرض الشئ
– يقرضه, yang berarti qata’a memutus. Dengan demikian al-qardh
adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. (al-Bahuti : tt :
298) As-Sayyid as-Sabiq mendefinisikan al-qardh sebagai berikut :
القرض هو المال الذي يعطيه المقرض للمقترض
ليرد مثله إليه عند قدرته إليه
“Harta yang diberikan seseorang
pemberi hutang kepada orang yang dihutangi untuk kemudian dia memberikan
yang semisal/sepadan setelah mampu”. (as-Sabiq : tt : XII : 166).
Pada perkembangannya. Para Ulama’
memberikan defenisi al-Qardh dengan defenisi yang berbeda :
Ulama Hanafi menjelaskan bahwa
al-Qardh adalah harta al-misliyat[1] yang dipinjamkan dan kemudian dikembalikan dengan
barang yang serupa. Sehingga dalam al-Qardh ini disyaratkan harta tersebut
berjenis misliyat, dimana harta tersebut tidak memiliki perbedaan dalam hal
nilainya (Ali Fikri: tt: 344)
Imam Malik juga memberikan
defenisi yang hampir sama, yaitu pembayaran seseorang kepada orang lain dengan
benda yang sama dengan harta yang diambilnya dengan ketentuan tidak boleh
adanya tambahan (bunga) pada bayaran asal dan harta yang menjadi bayaran tidak
boleh berbeda dalam hal nilainya.
Imam Syafi’i mendasari pengertian
al-Qardh dengan firman Allah swt
Artinya : Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (al-Baqarah: 245)
Berdasarkan ayat diatas, imam
syafi’i memberikan kriteria, bahwa al-Qardh disini adalah pinjaman yang baik,
sama dengan as-Salf[2], yaitu kepemilikan terhadap suatu benda sebagai pinjaman untuk
kemudian dikembalikan dengan semisal harta tersebut berdasarkan kebiasaan pada
masa itu[3] (Ali Fikri: tt: 345)
Imam Ahmad bin Hambal menerangkan
bahwa. Al-Qardh merupakan salah satu jenis pinjaman yang tidak ada bunga
didalamnya dalam rangka membantu orang yang meminjam untuk mengambil manfaat
dari barang yang ia pinjam (Ali Fikri: tt: 346)
Dari definisi di atas,
jelaslah bahwa akad qardh merupakan bentuk muamalah bercorak ta’awun
(tolong menolong) semata, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pihak lain
yang kekurangan. Jadi tidak ada imbalan tertentu yang dipersyaratkan.
2. DASAR
HUKUM QARDH
a). al-Quran
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“siapakah
yang mau member pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di
jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak.” (surat al-baqarah : 245)
b). hadits
Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang
bersumber dari ibnu masud radhiyallahu ‘anh dari nabi s.a.w., beliau bersabda :
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا
كان كصدقتها مرة
“tidakkah seorang muslim memberi
pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali melainkan pinjaman itu
(berkedudukan) seperti sedekah satu kali.” (riwayat ibnu majah) Dan masih
banyak lagi dalil serupa, baik dari al-quran maupun hadits.
3.
HUKUM QARDH
Hukum qardh mengikuti hukum taklifi
; terkadang boleh terkadang makruh, wajib dan haram semua itu
sesuai dengan cara mempraktekkannya karena hukum wasilah itu meliputi hukum
tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah
orang yang mendesak sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang kaya
itu wajib memberi hutang. Jika pemberi hutang mengetahui bahwa yang menghutang
akan berbuat maksiat dengan barang yang dihutangi, maka haram bagi si pemberi
hutang untuk memberikan hutang dan lain sebagainya berdasarkan
kondisi-kondisi yang bisa merubah hukumnya. (Ath-Thayyar : 2009 : 157).
Ada dua hal yang perlu diketahui
menyangkut hukum al-qard dalam konteks pembahasan dana talangan haji
yaitu syarat tempo dan tambahan dalam qard. Untuk yang pertama pendapat
yang shahih menyatakan kebolehan persyaratan tempo. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Malik, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, al-Utsaimin dan Shalih Fauzan
(Ath-Thayyar, 2009 : 165-166).
Menyangkut tambahan dalam qard, maka
tergantung apakah penambahan tersebut dipersyaratkan atau tidak. Jika
penambahan tersebut disyaratkan, maka berdasarkan ijma ulama hukumnya
haram karena adanya riba terselubung. Praktek memberikan hutang untuk
mendapatkan manfaat juga termasuk yang diharamkan. Pengharaman ini berdasarkan
sabda Rasulullah saw:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حَمْزَةَ ، أَنْبَأَنَا
سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ ، عَنْ عِمَارَةَ الْهَمْدَانِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا
، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
فَهُوَ رِبًا
Artinya : Telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin Hamzah, telah mencertiakan kepada kami Syawar bin Mus’ab
dari Imarah al-Hamdaniy, dia berkata : aku mendengar Ali ra berkata, Rasulullah
saw bersabda : setiap qard yang menarik manfaat adalah riba. (HR.
Baihaqi, Thabrani)
Jenis penambahan yang kedua adalah
penambahan yang diberikan ketika pembayaran dan tidak dipersyaratkan. Tambahan
seperti ini tidaklah diharamkan dan bahkan temasuk perbuatan yang baik
berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim (Ath-Thayyar : 2009 : 169).
4.
RUKUN DAN SYARAT
Dalam aqad Qardh ini, terdapat
ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat:
- Syarat aqidain (orang
yang memberi pinjaman dan yang dipinjami), yaitu kedua belah pihak adalah
orang yang mampu mentasarufkan hartanya sendiri secara mutlak dan
bertanggung jawab atau dengan istilah ahliyatul at-Tabarru. Juga
kedua belah pihak melakukannya karena terpaksa
- Syarat muqtarad (barang
yang menjadi objek Qardh) adalah harus barang yang bermanfaat dan dapat
dipergunakan.
- Syarat shighat, ijab qabul menunjukkan
kesepakatan kedua belah pihak, dan Qardh tidak boleh mendatangkan manfaat
bagi muqridh (yang meminjami). Demikian juga shighat tidak mensyaratkan
Qardh bagi aqad lain (multi aqad) (Affandi : 2009 : 183)
5. AL-IJARAH
Al-Ijarah adalah bentuk musytaq
(derivasi) dari al-ajru yaitu al-‘audu (pengganti). Secara istilah adalah akad
pengambilan manfaat dengan menggganti (as-Sabiq : tt : 144)
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa
al-Ijarah adalah aqad yang berakibat pemindahan kepemilikan terhadap manfaat benda
yang diketahui oleh pemilik barang dengan maksud mendapatkan imbalan
lebih (sewa menyewa). Sedangkan Ulama Malikiyah hanya menyamakan dengan al
kiraa’[4] (Ali Fikri: tt: 85).
Ulama Syafi’iyah pun juga memberikan
defenisi yang hampir sama, dengan kebolehan adanya tambahan yang disepakati
dalam aqad, sehingga bagi ulama Syafi’iyah ijab dan qabul sangatlah
penting dan harus memakai lafazh (Ali Fikri: tt: 87).
Sementara Ulama Hambali, memberikan
defenisi yang lebih terperinci dengan menyatakan adanya kesepakatan waktu dalam
aqad, dan tambahan dari sewa juga sesuatu yang disepakati (Ali Fikri: tt:89 )
Landasan Syari’ah transaksi
al-Ijarah adalah :
- Al-Qur’an
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ
قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ
خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi
rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”
(Q.S. Az Zukhruf (43): 32).
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ
“Jika mereka telah menyusukan anakmu
maka berilah upah mereka” (Q.S. Ath-Thalaq (65): 6)
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S.
Al-Qashash (28): 26)
- Al-Hadits
وروى ابن ماجه أن النبى صلى الله عليه
و سلم قال : أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa
Nabi saw bersabda : “berikanlah upah pada buruh sebelum keringatnya kering”
وعن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه و
سلم قال : احتجم وأعط الحجام أجره. (رواه البخارى و مسلم)
Dari Ibnu Abbas, Nabi saw bersabda :
“berbekamlah engkau, lalu berikanlah upah pada orang yang membekam”. (
HR. Bukhari Muslim)
6.
SYARAT DAN KETENTUAN IJARAH
Dalam aqad Ijarah, juga ditentukan
beberapa syarat:
- Kedua belah pihak telah mumayyiz,
dan tidak ada paksaan ketika melakukan aqad
- Objek sewa bisa diserah
terimakan dengan ketentuan bahwa barang tersebut milik sah orang yang
menyewakan (mu’jir)
- Mempunyai nilai manfaat menurut
syara’
- Upah diketahui kedua belah
pihak
- Objek Ijarah tidak cacat
- Objek adalah sesuatu yang
dihalalkan syara’
- Objek bukan kewajiban penyewa,
misalnya menyewa orang untuk melakukan shalat
- Syarat ijab qabul sama dengan
syarat aqad muawwadat lainnya seperti jual beli, kecuali dalam Ijarah
disyaratkan adanya waktu tertentu yang ditentukan (Affandi, 2009 : 183).
Dari penjelasan diatas dapat kita
simpulkan bahwa akad al-Qardh dan al-Ijarah adalah akad yang diperbolehkan oleh
syari’at Islam, tetapi yang jadi masalah disini adalah jika kedua akad itu digabungkan
menjadi satu yaitu akad al-Qard wal Ijarah yang digunakan oleh Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS) sebagai dasar legalitas Dana Talangan Haji yang merupakan salah
satu produk mereka.
IV.
PERMASALAHAN YANG MUNCUL
A. Mengenai Akad
Berdasarkan pengumuman Dewan
Pengawas Syariah (DPS) Indonesia bahwa semua lembaga keuangan syariah melakukan
praktek pembiayaan talangan haji sesuai dengan fatwa MUI yang telah kami
paparkan di atas. Namun pada prakteknya, bank-bank memilki ketentuan yang
berbeda-beda, utamanya dalam hal akad.
Hasil wawancara kami pada empat bank
yang berbeda pada tanggal 15 Februari 2012, yaitu BSM (Bank Syariah Mandiri),
BRI Syariah, BPD Syariah, dan Bank Muamalat, diperoleh informasi adanya praktek
talangan haji sebagai berikut :
- BPD Syariah melaksanakan
program talangan haji dengan akad Multi ijarah
semata. Dalam prakteknya pelunasan dilakukan dengan dana angsuran
perbulan. Bank tersebut membatasi masa pelunasan sampai 4 tahun dengan
ketentuan marginnya 7,2 %. Artinya pembayaran harus lunas sebelum
berangkat haji, jika si peminjam tidak bisa melunasinya tepat sesuai
dengan waktu yang telah disepakati, maka kursi (seat) akan dibatalkan dan
uang pinjaman akan dikembalikan pada bank, sedangkan angsuran akan
dikembalikan kepada nasabah dipotong biaya administrasi yang dibayarkan
dimuka sebesar Rp 250.000. (hasil wawancara pada BPD Syari’ah Jln. Cik
Ditiro dengan costumer service saudari Rini)
- Bank Muamalat
Indonesia, melaksanakan program talangan
haji dengan akad qardh, namun sebagai administrasi
memakai aqad ijarah. Batas pembayaran selama satu tahun, tanpa
adanya tambahan dari jumlah pokok pinjaman. Sesuai dengan aqad qardh yang
dipakai, jika tidak bisa melunasi tepat pada waktunya, maka akan diberi
waktu maksimal 6 bulan. Jika dalam masa tambahan tersebut belum juga bisa
melunasi, maka dana talangan akan ditarik, kursi akan dibatalkan dan
angsuran nasabah dikembalikan dipotong biaya
adminsitrasi yang dibayar dimuka sebesar Rp 2.500.000. (hasil
wawancara pada Bank Muammalat jln. Mangkubumi dengan costumer service
saudari Gita)
- Bank Syariah Mandiri,
pembiayaan talangan haji yang dilakukan menggunakan akad al-qardh wa al-ijarah mengacu pada fatwa MUI di
atas. Ketentuannya yaitu dengan membayar ujrah dimuka sebesar Rp
2.000.000. Masa pelunasan maksimal 3 tahun, dengan tambahan waktu 6 bulan
jika dalam masa 3 tahun tersebut belum bisa melunasi. Pelunasan tidak
menggunakan system angsuran per bulan, dalam artian tidak ada jumlah
tertentu yang harus dibayarkan per bulannya. Peminjam diberikan kebebasan
membayar berapapun, yang penting ketika jatuh tempo sudah lunas. Uang
pinjaman yang nantinya dikembalikan hanyalah jumlah pokok pinjaman, tanpa
ada tambahan.
- Bank Rakyat Indonesia
Syari’ah, sebatas informasi yang kami
terima dari costumer service bank tersebut, menunjukkan bahwa ketentuan
pembiayaan talangan haji hampir sama dengan BSM yaitu dengan akad al-qardh wa al-ijarah. Perbedaannya hanya pada
ketentuan teknis talangan haji dan besar talangan yang diberikan pada
nasabah, misalnya untuk jangka waktu pengembalian pinjaman pada BSM jangka
waktunya 3 tahun sedangkan untuk BRI Syari’ah 5 tahun dan untuk besar
talangan haji pada BSM sebesar 5 – 25juta sedangkan pada BRI Syari’ah
10-23juta.
Hasil wawancara ini menunjukan
bahwa bank melaksanakan program talangan haji dengan beberapa akad, diantaranya
: al-qardh, al-ijarah multi jasa, dan al-qardh wal ijarah. Berangkat dari
praktek akad talangan haji ini, kami akan mencoba untuk menganalisisnya.
1.
Al-qardh wa al-ijarah
Pada umumnya mereka yang mengharamkan
praktik ini berargumen bahwa dalam praktik semacam ini ada unsur riba
terselubung yaitu uang sewa (ujrah) yang diterima oleh kreditur. Mereka
juga berdalih bahwa menggabungkan dua akad dalam satu transaksi itu tidak
diperbolehkan dalam syari’ah. Namun jika kita kembali cermati contoh transaksi
di atas maka sama sekali tidak terkandung adanya unsur riba. Contoh di atas
jelas menunjukkan bahwa akad qardh dalam transaksi tersebut tidak mensyaratkan
imbalan tambahan, nasabah hanya mengembalikan jumlah pokok pinjaman yang ia
terima. Sedangkan biaya administrasi/ujrah yang dibebankan kepada nasabah
hanyalah imbalan atas jasa pengurusan haji, sebagaimana diketahui bahwa
al-ijarah ada dua jenis; yaitu ijarah al-maal (sewa barang) dan ijarah al-‘amal
(sewa jasa). Jadi secara akad, baik qardh maupun ijarah dalam praktik ini tidak
ada masalah, karena sudah sesuai dengan prinsip qardh dan ijarah di atas.
Dari sini kemudian muncul persoalan
baru, bukankah yang demikian berarti menggabungkan dua akad dalam satu transaksi
atau yang sekarang lebih populer dengan istilah hybrid contract (multi akad)
?. Memang ada yang menyanggah bahwa ini bukanlah menggabungkan dua akad, dengan
beralasan bahwa dua akad tersebut adalah untuk dua jenis obyek yang berbeda,
yaitu uang dan jasa. Pertama, akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di
sini nasabah hanya mengembalikan sejumlah yang dipinjam. Kedua, akad ijarah al
`amal (sewa jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Namun menurut penulis, argument
tersebut tidak bisa menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah menggabungkan dua
akad. Karena yang dimaksud dengan menggabungkan dua akad adalah menggabungkan
dua akad dalam satu transaksi. Jadi, meskipun dengan dua objek yang berbeda,
praktik ini tetap dikatakan menggabungkan dua akad. Karena masih dalam lingkup
satu transaksi pembiayaan talangan haji.
Karenanya, penulis akan membahas
tentang bagaimana pendapat di kalangan para ulama’ tentang multi akad ini.
Ada tiga buah hadits Nabi Saw yang
menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu
berisi tiga larangan :
Pertama, larangan bay’
dan salaf, (Imam Malik:tt: II:657).
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى
عن بيع وسلف
Kedua, larangan bai’ataini fi
bai’atin (at-Tirmidzi: 1999: III: 533).
عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله صلى
الله عليه و سلم عن بيعتين في بيعة
Ketiga, larangan shafqataini
fi shafqatin (al-Bashri: 1998: V: 384)
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ
Ketiga hadits itulah yang selalu
dijadikan rujukan para konsultan dan banker syariah tentang larangan two
in one. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada dua kasus,
karena maksud hadits kedua dan ketiga sama, walaupun redaksinya berbeda.
Buku-buku teks fikih muamalah
kontemporer, menyebut istilah hybrid contract dengan
istilah yang beragam, seperti al-’uqûd
al-murakkabah, al-’uqûd al-muta’addidah , al-’uqûd
al-mutaqâbilah,al-’uqûd al-mujtami’ah, dan al-’Ukud
al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu al-ukud
al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah.
Al-“Imrani dalam buku Al-Ukud
al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad
atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh,
muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga
semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan
kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Ada beberapa pandangan di kalangan
ulama’ mengenai multi akad :
- Mayoritas ulama Hanafiyah,
sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali
berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan
diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan
bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya (al-‘Imrani: tt: 69) Kecuali menggabungkan dua akad yang
menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan
akad yang lain, karena adanya larangan hadits me\nggabungkan jual beli
dan qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual
beli cash dalam satu transaksi.
- Menurut Ibn Taimiyah, hukum
asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan
Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan
tidak ada agama kecuali yang disyariatkan(Ibnu Taimiyah: 1989: II: 317)
- Nazih Hammad dalam
buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan,
”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan
transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang
membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada
dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu
tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang
diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai
pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan
melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
- Demikian pula dengan Ibn
al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah
sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama (al-Qayyim: tt: 344)
Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan
antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat
adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak
melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah
mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny).
Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang
telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan
untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya
adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud)
(asy-Syatibi: 2000: 284)
Dari pandangan ulama-ulama di atas,
dapat diketahui bahwa multi aqad pada dasarnya dibolehkan karena penggabungan
akad pada masa sekarang merupakan sebuah kensicayaan. Akan tetapi, yang harus
diperhatikan bahwa penggabungan aqad tersebut tidak menimbulkan riba.
Kemudian, jika kita melihat aqad
yang digabungkan dalam praktek talangan haji adalah aqad tabarru’at
yaitu qardh dan aqad muawwadat yaitu ijarah. Kedua jenis aqad ini
memiliki orientasi yang sangat berbeda. Aqad tabarru’at merupakan aqad sosial,
tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Sementara aqad mu’awwadat merupakan
aqad komersil, aqad yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Jika keduanya
digabungkan maka berpotensi menimbulkan riba karena merusak masing-masing
tujuan dari kedua aqad tersebut.
Sehingga penggabungan dua aqad dalam
dana talangan haji ini, sudah masuk dalam wilayah pelarangan hadits Nabi saw,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:
فَجِمَاعُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنْ لَا
يُجْمَعَ بَيْنَ مُعَاوَضَةٍ وَتَبَرُّعٍ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ التَّبَرُّعَ إنَّمَا كَانَ
لِأَجْلِ الْمُعَاوَضَةِ لَا تَبَرُّعًا مُطْلَقًا ؛ فَيَصِيرُ جُزْءًا مِنْ الْعِوَضِ
فَإِذَا اتَّفَقَا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِعِوَضٍ جَمَعَا بَيْنَ أَمْرَيْنِ مُتَبَايِنَيْنِ
؛ فَإِنَّ مَنْ أَقْرَضَ رَجُلًا أَلْفَ دِرْهَمٍ وَبَاعَهُ سِلْعَةً تُسَاوِي خَمْسَمِائَةٍ
بِأَلْفٍ لَمْ يَرْضَ بِالْإِقْرَاضِ إلَّا بِالثَّمَنِ الزَّائِدِ لِلسِّلْعَةِ ؛
وَالْمُشْتَرِي لَمْ يَرْضَ بِبَدَلِ ذَلِكَ الثَّمَنِ الزَّائِدِ إلَّا لِأَجْلِ الْأَلْفِ
الَّتِي اقْتَرَضَهَا ؛ فَلَا هَذَا بَيْعًا بِأَلْفٍ وَلَا هَذَا قَرْضًا مَحْضًا
“Kesimpulan dari hadits ini
menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara aqad komersial dengan
aqad sosial. Yang demikian itu karena keduanya(orang yang beraqad) menjalin
aqad sosial karena adanya aqad komersial antara mereka. Dengan demikian aqad
sosial itu tidak sepenuhnya sosial. bahkan aqad sosial secara tidak langsung
menjadi bagian dari nilai transaksi dalam aqad komersial.”
(Ibnu Taimiyah, 1987 : 39).
Dari kesimpulan yang ditetapkan oleh
ibnu Taimiyah, kita dapat mengetahui bahwa yang menjadi Illat larangan
Rasulullah menggabungkan dua aqad, ialah adanya perbedaan asas aqad tersebut
yaitu asas komersial dan asas sosial. Hal ini disebabkan karena penggabungan itu
menyebabkan motif sosialnya tidak murni lagi tapi menjadi mencari keuntungan,
dan keuntungan itulah yang rentan menjadi riba’, sehingga selama illat ini ada
maka hukum hadits diatas bisa diterapkan bagi aqad yang lain, semisal
penggabungan aqad Qardh dan Ijarah dalam praktek talangan haji, hal ini
berdasarkan kaidah ushul fiqih:
األحكم يدو ر مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berlaku berdasarkan
ada tidak adanya illat”
2.
Al-Qardh Semata
Sesuai yang telah kami jelaskan pada
hukum al-qardh, bahwa al-qardh mengikuti hukum taklifi yang bisa berubah, mulai
dari dianjurkan hingga dilarang. Perubahan tersebut didasarkan pada praktek
aqad yang dilakukan. Pada Bank Muamalat yang mendasarkan aqadnya dengan
al-qardh ternyata pada prakteknya masih menggabungkan aqad al-qardh dengan
ijarah meskipun tidak dipaparkan secara tertulis. Hal ini dibuktikan dari hasil
wawancara kami, bahwa Bank Muamalat Indonesia masih menarik biaya administrasi
sebesar 2,5 juta sebagai jasa kepengurusan haji tanpa memperinci biaya
administrasinya. Bahkan costumer service bank tersebut memberikan keterangan
bahwa administrasi ini didasarkan pada aqad ijarah. Oleh karena itu, meski
secara tertulis aqadnya al-qardh tapi pada prakteknya masih menggabungkan
dengan aqad ijarah, sedangkan penggabungan dua aqad ini tidak diperbolehkan
sebagaimana yang kami paparkan diatas.
3.
Ijarah (multi jasa)
Pada bank yang menggunakan aqad ini,
seperti BPD Syari’ah, sebenarnya tidak murni ijarah. Karena bank tersebut tetap
meminjamkan uang kepada nasabah dengan adanya tambahan (margin sebesar 7,2
persen). Bank tersebut tidak mengakui bahwa pinjaman tersebut sebagai al-Qardh
tetapi sebagai jasa bantuan bagi orang yang ingin melaksanakan ibadah haji agar
mendapatkan seat (kursi) lebih cepat. Sepintas praktek seperti ini tidak ada
masalah, apalagi dengan niat membantu orang, tetapi menurut penulis praktek
seperti ini tidak dibenarkan karena pada dasarnya jasa uang dalam konteks ini
harusnya memakai prinsip al-Qardh sebab bertujuan untuk membantu orang lain
(aqad sosial/muawwad) yang tidak boleh menetapkan biaya tambahan. Jika terdapat
biaya tambahan maka akan menimbulkan larangan sesuai qaidah fiqh yang
disampaikan Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni:
كل قرض شرط فيه
أن يزيده فهو حرم بغير خلاف
“Setiap pinjaman yang mensyaratkan
tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat”.
(Qudamah tt : 432 ).
B. Mengenai
ke-Istitho’an seseorang
Dalil yang menjadi dasar hukum
kewajiban ibadah haji adalah surat ali imran ayat 97 :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ
وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa
memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah, barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka
sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ayat diatas dalam ilmu ushul fiqh
termasuk dalam pembahasan takhsis, yaitu mengecualikan sebagian dari lafadz
umum. Pada mulanya dalam ayat tersebut disebutkan bahwa haji diwajibkan bagi
seluruh umat islam, tapi di akhir lafadz ada pengecualian dengan bentuk badal مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا, yakni bagi yang
sudah mampu. Dari sinilah kemudian muncul pendapat-pendapat dalam memahami
maksud istitha’ah dalam ayat tersebut.
Dimaksudkan dengan ististha’ah
dalam firman-Nya “man istathaa’a ilaihi sabiilan” ialah mempunyai bekal
dan mampu dalam perjalanan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis;
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ ؟ قَالَ : الزَّادُ و الرَّاحِلَةُ .
( رواه الدار قطني و صححه الحاكم، الصنعاني 2: 179)
“Dari Anas r.a. ia berkata:
Rasululullah SAW ditanya; ‘Hai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan
as-sabil (jalan)?’ Beliau menjawab; ‘bekal dan perjalanan’.”
(Ditakhrijkan oleh ad-Daruqutniy, dan dinilai sahih oleh al-Hakim; as-San’aniy,
1960, Subulus Salam, II : 179).
Dari hadis tersebut jumhur ‘ulama
berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dengan ‘istitha’ah’ ialah mampu
dalam perjalanan dan perbelanjaan, atau bekal. Uang belanja cukup bagi dirinya
dan bagi keluarga yang ditinggalkan, aman dalam perjalanan, dan dirinya dalam
keadaan sehat. (as-San’aniy, 1960: II : 179).
Hadits tersebut juga diriwayatkan
oleh al-Hakim, dan beliau juga mensahihkannya (Asy-Syaukani, Nailul Authar,
Juz V:13). Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan
ulama adalah bekal untuk dirinya dan keluarganya sampai ia pulang dari tanah
suci (menunaikan ibadah haji).
Ibnu zubair, atha, ikrimah dan malik
berpendapat bahwa al istitha’ah adalah kesehatan, bukan yg lainnya
Selain pendapat-pendapat di atas,
kiranya kita pun perlu menyimak perkataan imam Al-Jashāsh. Beliau menjelaskan
“makna isthithā’ah tidak hanya terbatas pada bekal dan kendaraan. Sebab,
seseorang yang sedang sakit keras, orang tua yang tidak mampu lagi menempuh
perjalanan (الشيخ لا يثبت علعى الراحلة),
az-zamin, dan semua orang yang kesulitan melakukan ibadah haji haji
termasuk dalam kategori orang yang tidak mempunyai isthithā’ah, meskipun
ia memiliki bekal dan kendaraan”. Sehingga, bekal dan kendaraan bukan merupakan
syarat mutlak tanpa mempertimbangkan hal-hal lainnya.
Mengenai makna Istithā’ah ini
para pengikut madzhab yang empat juga berpendapat :
Hanafiyah berpendapat bahwa Istithā’ah
itu ada tiga, yaitu memiliki badan (tubuh) yang sehat, memiliki bekal dan biaya
perjalanan, dan memiliki jaminan keamanan (az-Zuhaily: 2006: 2082).
Malikiyah berpendapat bahwa Istithā’ah
adalah memungkinkannya seseorang sampai di Makkah, baik dengan berjalan atau
dengan berkendara. Pengikut Imam Malik (Malikiyah) juga mensyaratkan Istithā’ah
dengan terpenuhinya tiga hal, yaitu memiliki badan yang kuat, adanya bekal
yang dimampui oleh seseorang, dan banyaknya jalan yang bisa dilalui untuk pergi
ke Makkah, baik melalui darat, laut maupun udara (az-Zuhaily: 2006: III: 2050).
Mengenai Istithā’ah ini
Syafi’iyah sependapat dengan Malikiyah, yaitu memiliki badan yang mampu
(sehat), memiliki harta, baik bekal dan biaya perjalanan, dan adanya kendaraan
untuk melakukan perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2087)
Hanabilah (pengikut Imam Ahmad ibn
Hambal) berpendapat bahwa Istithā’ah itu hanya disyaratkan memiliki
bekal dan biaya perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2089)
Dari semua pendapat di atas, maka
dapat kita rangkum makna istitha’ah ke dalam 3 cakupan makna :
Pertama,
Kesehatan jasmani, berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Abbas r.a :
أﻥَّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻣِﻦْ ﺧَﺜْﻌَﻢَ ﻗَﺎﻟَﺖْ:ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻥَّ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺘْﻪُ ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔُ ﺍﻟْﺤَﺞِّ ﺷَﻴْﺨًﺎ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ﻻَ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻴْﻊُ
ﺃَﻥْ ﻳَﺴْﺘَﻮِﻯَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻠَﺔِ ﺃَﻓَﺄَﺣُﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ؟ ﻗَﺎﻝَ:ﺣُﺠِّﻰ ﻋَﻨْﻪُ
“Bahwasanya seorang wanita
dari Khats’am berkata: ‘Wahai Rasulullah , sesungguhnya ayahku telah diwajibkan
untuk melaksanakan ibadah haji disaat dia telah tua renta, dia tidak mampu
untuk tetap bertahan diatas kendaraan, apakah aku melaksanakan haji untuk
mewakilinya? “ (al-Baihaqy: 1991: VII: 14)
Kedua,
Memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta mencukupi segala hajat
atau kebutuhanya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya dalam
hal nafkah. Hal ini berdasarkan hadits nabi saw :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا
أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “
“Dari Abdullah bin Umar, Nabi saw
bersabda : Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) dia menyia-nyiakan orang-orang
yang menjadi tanggungjawabnya” ( Abu Dawud: ttb: II: 59).
Ketiga,
Keamanan dalam perjalanan, hal ini disebabkan karena mewajibkan ibadah haji
yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan merupakan sesuatu
yang berbahaya (dharar), padahal menurut ketentuan syari’at bahwa الضرر يزال (sesuatu yang berbahaya harus dihindari).
Jika ketiga syarat diatas telah terpenuhi maka telah wajib bagi seseorang
untuk melaksanakan ibadah haji bagi laki-laki maupun perempuan.
Mengingat bahwa haji sebagai sebuah
kewajiban (rukun Islam yang kelima), maka hendaknya setiap orang Islam yang
diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha untuk dapat menunaikan ibadah
haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat memiliki bekalnya sebagai
sarana dapat dilakukan ibadah haji itu. Dalam qaidah ushuliyah ditegaskan:
لِلوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ
Artinya : “Hukum bagi sarana sama
dengan hukum tujuannya.”
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan
ibadah haji dapat dikatakan bahwa bagi orang Islam yang diberi keluasan rizki
wajib untuk berusaha agar memiliki bekal guna dapat menunaikan ibadah haji.
Oleh karena itu, menabung dan mengikrarkan untuk biaya perjalanan ibadah haji
(BPIH), merupakan perbuatan bijak dan terpuji. Penabungnya dapat dikatakan
sebagai hamba Allah yang sungguh-sungguh berupaya untuk dapat melaksanakan
ibadah haji. Uang tabungan haji ini hendaknya dijaga sedemikian rupa agar tidak
digunakan untuk keperluan lain, sehingga maksud dari menabung dapat menjadi
kenyataan. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki tabungan tapi
berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dari sinilah muncul salah satu produk
Lembaga Keuangan Syariah yang disebut dengan Dana Talangan Haji guna membantu
mereka yang berkeinginan menunaikan ibadah haji tapi mempunyai kendala
keuangan. Sepintas tujuan dari adanya dana talangan haji ini baik, tapi
ternyata dengan adanya program tersebut menimbulkan banyak permasalahan, baik
dari tinjauan status hukum dan manfaatnya secara syar’i. untuk lebih rincinya
akan dibahas dalam pembahasan mengenai manfaat dan mudharat program dana
talangan haji pada penjelasan dibawah ini.
C. Manfaat dan
mudharat dari program dana talangan haji
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah
produk tentu memiliki sisi positif dan negatif. Manfaat utama dari produk ini
adalah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk melaksanakan salah rukun
Islam yakni berhaji ke Baitullah. Sehingga ia bisa saja dianggap sebagai bagian
dari fath al-dzari’ah. Di samping itu produk ini memiliki peminat yang
cukup banyak sehingga berpotensi memajukan Lembaga Keuangan Syari’ah sebagai
instrument ekonomi umat Islam.
Namun demikian ada banyak mudarat
yang timbul dari praktek dana talangan haji ini, baik ditinjau dari aspek
syariah yakni keabsahan akadnya yang sangat riskan menjatuhkan kepada riba
tersembunyi, karena dalam akad ini terjadi penggabungan antara akad al-qardh
dan al-ijarah dengan mensyaratkan adanya tambahan imbalan sebagai jasa, bahkan
tambahan tersebut besarnya tergantung pada masa pinjaman (Riba an-Nasi’ah),
sebagaimana firman Allah swt :
“Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya” (al-Baqarah : 275 ).
Juga hadist :
حدثنا عبد الله بن سعيد . حدثنا عبد الله
بن إدريس عن أبي معشر عن سعيد المقبري عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه
و سلم : ( الربا سبعون حوبا . أيسرها أن ينكح الرجل أمه )
“Menceritakan kepada kami
Abdullah bin Sa’id, menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Abi
Ma’syar dari Sa’id al-Muqbiri dari Abi Hurairah berkata. bersabda Rasulullah
saw: “Riba ada tujuh puluh dosa, yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa
orang yang berzina dengan ibunya.” ( HR. Ibnu Majah)
عن جابر رضي الله عنه قال ” لعن رسول الله
صلى الله عليه وسلم آكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء” رواه مسلم
“ Dari Jabir Radliyallaahu
‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba,
pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda:
“Mereka itu sama.” ( HR. Muslim, Subulus Salam, Juz 3,
hal. 36)
Hal ini tidak diperbolehkan, karena
selain hukum dari riba itu sendiri haram juga setiap qardh (pinjaman) yang
mensyaratkan tambahan termasuk riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah
dana yang dipinjamkan.
Jika dilihat dari aspek sosial,
sebuah media lokal yakni Kabar Cirebon pada hari Rabu, 05 Oktober 2011
menurunkan berita berjudul “Dana Talangan Haji Harus Dihentikan”, yang intinya
menyatakan bahwa adanya dana talangan haji menyebabkan berbondong-bondongnya masyarakat
untuk mendaftarkan diri guna mendapatkan seat haji dengan bantuan dari
dana talangan haji meskipun sebenarnya mereka belum sanggup membayarnya. Hal
ini menyebabkan membengkaknya peserta tunggu sehingga banyak orang yang
sebenarnya sudah mampu namun “diserobot” antriannya oleh mereka yang memakai
jasa talangan haji dan antriannya mundur bahkan sampai tahun 2017. Jika berita
itu dimuat pada tahun 2011, maka kita dapat membayangkan apa yang terjadi jika
produk ini tetap dijalankan oleh LKS pada tahun-tahun yang akan datang.
Di media lain yakni situs Media Islam (www.media-islam.or.id) ada pengunjung
situs tersebut yang mengeluhkan tentang orang tuanya yang tidak mendapatkan
lagi jatah seat hingga bertahun-tahun yang akan datang padahal orang
tuanya itu sudah tergolong mampu, penyebabnya adalah membludaknya pendaftar
sebab banyak orang yang memakai dana talangan haji. Kedua fakta ini bisa saja
merupakan fenomena gunung es, yang muncul dipermukaan hanya beberapa kasus
padahal di lapangan hal ini telah terjadi cukup banyak. Dalam ushul fikih kita
mengenal kaidah yang berbunyi ;
درأالمفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menolak kemudaratan
lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
- Dana talangan haji dibolehkan
oleh DSN atas dasar kebolehan akad qardh dan ijarah yang menjadi komponen
akadnya.
- Status akad gabungan qardh dan
ijarah dalam produk ini sangat rentan terjatuh pada praktek riba
terselubung. Padahal riba sangat dicela oleh agama, atau setidaknya masih
berupa hal syubhat yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk dijauhi
dalam sabdanya :
حدّثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ
نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ : حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنِ الشَّعْبِيِّ
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللّهِ
يَقُولُ: وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إلَىٰ أُذُنَيْهِ «إنَّ الْحَلاَلَ
بَيِّنٌ وَإنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ،
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
Artinya : Sesungguhnya perkara
yang halal telah jelas dan yang harampun telah jelas. Diantara keduanya
terdapat perkara-perkara mutasyabihat yang tidak diketahui sebagian besar manusia.
Maka barang siapa yang berhati-hati terhadap perkara-perkara mutasyabihat maka
ia sugguh telah menjaga agama serta kehormatannya. Dan barang siapa yang
terjatuh ke dalam perkara yang syubhat, maka ia telah terjatuh ke dalam hal
yang haram. (HR. Muslim).
- Jika melihat pengertian isthita’ah
yang merupakan syarat kewajiban haji, sebenarnya orang yang memakai
jasa talangan haji belum bisa dikatakan memenuhi syarat tersebut, sehingga
ia belum dikenai kewajiban berhaji. Justru jika ia memaksakan diri dengan
berhutang kepada LKS, maka ada kemungkinan ia akan menyusahkan dirinya
sendiri padahal Allah sendiri memberikan beban (taklif) kepada
hamba-Nya sesuai kesanggupan hamba tersebut, Allah swt berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani
seseorang kecuali yang sesuai kemampuannya” (Al-Baqarah : 268).
- Meskipun memiliki manfaat bagi
sebagian umat Islam, dana talangan haji ternyata mengandung mudarat yang
tidak sedikit, baik ditinjau dari aspek syar’i maupun dari aspek kemaslahatan
sosial. Maka dalam keadaan seperti ini mencegah kemudaratan harus
diutamakan dari pada mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan kaidah :
دراالمفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menolak kemudaratan
lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.
- Lebih jauh lagi, dengan memakai
metode sadd al-dzari’ah dana talangan haji sangat mungkin
diharamkan untuk mencegah kemudaratan yang dikandungnya.
- Jika kita menerima argument
mereka yang membolehkannya, tetap saja pendapat ulama-ulama yang melarang
praktek ini tidak bisa diabaikan, sehingga dapat dikatakan bahwa telah
terjadi ikhtilaf seputar hukum talangan haji ini. Maka yang perlu
dilakukan adalah mecari khuruj (jalan keluar) dari perselisihan
ini, sesuai kaidah :
الخروج من الخلاف مستحب
Artinya : keluar dari suatu
perselisihan pendapat itu disukai.
- Jika ada pendapat yang
membolehkan namun yang lain mengharamkan, maka jalan keluar yang paling
aman dan menentramkan adalah mengikuti pendapat yang melarangnya. Dalam
kitab al-Asybah wa an-Nazhair al-Sayuti menyebutkan sebuah
kaidah fikih :
إذا اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
Artinya : jika berkumpul haram
dan halal, maka keharaman dimenangkan.(al-Sayuti, 1983 : 209).
As-Sayuti juga menukil perkataan
para Imam :
قال الأئمة : و إنما كان التحريم أحب لأن
فيه ترك مباح لاجتناب محرم و ذلك أولى من عكسه
Artinya : para Imam
berkata : mengharamkan lebih disukai dari membolehkan, karena pada pengharaman
kita meninggalkan yang mubah untuk menjauhi yang haram dan itu lebih utama
daripada melakukan hal yang sebaliknya. (al-Sayuti, 1983 : 209).
- Bagi umat Islam untuk memenuhi
perintah Allah swt kepada kita yakni melaksanakan ibadah haji, selain dana
talangan haji ini kita masih bisa menabung untuk haji. Dengan cara seperti
itu hati lebih tentram dan ketika melaksanakannya, juga kita memang telah
termasuk hamba-Nya yang mampu.
VI. PENUTUP
Demikianlah paparan singkat seputar
permasalahan dana talangan haji yang akhir-akhir ini sedang menjadi trend dan
marak dilakukan oleh banyak kalangan. Dari pemaparan diatas kami berpendapat
bahwa dana talangan haji tidak boleh digunakan karena beberapa pertimbangan
yang telah dipaparkan diatas.
Dalam penyusunan makalah ini
tentunya ada banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik
dari para pembaca, ustadz dan para guru sangat diperlukan guna membantu
memperbaiki dan memperkaya khazanah keilmuan dalam studi ini.
[1]harta yang mempunyai persamaan atau padanan dengan tidak
mempertimbangkan adanya perbedaan antara satu dengan lainnya dalam
kesatuan jenisnya Biasanya berupa harta benda yang dapat ditimbang,
ditakar, diukur atau dihitung kuantitasnya.
[3] Jika pada masa sekarang, maka seseorang bisa membayar suatu
benda dengan memakai uang.