DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I Pendahuluan
ü Latar Belakang
ü Rumusan Masalah
BAB
II Pembahasan
ü Sejarah Hubungan Islam dan Negara di
Indonesia
ü Sifat Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia
ü Sikap Negara atau Pemerintah
terhadap Islam
ü Hubungan Islam dan Negara pada Era
Reformasi
ü Konsep Islam dalam Negara Indonesia
BAB
III Penutup
ü Kesimpulan
ü Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Membicarakan
masalah hubungan agama dan negara adalah sesuatu yang menarik. Mengapa? Kita
tahu agama dan negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak
bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap
kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap
masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat
lainnya. Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu
saja dari kehidupan manusia. Sebaliknya, negara sangat menentukan terhadap
perkembangan suatu agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang
berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani
(civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila
kebijakan negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal
jika negara atau keadaan negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang
mengarah ke unsur SARA.
Hubungan
antara Islam dan negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu
kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat
berdasarkan Islam, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian
percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coba dan belum
ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia
Masalah
hubungan Islam dan negara di Indonesia menjadi salah satu persoalan hubungan
agama dan negara yang unik untuk dibahas, karena tidak saja karena Indonesia
merupakan negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena
kompleksnya persoalan yang muncul. Sekalipun Islam tidak disebut dalam
konstitusi sebagai agama negara, Islam di Indonesia merupakan suatu agama yang
hidup dan dinamis. Islamisasi di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang
telah rampung, tetapi merupakan proses yang berkelanjutan. Berdasarkan kondisi
tersebut, perlu dibahas kembali tentang hubungan Islam dengan pemerintah
sebagai badan eksekutif kenegaraan supaya peranan umat Islam dapat terlihat
lebih jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B.
Rumusan
Masalah
Banyak persoalan yang perlu dibahas
mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia. Namun untuk membatasi ruang
lingkup dalam pembahasan masalah, penulis hanya membatasi pada masalah :
1.
Sejarah
hubungan Islam dan negara di Indonesia
2.
Sifat
hubungan agama dan negara di Indonesia.
3.
Sikap
negara atau pemerintah terhadap agama Islam.
4.
Hubungan
Islam dan negara pada era reformasi.
5.
Konsep
Islam dalam negara Indonesia.
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Silang
perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan sosial-politik,
setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah
kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya
mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat
terakomodir
Tapi,
tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban
menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… “ yang tertuang di
mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal
18 Agustus 1945, setelah melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun dicoret.
Meski kemudian modifikasi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dikata
jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep tauhid tapi wakil-wakil umat Islam
masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila.
Usai
pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti
mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di
bawah kepemimpina Ir.Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau
pancasila, tak mencapai keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara
partai-partai Islam dan pendukung Pancasila dalam mengokohkan dasar negara
menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua puluh bulan tidak ada kata sepakat.
Konstitusi menemui jalan buntu serius.
Di
tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu
melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan
keluarnya Dekrit Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan
kembali UUD 1945 dan menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak
saat-saat genting perdebatan sidang Majelis Konstituante tentang dasar negara
itu sangat menarik untuk dicermati. Studi Komprehensif Buku Ahmad Syafi`i
Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang
Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil
partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai
nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di
Chicago Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit
dasar negara Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.
Dalam
Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara
yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam
dan Sosial-Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf
Sosial Ekonomi tersebut seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit
dari wakil partai Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan
partai nasionalis yang mendukung Pancasila mewarnai sidang.
Wakil
dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai
dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi
saat membangun Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di
masa nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang
berada dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur
Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif
dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin.”
Umat
Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar
dari mereka di mata Syafi`I masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan
intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi sekali pun
tak berhasil perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di
sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan
Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami
wakil partai Islam.
Selain
merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam
sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan
lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu,
wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak
membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Sayang,
konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana digagas untuk
merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di bawah tangan Soekarno.
Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang
Konstituante yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga keluarlah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem
politik baru dikenal dengan Demokrasi Terpimpin sehingga tertutup pintu untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Keinginan
membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah untuk
mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk akibat penindasan
politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat itu bukan membuat Islam
menjadi cemerlang, melainkan justru mendapat citra yang kian jauh darai kesan
damai karena Islam ditengarai agama yang tidak membawa misi kemanusiaan.
B.
Sifat
Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Mengkaji
hubungan agama,dalam hal ini Islam dan negara di Indonesia, secara umum dapat
digolongkan ke dalam dua bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan
hubungan yang bersifat akomodatif.
Dalam
hal ini, Indonesia pernah mengalami masa dimana hubungan agama dengan negara
bersifat antagonistik maupun akomodatif.
1.
Hubungan
agama dan negara yang bersifat antagonistic
Hubungan
antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara
negara dengan agama. Akar antagonisme hubungan antara Islam dan negara tak
dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda.
Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan
kebangsaan, ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang
kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Dengan demikian pada masa ini negara
betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi
eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki
ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam
menjalankan pemerintahan.
2.
Hubungan
agama dan negara yang bersifat akomodatif
Hubungan
akomodatif lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu
sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk
mengurangi konflik. Munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih
disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah
semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan
penerimaan asa tunggal Pancasila.
Negara
melakukan akomodasi terhadap Islam dengan alasan, pertama, dari kacamata
pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapatdiabaikan yang pada
akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah
politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintah sendiri terdapat
sejumlah figur yang tidak terlalu fobi terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar
keislaman yang sangat kuat sebagai akibat latar belakangnya, misalnya saja Emil
Salim, B.J. Habibie, Akbar Tandjung dan lain sebagainya. Mereka tentu saja
berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah untuk tidak menjauhi Islam.
Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik di kalangan umat
Islam itu sendiri.
C.
Sikap
Negara atau Pemerintah terhadap Islam
Percobaan
mengatur masyarakat berdasarkan Islam, menimbulkan sikap arogan dari pemerintah.
Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan
hukum tidak hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah
yang disebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita
tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara.
Masdar
F. Mas’udi beranggapan bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik
sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi
pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui
(mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat
dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus
sebagai pemimpin. Pernyataan yang disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan.
Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin pasca proklamasi maupun
orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu kental keIslamannya. Sebagai
paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka mengadopsi pemikiran
(nilai-nilai) budaya.
Bahkan
di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu
getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan
ajarannya lewat jalur sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut,
misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu
dibuat kerdil dengan berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat
habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua
hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat trauma
dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk menggalang massa
dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi kepada
siapapun yang tengah berkuasa.
D.
Hubungan
Islam dan Negara pada Era Reformasi
Era
reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers, organisasi politik,
ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua wahana ekspresi diberikan
kebebasan sepenuhnya. Masa reformasi ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto
pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada
21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibe.
Reformasi
yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 ini menyebabkan perubahan drastis
dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan
drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya
kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic politypemerintah dipegang
segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan
rakyat secara riil.
Perubahan
birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek
kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di
saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya
sebatas retorika belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku
sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan
masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal semacam
keluarga berencana.
Karena
begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang
terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak
bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan
organisasi-organisasi massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga
press. Bahkan kata reformasi berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan
perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan
tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar
setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan
ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde
baru pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis.
Pernyataan selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk
memasukkan syariat ke dalam hukum Negara ini?
Dari
sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika
p emerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan
sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam
mengimplementasikan kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan
mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada
iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi
mereka.
Selain
dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat
Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah
membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang
profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia
dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam
ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang
sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola
sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam
transenden. Kensekuensinya seluruh aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun
individu harus “manut” dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau
berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya
nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan
selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Quran dan
As-Sunah.
Semuanya
itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk
Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus
wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah
masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang
bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris
bawahi adalah bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam
kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah
instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan
social.
Yang
menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut
di tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan
tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua
kendala yang menjadi batu sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala
praktis. Kendala konsepsional adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang
normativ dapat dijabarkan menjadi separangkat aturan yang berfungsi untuk
pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala bagaimana
implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
\
Mohtar
Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya
pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi
Negara nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat
dalam Negara nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya
merealisasikan ajaran dalam Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan
Islam. Pandangan ini muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam
memang menjadi umat terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan
sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam.
Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang
disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan begitu saja bahkan
ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan harta benda mereka.
Kritik
bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu
diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata
diraih umat Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni
oleh satu umat melainkan berbagai jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum
agama yang dijadikan hukum konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa
negara ini memang plural. Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat
yang hegemonik dan egois kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap ekstrim, karena
menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.
Memang
jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan
baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk
mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional,
yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara
substansial, yakni ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa
ekonomi, kemanusiaan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain.
Pendekatan ini memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada
arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi
kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan
ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti semangat
egalitarian, humanitas, demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak
mengedepankan wacana negara Islam.
Pendekatan
model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu,
pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat
beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu
terjadi konflik diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat
Islam sendiri bahwa pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan
Negara dan agama. Syarat ayang harus di miliki adalah bagimana memandang dan
memperlakukan Islam sendiri. Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami
hakikat mengapa Islam itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagai
rahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk
membumikan pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat
madani. Semua ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas
kulit atau menyeluruh. Yang penting bagi umat Islam adalah mempunyai sikap “ojo
rumongso biso nanging biso rumongso” atau menyebarkan Islam dengan “bil hikmah
wa mauidlotul hasanah”.
E.
Konsep
Islam dalam Negara Indonesia
Islam
adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya,
sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat
dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal
selama berabad-abad hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’
telah memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga
mencatat penolakan dan penentangan umat Islam terhadap penindasan kolonialisme.
Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh
SI, Muhammadiyah dan NU terbukti mengusung cita-cita luhur memperjuangkan
terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Demikian
halnya para tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim, meskipun mereka
kelihatan berbeda-beda penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme
Indonesia, tak diragukan lagi kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan
terwujudnya negara bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Fakta-fakta
tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru
dari rahim Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur.
Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan lebih kuat
jika dibandingkan dengan organisasi lokal yang masih berbasis etnik, termasuk
Budi Utomo yang berbasis kepentingan priyayi Jawa.
Jika
kehidupan bernegara ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka
tentulah berkenaan dengan umat Islam Indonesia. Maka umat Islam juga harus
mengambil peran strategis dan kreatif memajukan Indonesia menuju negara plural
yang kuat. Penolakan terhadap nation-state dalam sisi tertentu menunjukkan
kekhawatiran berlebihan terhadap subordinasi Islam oleh negara, juga merupakan
ekspresi dari ketidakberdayaan mengambil peran-peran kreatif dan strategis
dalam merealisasikan keIslamann dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan
mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme,
maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah
masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural
melalui sarana politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini
maka pilihannya bukan negara Islam atau juga sistemkhilafah yang menerapkan
syariah atau negara sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang
merealisasikan nilai-nilai universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai
Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam
dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan
makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik.
Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks
utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara
bangsa. Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya
karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk
menonjolkan identitas atau simbol-simbol keIslaman dalam kerangka perjuangan
politik kebangsaan hanya merupakan cerminan kelemahan umat Islam sendiri.
Selain itu, meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi ini, penekanan
berlebihan dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini
tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan politik
umat Islam menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh
faktor-faktor perekat kebangsaan yang secara substantif. Nilai-nilai dimaksud
merupakan nilai-nilai universal Islam yang menyentuh kesadaran pragmatis warga
negara, seperti keadilan, kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.
Itulah
sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan
keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus
beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia
merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya ditentukan
oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa itu,
selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti dengan
kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka.
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
apa yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan
faktor penting dalam negara Indonesia. Agenda ekonomi, politik, sosial,
pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh para organisasi Islam terbukti
mengusung cita-cita luhur memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan
pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Adapun
hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat berupa hubungan yang bersifat
antagonistik dan bersifat akomodatif. Dimana antagonistik adalah sifat hubungan
yang mencirikan adanya ketegangan, sedangkan akomodatif adalah sifat hubungan
yang saling mendukung satu sama lain.
B.
Saran
Dengan
meletakkan Islam secara tegas sebagai sumber inspirasi dan nilai atas negara,
maka diharapkan akan segera menyelesaikan hubungan yang antagonistik yang
selama ini terbangun. Ketegasan itu dirasa penting untuk memberikan
“kesimpulan” mengenai hubungan Islam dan negara, di saat politik identitas dan
radikalisasi atas nama agama yang semakin menguat akhir-akhir ini di Indonesia.
Para ormas Islam hendaknya tidak terlalu gegabah dalam memperjuangkan Islam di
Indonesia. Pemerintah ataupun negara seharusnya memaklumi, bahwa Islam di
Indonesia adalah mayoritas sehingga mereka harus dijadikan titik berat dalam
setiap pembuatan kebijakan-kebijakan atau peraturan yang akan diberlakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
ü
Azra,MA,Prof
Dr. Azyumardi.2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta :
ICCE UIN Jakarta.
ü
Budi,
Arjdo Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Granmedia Pustaka
Utama.
ü
Fauzia,
Amelia, dkk.2011.Modul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial. Jakarta: CSRC UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
ü
Kusnardi,
Muhammad Ibrahim.1984. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum
Tata Negara UI Dan C.V. Sinar Bakti.
ü
Rozak,
AbduL, dkk.2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta press.